Gelora Cinta Om Delon

903 Kata
“Iya. Nanti akan om cari waktu dan moment yang pas. Asal bisa berduaan dengan kamu. Kamu mau, kan, Sayang?” Tanyanya dan aku hanya mengulas senyum ke arahnya. ”Emang mau kemana, Om?” Iseng aku bertanya. Padahal aku juga bingung andai itu benar terjadi, apa alasan aku pada tante. Dan rasanya juga gak pantes aku pergi berduaan dengan pria yang menjadi suami orang. Benar-benar simalakama saat ini. Meski aku menyukai om Delon, bukan berarti aku berharap bisa berduaan dengannya apalagi secara private gitu. Aku sadar, dia masih menjadi istri tante Helga. Meski tante Helga memanfaatkan kehadiranku, tetap saja. Tidak benar jika aku menyetujui ide gila om Delon. ”Kemanapun kamu mau. Kita bakalan pergi…” bisiknya dan kembali merapatkan badannya padaku.” Ke ujung dunia sekalipun, tidak masalah. Asal bersamamu, Om setuju…” imbuhnya dan aku terkekeh. Tawa ini sebenarnya untuk mengalihkan pembahasan serius antara kami berdua. ”Ngapain kita ke ujung dunia, Om? Yang deket-deket aja belum kesana…” aku terkekeh. “Kita akan datangi semua tempat yang pengen kamu datengin, Wa.” Bisiknya serius. Aku menarik nafas panjang. Gak mau berhayal terlalu jauh mengingat kenyataan yang ada. ”Hmm…nanti deh kita bahas itu, kita sekarang tidur aja. Udah jam berapa ini, coba?” Tanyaku lagi dan om Delon seketika melirik jam di tangannya. “Kamu udah ngantuk, ya? Mau langsung tidur?” Tanyanya dengan tatapan penuh arti, membuatku menautkan dahi. Apa lagi yang diinginkan om Delon emang? Pengen ngulang lagi—kah? ”Emang, om belum ngantuk, jam segini?” Tanyaku lagi dan dia menggelengkan kepala. ”Saking bahagianya, kantuk om hilang entah kemana. Ini terasa mimpi bagi om, bisa menikmati malam bareng kamu…” bisiknya. “Om pengen malam ini begadang bareng kamu…” Om Delon mendekatkan wajahnya dan dengan cepat melumat bibirku. Aku merasakan hembusan nafasnya yang kembali tak beraturan. Sepertinya om Delon menginginkan kami mengulang apa yang baru kami lakukan. ”Wa…” bisiknya kembali menatapku. Aku membalas tatapannya. “Kenapa, Om?” “Kalau kita nikah siri dulu, gimana?” Ajaknya dan aku terkejut. Mataku membesar, tidak menyangka jika om Delon secepat itu mengambil keputusan. “Om pengen bebas nyentuh kamu, om pengen bebas meluapkan perasaan dan rindu om ke kamu…” imbuhnya, membuatku menahan nafas dan berfikir cepat. ”Om…jangan terburu-buru. Semua yang tergesa-gesa tidak baik…” jawabku memberikan senyum teduh agar dia tenang. “Wawa gak mau nantinya om nyesal dengan keputusan ini…” bisikku lagi membalas tatapannya. ”Kenapa harus menyesal? Om tidak pernah sebahagia ini, Wa. Dan om gak mau kehilangan kamu, juga moment yang kita lewati barusan…” imbuhnya dan aku menahan nafas sejenak. ”Om, jangan karena merasa bersalah dengan apa yang baru kita lakukan, om akan semakin menderita dalam menjalani hari-hari, Om.” Balasku cepat, lalu aku menatapnya serius. “Apa yang baru saja kita lakukan, karena memang kista sama-sama menginginkannya, makanya terjadi. Dan om tidak perlu memikul tanggung jawab itu sendiri. Kita jalani saja semuanya. Tentang bagaimana ke depan. Kita akan sama-sama tahu nantinya…” ”Setelah apa yang kita lakukan. Sepertinya, om gak bakalan bisa bersikap seperti biasa, dengan menyembunyikan perasaan om lagi, Wa. Om gak bisa. Semua sudah berubah mulai malam ini. Dan om gak bisa pura-pura lagi. Om gak bisa lagi, sok kuat ngelihat kamu jalan berduaan dengan temen cowok dari kampus kamu. Om pencemburu, Wa…” sahutnya serius, dan aku memilih tertawa terkekeh. ”Bisa aja, Om.” Balasku dengan tawa. “Belum mulai udah langsung bisa menebak apa yang terjadi. Kita jalani saja semuanya dengan semestinya, Om…” “Wa, om juga bukan type pria yang biasa menggombal. Om justru type orang yang tidak suka basa-basi. Om bilang ke kamu gini, biar kamu tahu, kalau om itu pencemburu…” bisiknya dan dadaku sesak seketika mendengar kalimatnya. Antara senang dan sedih sebenarnya. ”Hmm…” aku menarik nafas panjang. Bingung mau ngebales kalimatnya dengan kata-kata yang bagaimana. Tiba-tiba om Delon meraih daguku dan memaksaku membalas tatapannya. ”Wa, maaf ya, udah bawa kamu ke hubungan rumit ini. Tapi, percayalah. Om bakalan nyari jalan buat kita. Om juga gak mau kita terjebak dalam lumpur dosa begini, Wa….” Bisiknya serius. “Om…jangan terburu-buru, Om. Om juga harus pikirkan tante Helga, Om. Dia udah setia selama ini mendampingi, Om…” “Om juga tahu, tantemu hanya melepaskan ambisinya saja menyetujui perjodohan kami. Dan dia juga tahu, om gak cinta dia.” Jawabnya tegas, membuatku berfikir keras agar segera mengalihkan pembahasan kami. ”Om…bahasnya besok aja, ya?” Kilahku cepat. ”Wa, tidak ada yang perlu kamu takutkan. Om akan mengatasi semuanya. Jadi, kamu cukup menikmati hubungan kita aja, om mau kita komitmen, Wa, mau—kan? Hmm?” Tatapnya meminta persetujuanku. Dan aku hanya bisa menelan ludah. ”Om, jangan terburu-buru, Om. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan. Wawa juga gak mau egois, Om. Kita bahas nanti setelah kita di Jakarta ya, Om?” Tatapku lagi. Tapi, om Delon terlihat tidak terima. Dia meraih kedua jemariku dan menaruhnya di dadanya. ”Wa…setelah apa yang terjadi, om pengen terus bisa meluk kamu, Sayang. Om pengen ada kejelasan. Please…” “Tapi, Om…” potongku sambil menahan nafas tak sanggup berkata. Dan om Delon berbisik padaku. “Om benar-benar mencintai kamu, Wa. Please…om mau kamu ada di sisi om…” seiring dengan bisikannya, dia melumat bibirku dengan hangat dan dalam. Hembusan nafasnya memburu, membuat jantungku berdegub semakin kencang bak genderang perang. “Oughh…Wa….” Desahnya penuh gair4h.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN