“Idemu memang luar biasa, Lin!” seru sang pria bernama Batuur itu.
Ralin melengos saja, tanpa senyum ataupun balasan sapaan ramah. Dia terlalu dingin untuk menanggapi candaan receh Batuur. Ralin jongkok, memeriksa denyut leher Angkasa. detaknya lebih lambat. Dia terbius total oleh obat yang sengaja dilumurkan ke anak panah.
“Balut lukanya dan bawa dia ke ruang tahanan istana. Kita harus mundur untuk sementara sebelum bala bantuan Benang Merah tiba,” perintah Ralin memberi arahan pada sisa prajurit yang dia bawa.
------------------------
Rheno baru sadar setelah pingsan berjam-jam akibat ledakan tadi. Kepalanya pening, telinganya berdengung seperti terus menerus berbunyi ngiiing…. Dia remas rambutnya di sela jemarinya sambil menekan kulit kepalanya seperti gerakan memijit. Berkali-kali dia kerjapkan kelopak matanya berharap pandangannya segera pulih. Tapi tetap saja masih buram. Semua terlihat gelap, hanya bayang-bayang orang yang sempoyongan yang berusaha pergi dari medan berdarah ini.
“Sudah malam?” gumam Rheno. Dia masih terduduk dengan kaki selonjor. Matanya menyapu ke seratus delapan puluh derajat penglihatannya. Puluhan titik api tersebar sejauh ia memandang. Tak kurang dari dua puluh titik api yang masih menyala menghabiskan baranya. Udara terasa sesak, Rheno tak bisa menghirup napas panjang tanpa kemudian batuk. Seluruhnya diselimuti asap dengan bau yang menyengat. Langit tak melegam secerah biasanya, seluruh medan ini jadi berwarna. Hitam keabu-abuan. Masih ada kabut asap tipis yang pekat.
Rheno bangkit. Susah payah mencoba berdiri dengan kedua kakinya yang masih gemetaran. Berdiri tegak pun rasanya sulit sekali. Tapi ia harus lakukan itu. Seolah ada sengatan listrik yang menjalar dari pangkal tumitnya merambat cepat hingga ke pangkal pahanya. Rheno roboh lagi. Terduduk kembali. Wajahnya mengernyit, memejam paksa menahan rasa ngilu bercampur perih tak tertahankan.
“Rasa sakit apa ini?” pekiknya cemas. Segera ia raba kedua kakinya. Tak ada luka luar. Tak ada darah yang mengucur dari kulit yang tersayat. Celananya pun masih utuh, tak robek sama sekali. Lantas apa?
Dalam kekalutan itu, Rheno kembali mengedarkan pandangnya. Ini lebih seperti padang kematian. Tak sejengkal pun tanah bebas dari gelimpangan mayat. Belum lagi bau anyir darah yang telah menggenang di sana-sini lalu berpadu dengan busuknya asap yang menjadikan mayat-mayat ini sebagai bahan bakar mereka. Rheno merasakan dorongan menjijikkan yang bergerak naik dari perutnya lalu mual dan muntah.
Dia memang jenderal Benang Merah. Salah satu jabatan tinggi yang penting yang sulit sekali meraih posisi itu di dalam organisasi seketat Benang Merah. Posisi yang mensyaratkan kemampuan, pengalaman dan kesetiaan tiada tara. Seharusnya ia sudah kebal pada situasi ini. Kondisi medan tempur yang penuh mayat dan darah. Medan penghabisan nyawa yang dipenuhi rasa sakit dan keputusasaan. Tapi kali ini berbeda.
Lalu dari kejauhan, Rheno mendengar derap sepatu lars dengan sol bawah yang tebal dan kaku. Berderap dalam suara teratur yang tegas. Membangkitkan rasa cemas dan takut bersamaan. Dari sebelah Selatan, suara itu terus mendekat sampai akhirnya Rheno melihat sepasukan datang. Pasukan baru, yang masih bugar, penuh tenaga, dan berpakaian rapi.
“Zakaffa? Mereka masih bertahan?” pekiknya tercengang.
Segera, panik melanda dirinya. Tak bisa berdiri, Rheno harus merangkak. Dia harus segera pergi dari tempat ini sebelum tertangkap.
“Angkasa? Di mana dia?” cetus Rheno tiba-tiba. Dengan mata terbelalak, dia baru teringat pria itu. Rekannya yang sangat menyebalkan itu tiba-tiba hilang. “AKu tidak peduli. Aku harus menyelamatkan diri dulu!”
Rheno merangkak dengan dua tangannya. Bertumpu pada kedua siku dan susah payah mendorong dengan jari-jari kakinya.
Pasukan pembersihan Zakaffa sampai di lokasi itu. Sekitar seratus orang kini berdiri dalam formasi rapi dengan senjata masing-masing. Di barisan paling depan, pemimpin mereka berhenti di atas kudanya. Ralin, wanita pemberani yang cukup mempesona itu masih mengamati situasi setelah ia berhasil menangkap pimpinan pasukan Benang Merah. Matanya tajam menyapu dari sudut kanan hingga paling kiri. Lalu memutar arah kudanya pada pasukannya.
“Lucuti mereka semua. Tak boleh ada yang tersisa,” ucapnya memberi perintah.
“Siap, Jenderal!” jawab mereka serempak.
----------------------
Ralin masih dalam perjalanan kembali ke barak militer di garis belakang pertempuran ketika Butoo terpontang-panting mengejarnya. Dengan wajah angkuh dan sorot mata datar, wanita itu mempersilahkan pasukannya pergi lebih dulu sementara ia menunggu Butoo mencapai tempatnya.
Mereka masih berada dalam satu wilayah yang sama dengan medan tempur itu. Hanya saja di tempat ini kadar kabut asap tak seberapa tebal, bau anyir darah masih tercium namun lebih samar dan lokasinya sedikit lebih tinggi sehingga bisa melihat hampir seluruh padang rumput yang kini jadi padang mayat.
Sebuah tenda besar di dirikan di lokasi itu. satu tenda terbesar yang menjadi pusat komando strategi pasukan di bangun di tengah-tengah sementara tenda-tenda lebih kecil dibuat berbaris melingkari tenda komando. Di garis terluar, sebuah pagar juga dibangun. Sederhana sekali, pagar itu adalah bambu-bambu yang dipotong meruncing lalu dianyam berdempet-dempetan dan di tanam ke dalam tanah. Pagar dibuat rapat melingkari kemah dengan hanya satu pintu masuk sekaligus pintu keluar. Sebuah gapura besar dengan dua daun pintu raksasa dari lempengan logam yang dikunci dengan palang kayu besar. Di kanan kiri tiang gapura dibuat sebuah menara pantau yang selalu dijaga sepanjang waktu.
Sedangkan pada sisi luar, di sekeliling perkemahan Zakaffa itu, mereka tertolong oleh tebing batu yang curam. Dinding alami yang menjadi benteng perlindungan mereka sehingga sulit sekali jika saja musuh menyerang lewat belakang. Namun juga berbahaya, sebab mereka tak akan punya pintu keluar belakang jika sewaktu-waktu musuh mengepung di depan.
Butoo akhirnya sampai sebelum Ralin benar-benar kehilangan kesabarannya menunggu.
“Apa kau siput? Atau kura-kura yang punya mobilitas rendah sekali?” sergah Ralin.
Butoo memasang wajah kesal di tengah deru napasnya yang belum stabil. Dia terengah dengan napas pendek-pendek. Wajahnya memerah dengan keringat sebesar biji jagung.
“Ada apa?” tanya Ralin mendesak. Dia mendekatkan kudanya pada Butoo. Jika pria itu sampai sebegitu paniknya, seharusnya ada hal sangat mendesak yang harus dia sampaikan.
“Seorang utusan istana datang. Baru saja. Dia menyampaikan perintah Yang Mulia,” jawabnya terputus-putus.
Ralin masih menunggu sampai Butoo menstabilkan pernapasannya. “Apa kita dipanggil untuk melapor?” tebak Ralin.
Butoo mengangguk. “Jenderal Eurfo juga menunggu. Sekarang juga,” tegas Butoo.
Ralin mendengus kesal. Dia melengos membuang mukanya ke kiri.
“Ayo berangkat,” ajak Butoo dengan tampang polos.
“Wakilkan saja aku. Seperti bagaimana kita biasa membagi peran. Kondisi di sini belum stabil. Apalagi masih ada Angkasa menjadi tawanan berbahaya kita.” Ralin memutar arah kudanya membelakangi Butoo yang masih kesal dengan perintah atasannya.
Butoo segera menendang perut kudanya untuk mencegat Ralin yang hendak pergi. “Kau lebih mementingkan Angkasa daripada perintah raja?” sergahnya dengan nada tinggi.
Lagi-lagi Ralin tak banyak bereaksi. Dia tetap berekspresi tak peduli dan malah memalingkan wajahnya. Kali ini ia buang wajahnya ke arah bawah, menatap kedua kepalan tangannya yang menggenggam erat tali kemudi kuda. “Kau mau tinjuku sampai di wajahmu?” jawab Ralin bernada rendah namun tegas sekali.
Butoo menahan napas dan seketika mengatupkan bibirnya. Dia menyerah. Memilih diam adalah kemenangan untuk saat ini.
Ralin pergi. Dengan langkah-langkah kecil sang kuda menyusul barisan pasukan memasuki komplek perkemahan prajurit. Kedatangannya membelah formasi itu, memberinya jalan lurus untuk memotong antrian dan langsung menuju tenda komando utama. Dia menghilang setelah formasi kembali ke posisi semula.
Butoo memutar arah kudanya membelakangi gapura perkemahan. Dia tak punya pilihan selain mematuhi perintah Ralin yang selalu seenaknya sendiri. Wanita itu tak pernah takut hukuman ataupun tindakan disipliner militer selama ia yakin keputusannya adalah yang paling tepat. Butoo akhirnya pergi dengan jiwa yang sedikitpun tak bersemangat.
-----------------