Ingin Kembali

2671 Kata
Klinik Praktek Ahli Psikologis “Jadi , apa yang menjadi keluhan ibu?”, dokter psikolog memulai proses mediasi dengan bertanya keluhan Mikaela. Dia hanya bersama sang dokter disini sedangkan Marcel menunggu diluar. “3 tahun yang lalu, aku ingin membatalkan perjodohan dengan seorang pria. Tapi, aku menemuinya di waktu yang salah. Dia sedang mabuk karena patah hati dan dia mengira aku kekasihnya . Dia…tanpa sadar melakukan hal yang tidak pantas padaku. Semenjak itu, aku berusaha melupakannya. Tapi tidak bisa! Aku selalu merasa menjadi wanita yang rendah karena tidak bisa membela diriku sendiri. Bayang-bayang kejadian itu terus menghantuiku setiap malam dan aku meredakannya dengan obat tidur. Tapi, semenjak aku tahu bahwa aku hamil anaknya, semua kejadian itu seperti video yang terus berulang dikepalaku. Aku pun menambah dosisnya dan juga meminum obat penenang”, Mikaela menjelaskan keseluruhan keluhannya kepada sang dokter. “Anda menimum obat penenang ketika hamil? Bagaimana keadaan kandungan anda?”, tanya sang dokter lagi. “Syukurlah, anak saya baik-baik saja dan terlahir sehat. Sekarang usianya 2 setengah tahun.”, jawab Mikaela diangguki oleh sang dokter. “Jadi, sampai sekarang anda masih mengonsumsinya obat-obatan itu?”, tanya dokter lagi. “Iya, bahkan saya sendiri menambah dosisnya”, jawab Mikaela. “Kenapa?”, heran sang dokter. Biasanya semakin lama, trauma bisa menghilang seiring waktu berlalu. Apalagi, perhatiannya bisa dipalingkan oleh putrinya dan dia tidak perlu memikirkan kejadian itu lagi. “Dia kembali! Saat melihat orang itu, saya merasakan sakit kepala luar biasa dan sayapun meminum lebih banyak obat penenang”, jawab Mikaela membuat dokter penasaran akan satu hal. “Siapa orang itu? Apa suami anda tidak menjauhkan anda dari orang itu?”, tanya dokter itu merasa ada kejanggalan dengan kasus pasiennya yang satu ini. “Suami saya. Orang yang melakukan itu pada saya adalah suami saya sendiri! Dia melakukan itu pada saya dan meninggalkan saya saat acara pernikahan kami demi wanita lain. Saya mengandung dan membesarkan putri saya sendiri selama 3 tahun. Dan sekarang dia kembali dan meminta saya memaafkannya”, jawab Mikaela membuat sang dokter terkejut. Sejujurnya, dia agak terkejut dengan kasus ini karena baru pertama kali dia mengatasi yang seperti ini. Walaupun sudah bertahun-tahun dibidangnya, jarang ada kasus seperti ini. “Baiklah bu, saya mengerti masalah ibu. Oleh karena itu, ibu harus memulai dengan membiasakan diri dengan kehadiran suami ibu. Mungkin suami ibu tidak mau berpisah, tapi sebenarnya itulah jalan yang terbaik karena seorang anak yang masih balita membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Kalau boleh tahu, apa suami ibu bersikap kasar?”, Jelas sang dokter lalu bertanya lagi. “Tidak, dia memperlakukan saya dengan baik”, jawab Mikaela seadanya. “Yap, baguslah! Jadi sepertinya suami ibu benar-benar menyadari kesalahannya. Sekarang tinggal dipihak ibu. Begini bu, mengonsumsi obat-obatan yang berhubungan dengan saraf tanpa resep dokter itu sebenarnya sangat berbahaya. Jadi saya harap ibu berhenti meminum obat penenang. Mungkin, obat tidur masih boleh, tapi tolong kurangi dosisnya. Saya sarankan hanya 3 kali seminggu ibu mengonsumsi obat itu. Saya juga akan resepkan vitamin yang bisa menambah imun tubuh ibu dan setidaknya mengurangi sakit kepala ibu. Dan yang paling penting bu, maafkan suami anda. Menerimanya kembali seperti ini hanya akan melukai kalian. Karena yang sebenarnya, ibu belum memaafkannya sama sekali bahkan semakin mengingat-ingat masalahnya. Jadi perlahan-lahan, carilah hal baik pada suami ibu dan carilah kesibukan supaya bayang-bayang itu tidak muncul lagi”, sang dokter memberi saran dan dibalas anggukan oleh Mikaela. “Terima kasih dokter. Saya akan coba saran dokter. Saya permisi”, Mikaela berterima kasih lalu keluar dari ruangan sang dokter. Marcel yang sedari tadi menunggu, menghampiri Mikaela karena ingin tahu apa yang disarankan sang dokter. “Bagaimana?”, tanya Marcel. “Aku disuruh berhenti minum obat penenang dan mengurangi obat tidur. Dan, ini adalah resepnya yang katanya vitamin untuk menambah imun dan mengurangi stress”, jawab Mikaela. “Apa proses pengobatannya hanya sekali?”, tanya Marcel lagi. “Disini tertulis, untuk periksa sebulan lagi apakah ada perkembangan atau tidak”, jawab Mikaela sambil membaca resep dokter itu. “Baguslah. Kalau begitu kamu saya antar pulang dan saya akan ke kantor”, ajak Marcel. “Tidak! Aku mau ke kampus aja. Dokter bilang aku harus sibuk dan jangan sampai pikiranku kosong. Jadi aku harus kerja.”, tolak Mikaela karena dia ingin ke kampus. Marcelpun hanya mengangguk menyetujui permintaan Mikaela yang juga adalah saran dokter. Universitas Esa Unggul                        “Nanti saya jemput”, kata Marcel sebelum Mikaela keluar dari mobilnya. “Gak perlu, saya tahu anda sibuk. Saya bisa pulang sendiri”, tolak Mikaela lalu keluar dari mobil Marcel. Dia pun masuk ke kampus dan berjalan menuju ruangannya. Dia memulai semua pekerjaannya dan waktu memang tidak terasa sudah siang. Perutnya mulai lapar, tentu saja. Diapun turun untuk makan di kantin kampus. Saat menuju ke kantin, dia berpapasan dengan Willy. “Cassie? Mau makan siang? Barengan aja yuk?”, ajak Willy langsung diangguki oleh Mikaela. Merekapun makan siang bersama, tetapi Willy memerhatikan Mikaela yang raut wajahnya datar dan dia begitu pendiam hari ini. Dia teringat semalam, ketika tanpa sengaja melihat Mikaela berdebat dengan suaminya. Dia ingin menanyakannya, tapi takut menyinggung perasaan wanita itu. “Kamu…banyak berubah ya, Cassie”, Willy memulai pembicaraan. “Berubah gimana?”, tanya Mikaela bingung. “Dulu, sewaktu aku mengenalmu, kamu adalah gadis cantik yang ceria dan penuh dengan warna kebahagiaan. Tapi sekarang, kamu selalu muram dan jarang tersenyum”, jelas Willy sejujurnya . “Begitu ya? Kamu benar, Wil. Apalagi 3 tahun terakhir ini, ah! Maksudku, aku sibuk menjadi dosen yang sibuk sekaligus seorang ibu. Itu gak mudah, Wil”, jawab Mikaela. ‘Untung saja aku gak sempat mengatakan yang sebenarnya. Aku gak boleh menceritakan masalah rumah tanggaku pada siapapun. Sekalipun itu kepadamu, Wil. Kamu gak boleh mengasihani aku.’, Mikaela membatin karena hampir saja membuka aibnya sendiri. “Begitu ya, apa suamimu sama sekali tidak membantumu sampai kamu seperti melakukan semuanya sendirian?”, tanya Willy dengan nada penuh selidik. ‘Dia memang bukan orang bodoh. Gelarnya saja sudah lebih tinggi daripada aku. Tapi, jangan sampai dia melangkahiku dengan kata-kataku sendiri.’, Mikaela berpikir sebelum berbicara karena tahu bahwa Willy bukan orang yang bodoh. “Bukan begitu, ya…tentu saja, butuh waktu menyesuaikan diri, bukan? Ya begitulah, Wil. Tapi, kalau bisa memutar waktu, aku akan tetap di Amerika dan memilih bersamamu. Tapi, itu hanya kalau, bukan?”, jawab Mikaela lagi. “Begitu ya. Ya, kamu harus membiasakan diri, Cassie. Pernikahan itu bukan hanya beberapa tahun tapi seumur hidup. Jadi, kamu harus memastikan kebahagiaanmu agar kamu bisa menjalaninya seumur hidupmu. Dan kalau sampai kamu bersedih, ini bahuku siap untuk menampung air matamu”, hibur Willy dibalas tawa oleh Mikaela. “Ahahahaha! Bisa aja! Sekalian mengelap ingus, bisa ga?”, Mikaela berkata iseng. “Gitu dong, tertawa lepas! Kamu yang begini yang aku kenal”, Willy lega melihat Mikaela kembali tertawa. Dia kembali mendapatkan senyumannya semenjak 3 tahun ini ketika Willy kembali. Dia bahagia bersama Willy, itu faktanya. Tapi, kalau dia menyesali pernikahannya lagi, yang kepalanya sakit dan dia stress lagi. “Wil, makasih ya udah jadi orang selalu ada buatku”, Mikaela berterima kasih pada Willy. “As your wish! Ya walaupun kita hanya berteman, kita harus saling membantu, kan? Kalau kamu sedih aku akan jadi orang pertama yang selalu disisi kamu. Jangan sungkan padaku, ya”, ucap willy lagi dengan penuh kehangatan. “Seneng ya, lihat kamu gak berubah. Makasih loh, Wil”, Mikaela berterima kasih lagi pada pria itu. Setelahnya, merekap un kembali melakukan pekerjaan mereka sampai waktunya pulang. Mikaela berniat menyewa taksi, tapi Willy ajak dia untuk pulang bareng. “Bareng aku aja. Lumayan hemat ongkos”, ajak Willy membuat Mikaela merengut kesal. “Memangnya, seorang kepala rektor kampus gak ada uang buat bayar taksi? Ada-ada aja sih, bilang aja kamu mau bareng-bareng aku. Susah amat sih”, kesal Mikaela dibals tawa oleh Willy. “Ah, itu tahu. Ibu Kepala rektor kampus, maukah saya antarkan pulang?”, tanya Willy dengan hormat yang dibuat-buat. “Baiklah pak dosen. Saya akan memikirkan kenaikan gaji anda bulan depan”, balas Mikaela dengan nada mengejek. Merekapun tertawa dan akhirnya pulang bersama. Ternyata, Marcel melihat Mikaela pulang bersama Willy. Dia heran dengan wanita itu, tadi dia mengajaknya supaya dijemput tapi dia malah menolaknya. Ketika Willy yang mengantarkannya pulang, Mikaela malah terlihat senang dan tanpa ragu menerima ajakan pria itu. ‘Harusnya dia menjaga kehormatannya sebagai menantu Keluarga Buana’, kesal Marcel dalam hatinya. Pria itupun, memutuskan menjemput Selena di rumah keluarga Djuanda dan memilih menanyakannya langsung pada Mikaela saat di rumah. Mansion Keluarga Buana Sesampainya di rumah, mereka makan malam sekeluarga. Marcel memerhatikan Miakela yang sangat ceria dan senyum-senyum sendiri. Saking bagus moodnya, dia bahkan membantu para pelayan menyusun makanan di meja makan. Bukan Marcel saja yang bingung, tapi semuanya kecuali Selena tentunya karena dia masih kecil. “Kenapa diam? Nanti makanannya dingin, lho”, ucap Mikaela membuyarkan lamunan semuanya. Merekapun mengambil makanan mereka dan mengabaikan sikap Mikaela yang tiba-tiba berubah. Seusai makan, Marcel dan Mikaela membobokan Selena bersama. Mereka cukup pandai bersandiwara seakan-akan tidak terjadi masalah diantara mereka. “Kamu kelihatan bahagia. Ada apa?”, tanya Marcel karena sedari tadi dia memang ingin penjelasan dari Mikaela. “Kita jangan bicara disini, Selena dah tidur”, Mikaela mengajak Marcel ke kamar mereka untuk bicara. “Hari ini aku senang, seakan stresku berkurang. Mungkin karena sudah mencurahkan semua masalahku pada psikolog dan aku dihibur oleh seseorang yang benar-benar mengerti aku”, jawab Mikaela dengan nada ceria. “Tapi, jagalah kehormatanmu. Kamu itu menantu keluarga Buana, jangan sampai orang atau media mengetahui perselingkuhanmu itu”, tegur Marcel dengan nada menyindir. “Masih mending berselingkuh diluar, daripada berselingkuh didalam rumah didepan istri dan anaknya, bahkan keluarganya. Jangan sok menuduh orang lain. Lihat tuh kaca dikamar ini cukup besar, Marcel. Jangan rusak moodku, aku mau minum obat dulu”, balas Mikaela kesal tapi akhirnya memilih mengabaikan pria itu. Marcel kesal tetapi dia memilih diam untuk mengakhiri perdebatan mereka. ‘Dia pasti tidak bisa memaafkanku dan berpikir bahwa aku akan berselingkuh dengan Michelle. Aku masih punya waktu untuk meyakinkan dia. Tapi, melakukan semua itu tanpa cinta rasanya sulit. Aku pun bahkan tidak yakin pada diriku sendiri’, Marcel membatin karena kembali merasa bersalah. Paginya, Mikaela sudah bangun lebih dulu dan mengurus Selena. Dia membantu menyusun sarapan dan Michelle yang memasak. Sebenarnya, semua orang agak merasa aneh melihat Mikaela akrab dengan Michelle pagi ini. “Oke, semuanya sudah selesai. Mari makan! Selena, ayo makan! Tadi tante Michie masak makanan enak, lho”, ucap Mikaela sambil duduk disamping Selena dan mengambil makanannya Selena. “Kalian…kenapa terlihat akrab?’, tanya Ribka heran. “Iya tante, tadi mbak Mikaela bilang mau membantu saya. Ya, saya tidak mungkin menolak bantuan mbak Mikaela.”, jawab Michelle. Sebenarnya, Michelle heran dengan sikap Mikaela hari ini. Tapi, dia tidak ada alasan untuk membenci Mikaela. Selama beberapa hari belakangan ini, Michelle memang melihat benarnya kata-kata Mikaela bahwa dia tidak menginginkan Marcel sama sekali. ‘Marcel akan capek sendiri dan pasti akan kembali padaku’, yakin Michelle dalam hatinya. “Makanan ini…gak beracun, kan?”, tanya Michael memerhatikan makanan itu. “Itu masakanku, Mike! Mbak Mikaela cuma bantuin nyusun piring”, jawab Michelle gak terima Michael bilang masakannya beracun. “Sorry, Michie! Aku tadi hanya heran pada tingkah kak Mikaela. Ini aku makan! Aku tahu masakan kamu yang terbaik”, Michael langsung merasa bersalah pada Michelle. “Eummm…Marcel? Gimana kalau kita ke taman hiburan sama Selena. Aku belum pernah sih bawa dia kesana”, ajak Mikaela tiba-tiba membuat Michelle dan Marcel terbatuk karena terkejut dengan ajakan Mikaela. “Taman hibulan itu apa, ma?”, tanya Selena. “Taman hiburan itu tempat bermain anak-anak yang besar dan luas, sayang. Kamu mau kesana?”, tanya Mikaela pada putrinya. “Mau ma! Pasti celu!”, Selena berkata dengan nada bahagia. “Marcel? Kamu mau, kan?”, tanya Mikaela memastikan pada Marcel. “Ya, tentu saja”, Marcel langsung setuju. Baik Elmand, Ribka dan Michelle bingung dan tak habis pikir dengan tingkah Mikaela hari ini. Tiba-tiba dia menjadi ramah dan bahagia. Biasanya wajahnya datar dan cemberut aja. Jadi percuma wajahnya cantik tapi kelihatan judes. Merekapun pergi ke taman hiburan bersama. Bermain bersama Selena dan tertawa bersama. Mereka bermain berbgai wahana permainan disana. Momen seperti ini adalah hal yang baru bagi mereka bertiga. Tentu saja, Selena adalah yang paling bahagia disini. Tapi, ada satu yang mengganjal, meskipun bersama Marcel, Mikaela sama sekali tidak pernah menatap pria itu. Dia memang tersenyum, tertawa dan berekspresi dengan bebas hari ini. Tapi, kehadiran Marcel seakan hanya untuk melengkapi keberadaan ayah Selena saja. ‘Apa hanya perasaanku, atau dia memang benar-benar tidak memedulikanku sedari tadi. Dia sengaja menyibukkan diri dengan Selena. Apa dia juga melakukan ini hanya demi Selena?’, Marcel berpikir tentang sikap Mikaela. “Mama! Celena mau esklim”, Selena minta es krim. “Okay, papa belikan ya.”, Marcel segera mencari penjual es krim dan membelikan untuk sang putri. Setelah membelikan es krim untuk Selena, mereka berjalan-jalan bersama ala keluarga bahagia yang utuh tentunya. Sampai saat akhirnya Selena lelah, anak itupun tidur dipelukan ayahnya. Merekapun memutuskan untuk pulang. Marcel masih heran dengan tingkah Mikaela yang tiba-tiba berubah menjadi agak aneh menurutnya. “Mikaela, kamu… baik-baik saja, kan?”, tanya Marcel. “Ya, aku baik”, jawab Mikaela tetapi tatapannya hanya mengarah ke depan. Memang wajahnya tampak bahagia, tetapi Mikaela seakan benar-benar mengabaikan keberadaannya. “Kamu… tidak memedulikan keberadaanku sedari tadi. Apa saya benar?”, tebak Marcel. “Keberadaanmu bagi saya hanyalah sebagai papanya Selena. Itsn’t right? Sama seperti kamu yang hanya memperjuangkan Selena, saya juga begitu. Kata dokter, untuk mengurangi trauma ini, saya harus mencari kesibukan untuk menghindari bayang-bayang masa lalu yang mengerikan itu. Di akhir pekan, aku tidak punya kesibukan, jadinya aku memikirkan untuk membawa Selena bermain disini. Dan dia tidak mau jika tidak ada papanya. Jadi… mari kita buat kesepakatan. Kalau selama 3 bulan Selena tidak bisa hidup tanpamu, maka aku akan menyerahkan hak asuhnya padamu. Tapi jika sebaliknya, maka hak asuh Selena jatuh padaku”, jelas Mikaela panjang lebar dan diakhiri dengan permintaan kesepakatan oleh wanita itu. “Saya tidak mengerti yang kamu pikirkan. Ternyata, kamu masih bersikeras dengan perceraian. Selena itu masih kecil, dia tidak bisa hidup tanpa salah satu diantara kita. Jadi berhentilah berpikiran sempit seperti itu, Mikaela”, Marcel jelas menolak kesepakatan itu membuat Mikaela tersenyum miring. “Baiklah, bukan masalah. Kalau begitu, kamu harus membuatku jatuh cinta selama 3 bulan padamu. Kalau tidak, aku akan tetap memilih berpisah. Soal Selena, siapapun yang memegang hak asuhnya harus tetap memberi izin untuk menemuinya. Marcel…pernikahan itu untuk seumur hidup, coba bayangkan kalau kita tidak saling mencintai seumur hidup kita, bagaimana kita bisa bertahan, hm? Jadi coba pertimbangkan saranku, ya? Setelah berpikir seperti ini, pikiranku jadi lebih ringan”, saran Mikaela. Tetapi, walaupun mereka berbicara panjang lebar, tetap saja, wanita itu tidak menatap mata suaminya sama sekali. “Saya pikirkan nanti. Kita pulang”, Marcel memilih mengalihkan pembicaraan daripada Mikaela berulang kali meminta bercerai darinya. ‘Cinta memang belum hadir diantara kita, Mikaela. Akupun ragu apa bisa benar-benar memberikan hatiku untukmu sementara Michelle ada dihadapanku saat ini. Dan kamu, apakah bisa mencoba mencintaiku, sementara kamu selalu terlihat bahagia dengan orang lain? Aishh! Aku ini kenapa sih? Kenapa kelihatannya aku yang egois ya? Aku tidak mencintainya tetapi kenapa aku tidak suka dia berdekatan dengan orang lain? Apa itu naluri seorang suami? Tapi, apa dia juga begitu saat melihatku bersama Michelle? Apa dia memang benar-benar menekan semua perasaannya dan bersikap seakan tidak ada apa-apa?’, Marcel terus memikirkan hal itu disepanjang jalan sambil diam-diam melirik Mikaela yang sibuk dengan handphonenya dan terkadang juga melihat jalanan. Entah bagaimana akhir bagi rumah tangga ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN