Bab 17

1641 Kata
Daniel tengah fokus menyetir mobil sedangkan zevanya duduk di kursi penumpang bagian belakang. Saat ini keduanya sedang dalam perjalanan menuju Kantor Gadi’s Group untuk menemui Papa Zevanya yaitu Endiwarma Gadi yang menyuruh Zevanya untuk menemuinya saat ini. Sepanjang perjalanan Zevanya hanya diam menatap ke arah luar jendela melihat pemandangan jalanan kota Jakarta dan kendaraan lain. Tanpa ia sadari saat ini kedua tangannya yang berada di pangkuannya sedari tadi saling menggenggam dan terus gemetaran. Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai Daniel berhenti di depan kantor pusat Gadi’s Group. Daniel segera keluar dari dalam mobil dan langsung bergerak membukakan pintu bagi Zevanya. Begitu Zevanya keluar dari pintu, Daniel segera menyerahkan kunci mobil pada salah satu petugas yang tengah berjaga di area lobby kemudian melangkah bersama Zevanya memasuki gedung kantor tersebut. Beberapa karyawan perusahaan yang melihat kedatangan Zevanya tentu saja menyapa wanita itu dengan hormat. Namun, Zevanya sama sekali tidak menghiraukan semua orang yang menyapanya bahkan tidak menatap mereka. Ia fokus berjalan ke arah lift dengan pandangan yang lurus ke depan. Ketika Zevanya akhirnya sampai di lantai tertinggi gedung perusahaan tersebut tempat ruangan Papanya berada, tentu saja banyak sekali bodyguard yang berjaga di sana. “Nona Zevanya, Tuan Endiwarma sudah menunggu anda di ruangan,” ujar salah satu Bodyguard yang melihat kedatangan Zevanya. Zevanya mengangguk paham kemudian segera berjalan menuju ke arah pintu ruang kerja Papanya. Tentu saja Daniel tetap mengikuti di belakangnya saat ini. Sampai di depan pintu, Zevanya tidak langsung meraih gagang pintu dan membukanya. Ia berdiri diam beberapa saat di depan pintu dan Daniel yang berdiri di belakangnya bisa mendengar beberapa kali wanita itu menghela nafas berat. Setelah merasa sudah cukup untuk mempersiapkan dirinya, Zevanya akhirnya mengulurkan tangannya ke arah gagang pintu dan dengan pelan membuka pintu ruangan tersebut. Daniel tentu saja mengikuti Zevanya masuk ke dalam ruangan tersebut. Begitu tiba di dalam ruangan, ada dua orang bodyguard yang berdiri tegak di depan pintu. Zevanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sudut ruangan dekat jendela, di sana berdiri Papanya yang membelakanginya dan memandang ke arah luar jendela. Selain itu ada Om Arseno yang merupakan asisten pribadi Papanya serta seorang wanita muda bernama Sintia yang adalah Sekretaris Papanya. Zevanya melangkah perlahan mendekati Papanya sedangkan Daniel memilih berdiri di samping dua bodyguard yang berjaga di dekat pintu. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan Zevanya yang melangkah ke arah Papanya saat ini. Zevanya menghentikan langkahnya setelah dirinya berdiri sekitar lima meter dari Papanya. “Tuan, Zevanya sudah datang menemui anda,” ujar Arseno melaporkan pada atasannya itu. “Pa,” panggi Zevanya yang ikut memberitahukan keadaannya. Pria paru baya yang saat ini memegang sebuah tongkat kecil berwarna hitam dengan pegangannya yang berwarna emas itu segera membalikkan badannya. Ia menatap lekat ke arah putrinya yang berdiri cukup jauh darinya saat ini. “Datang juga kamu akhirnya,” ucap Endiwarma dengan suara pelan namun entah kenapa terasa begitu mengintimidasi. Zevanya hanya menunduk tanpa menjawab perkataan Papanya sama sekali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tubuhnya agar tidak gemetar walau jantungnya saat ini berdegup kencang. Endiwarma berjalan perlahan mendekati Zevanya dengan langkah pelan. Suara langkah kaki itu tentu saja menjadi hal yang menakutkan saat ini bagi Zevanya. Zevanya berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergerak dari posisinya saat ini dan hanya menunduk menunggu Papanya berbicara. “Apa kamu tahu kenapa Papa memanggil kamu saat ini Zevanya?” Tanya Endiwarma dengan nada tegas. Zevanya segera memberikan anggukannya. “Apa kamu ada penjelasan?” Tanya Endiwarma sekali lagi. Kali ini Zevanya memberikan gelengan sebagai jawaban. “Nggak ada penjelasan apapun Pa. Aku sendiri nggak tahu kenapa pihak sponsor dari pemerintah tiba-tiba membatalkan kerjasama tersebut,” jawab Zevanya. Ia tentu saja berusaha sekuat tenaga agar suaranya tidak bergetar, karena itu akan menambahkan kemarahan dari pria paru baya di hadapannya ini. Endiwarma tertawa keras setelah mendengar jawaban dari putri sulungnya itu. Ia sampai menggelengkan kepalanya beberapa kali dan menatap tajam Zevanya. “Jelas-jelas kamu yang mengelola Hotel dan mengurus proyek tersebut, bagaimana bisa kamu tidak tahu alasan sponsor dari pemerintahan membatalkan kerja sama dengan hotel kita dan malah memilih hotel lain?” Tanya Endiwarma dengan nada tajam. “Pa, aku beneran nggak tahu alasannya. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan hotel kita, lalu tiba-tiba pihak sponsor membatalkannya tanpa ada kejelasan alasannya apa,” ujar Zevanya berusaha memberikan penjelasan pada Papanya. “CUKUP ZEVANYA,” bentak Endiwarma. “Apakah jawaban kamu itu bisa memperbaiki keadaan hotel yang menjadi krisis saat ini?” Tanya Endiwarma dengan nada tajam pada putri nya itu. Zevanya memberikan gelengan sambil memperdalam kepalanya menunduk. “Bisa-bisanya Hotel mengalami kerugian hingga milyaran rupiah dalam pengawasan kamu,” bentak Endiwarma penuh amarah. “M…ma…maaf Pa,” jawab Zevanya. Kali ini ia benar-benar gagal menyembunyikan suaranya yang bergetar. “Sintia, ambil benda itu,” perintah Endiwarma dengan nada tegas pada sekretarisnya. “Baik pak,” jawab Sintia. Wanita itu kemudian segera berjalan ke arah lemari di belakang meja kerja Endiwarma Gadi untuk mengambil sesuatu yang diminta pria itu. “Turun,” perintah Endiwarma pada Zevanya dengan nada tegas. Zevanya menghela nafas sebelum akhirnya bergerak turun dan berlutut di hadapan Papanya. Sintia kemudian kembali berjalan ke arah Endiwarma sambil membawa benda yang diminta oleh atasannya itu. Ia segera memberikan benda di tangannya itu pada Direktur Gadi’s Group tersebut. Melihat Papanya memegang benda yang sangat sering dilihat Zevanya itu, ia segera memejamkan matanya menunggu tindakan yang akan dilakukan Papanya pada dirinya saat ini. Endiwarma segera menyerahkan tongkat miliknya pada Sintia kemudian memegang kuat benda yang diberikan Sintia padanya. Ia melebarkan tali benda tersebut kemudian berjalan mengitari tubuh Zevanya dan berdiri di belakang putrinya itu. Benda yang dipegang Endiwarma Gadi adalah sebuah tali cambuk yang cukup besar. Dalam sekali hentakan benda tersebut terhempas kuat ke atas punggung Zevanya yang tentu saja membuat wanita itu berteriak kesakitan karena rasa peri pukulan tali cambuk tersebut. Daniel yang berdiri beberapa meter dari Zevanya tentu saja melotot kaget melihat apa yang dilakukan oleh Endiwarma Gadi pada putrinya itu. Ia sudah akan melangkah ke arah zevanya, namun tangannya langsung di tahan oleh salah satu Bodyguard yang berdiri di sampingnya. “Jangan coba-coba menghadang apa yang dilakukan oleh Tuan Endiwarma saat ini atau kamu yang akan dipecat nantinya,” nasehat bodyguard tersebut. “Hal ini sudah sering dialami Nona Zevanya, jadi kamu tidak perlu ikut campur jika masih mau bekerja,” tambah Bodyguard yang satunya. Daniel akhirnya hanya bisa berdiri diam menatap Zevanya yang sedang dicambuk dengan begitu sadis oleh Endiwarma Gadi saat ini. Tanpa sadar tangannya saat ini terkepal kuat menaham amarah menyaksikan hal keji yang dilakukan Edniwarma Gadi saat ini. Di lain sisi Zevanya hanya bisa berusaha sekuat tenaga menahan perih di punggungnya akibat cambukan yang dilakukan Papanya saat ini. Ia bahkan sampai harus menggigit bibirnya sekuat tenaga untuk menahan rasa sakitnya ini. "Papa melakukan berbagai cara untuk menjadikan Gadi's Hotel sebagai salah satu hotel terbaik di negara ini. Tentu saja perjalanan untuk mencapai hal itu tidak mudah Zevanya," jelas Endiwarma. Tangannya sekali lagi bergerak menghentak cambuk ke arah punggung Zevanya. Zevanya meringis kesakitan namun tidak beraki bersuara sama sekali. Tangannya bergetar hebat menopang tubuhnya dengan rasa perih luarbiasa di punggungnya saat ini. Setelah beberapa kali melakukan pukulan keras hingga tangannya sudah lelah, barulah Endiwarma menghentikan kegiatannya itu. Ia kemudian kembali berdiri di hadapan Zevanya dan menatap putrinya yang terkapar di lantai sambil menahan sakit saat ini. Endiwarma memberikan cambuk yang ia pegang pada Sintia sekretarisnya, ia kemudian berjongkok di hadapan Zevanya. Tangannya bergerak ke arah wajah Zevanya dan mengangkat dagu putrinya agar kepalanya mendongkak menatap dirinya dan ia bisa melihat dengan jelas wajah Zevanya. Wajah Putri sulungnya saat ini terlihat begitu pucat dengan keringat yang membanjiri kulitnya. “Ingat Zevanya Agatha Gadi, kamu tahu kalau hukuman yang Papa berikan saat ini tentu saja belum seberapa. Jika kamu tidak segera memikirkan solusi dari masalah ini, kamu pasti tahu apa akibatnya nanti. Kesalahan yang kamu buat saat ini resikonya bukan hanya akan ditanggung oleh kamu tapi juga oleh Mama kamu,” ujar Endiwarma Gadi penuh penekanan. “I…i..iya Pa. A..ak..aku bakal segera ca..cari solusinya,” jawab Zevanya terbata-bata. “Bagus.” Endiwarma Gadi kemudian kembali berdiri tegak dan meraih tongkat miliknya yang ada pada Sintia. “Setelah ini ada jadwal apa?” tanyanya pada sekretarisnya itu. Sintia dengan cepat segera membuka ipad miliknya dan melihat jadwal atasannya itu. “Sepuluh menit lagi ada meeting dengan beberapa investor,” jawab Sintia. Endiwarma memberikan anggukan paham. “Kita berangkat sekarang,” perintahnya. Pria paru baya itu segera berjalan menuju pintu dengan diikuti Sintia sekretarisnya serta Arseno Asistennya itu. Ia berjalan melewati Zevanya putrinya yang sedang terkapar di lantai menahan sakit akibat cambukan yang ia lakukan tadi. Setelah Endiwarma Gadi keluar dari ruang kerjanya, Arseno yang berjalan paling belakang menghentikan langkahnya di depan Daniel yang berdiri bersama dua bodyguard lainnya. Pria itu menatap ke arah mereka bertiga. “Seperti biasa, bawa pulang Nona Zevanya dan pastikan tidak ada satu orangpun yang melihat kondisinya saat ini,” perintah Arseno pada ketiga pria di hadapannya. “Baik Pak,” jawab kedua bodyguard lainnya. Setelah mendengarkan jawaban pria tersebut baru kembali melanjutkan langkahnya keluar drai ruangan tersebut menyusul atasannya yang sudah pergi lebih dulu. Daniel segera berlari ke arah Zevanya dan berjongkok di hadapan wanita itu dengan tatapan khawatir. “Nona Agatha,” panggil Daniel sambil memegang lembut pundak Zevanya. Zevanya yang sedari tadi menahan rasa sakit langsung menepis kuat tangan Daniel yang berada di bahunya saat ini. “Nggak usah menatap saya dengan tatapan kasihan kamu itu,” ujar Zevanya dengan nada tajam. Sorot mata Zevanya yang tengah menatap Daniel saat ini masih sama dengan sorot matanya setiap hari. Tatapan tajam dan penuh keberanian itu sama sekali tidak luntur dari mata wanita itu walau sudah mengalami hal yang menyakitkan dari Papanya sendiri. Perlahan sorot mata Zevanya mulai melemah, hingga beberapa detik kemudian kesadaran wanita itu hilang dan ia jatuh pingsan dalam pelukan Daniel. Sebenarnya apa yang sudah kamu alami selama ini Agatha?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN