Kisah Pilu

862 Kata
“Kamu tahu? Dara bukan anak kandung, Om.” Ucap om Delon membuatku langsung duduk tegak dan menoleh menatap ke arahnya. ”Om. Jangan gitu, gak boleh sembarangan menuduh, Om…” jawabku lagi, aku tidak ingin om Delon tidak mengakui Dara, meski aku juga tahu jika tante Helga telah berselingkuh. Karena aku sendiri sering memergoki tante membawa selingkuhannya ke rumah, jika om Delon sedang perjalanan bisnis ke luar negeri. ”Om tidak pernah menuduh. Om berkata hanya berdasarkan bukti, Wa.” Tegas om Delon membuatku menatap wajahnya lekat. Ahh! Tiba-tiba aku merasa kasihan padanya. Bagaimana selama ini dia menjalani hari-hari pahitnya dalam berumah tangga. ”Om…” panggilku lirih. ”Kamu tenang, Wa. Sebelum kamu katakan, sudah om lakukan terlebih dahulu. Om sudah melakukan test DNA terlebih dahulu. Karena ketika tantemu hamil, om sedang berada di Pennsylvania ambil private selama enam bulan. Dan di saat om pulang tantemu hamil lima bulan. Jadi, kalau kamu mau mengatakan, sebaiknya om test DNA dulu, itu sudah om lakukan, Sayang…” tangannya membelai rambutku yang menutupi pipi. Sorot matanya terlihat teduh. Ahh! Betapa tegarnya pria ini, pikirku. “Ehm!” Aku hanya berdehem mencairkan suasana. “Sudah, kamu tidak perlu merasa bersalah. Apa yang om lakukan saat ini, belum sepadan dengan apa yang dilakukan tantemu pada om. Om tidak bermaksud mau balas membalas. Hanya saja, om tidak ingin kamu menyesali setiap apa yang kita lakukan. Karena, jika itu terjadi, om akan sangat sedih…” ucapnya dengan wajah sayu. Dan aku akhirnya mengangguk mengulas senyum. ”Wawa tahu, Wawa adalah orang yang tidak tahu diri, karena menggoda milik tante Helga. Tapi, Wawa juga nyaman bersama om…” ucapku akhirnya dan om Delon meneteskan air mata lalu dia memelukkku erat. ”Makasih, Wa. Makasih sudah hadir dalam hidup, Om. Makasih, sudah memberi semangat dalam menjalani hari-hari om selama enam bulan ini. Sejak kamu hadir, om terasa seperti bangkit dari kematian…” bisiknya sambil memeluk erat tubuhku. ”Om, kita duduk di belakang aja, yuk…” ajakku dan akhirnya aku pindah di kursi belakang, begitupun om Delon. ”Seperti biasa, kita berangkat, ya? Jujur, duduk di samping kamu itu, berasa om mendapat transferan energi positive. Sampai sekretaris om di kantor, dan asisten pribadi om juga heran, kenapa om lebih semangat belakangan…” ucapnya sambil meraih bahuku agar aku menyandar pada d**a bidangnya. ”Om, bisa aja…” jawabku senang. Ya, kalimat sederhana, tapi mampu membuatku senang. ”Iya, beneran. Om gak pernah berbohong apalagi menggombal…” “Kalau om sudah gak nyaman dengan tante, kenapa dulu-dulu om gak pernah berniat untuk bercerai? Sebegitu cintanya kah, om ke tante?” Tanyaku penasaran. ”Tidak. Bukan itu. Itu sudah pernah om lakukan, dan berkas sudah pernah terdaftar di pengadilan. Tapi, gugatan om di tolak. Seberapa keras pun om berusaha, mertua om cukup kuat, dan om kalah. Dan mertua om juga mengancam, jika om masih mencoba mengulang untuk mendaftarkan perceraian, maka seluruh keluarga om akan jadi ancamannya….” Om Delon menarik nafas panjang, lalu menatap ke arahku. Dia meraih wajahku. “Tapi, om pasti menemukan jalan keluar untuk itu nanti. Yang terpenting, kamu sabar menunggu, Om…” bisiknya, dan aku menautkan dahi. Aku menunggu? Apakah aku ada mengatakan meminta pertanggung jawaban? Tidak! Aku tidak pernah mengatakan itu. Aku memang menyesali apa yang baru saja kami lakukan. Tapi, bukan berarti aku ingin merebutnya dari tante Helga. “Om, aku gak menuntut apapun dari om. Aku….” Kalimatnya tertahan, karena dia menutupnya dengan ciuman. ”Hust…” setelah menciumku, om Delon menempelkan jemarinya di bibirku. “Biarpun kamu gak menuntut tanggung jawab. Tapi, om akan bertanggung jawab atasmu…” bisiknya lagi. ”Omm…jangan menjanjikan apapun, Om. Karena, ketika sudah berjanji, akan ada saja cobaannya. Dan Wawa, gak mau merusak rumah tangga om, meskipun di dalamnya sudah hancur-hancuran…” ”Tapi, Om gak bisa tanpa kamu, Wa. Apalagi dengan kejadian ini. Om semakin tidak bisa.” Jawabnya singkat. ”Om. Kita jalani saja, bagaimana kedepannya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, bukan? Yang terpenting, Wawa tidak ingin ada orang yang tahu tentang apa yang kita lakukan. Apalagi om masih memiliki ikatan pernikahan.” Tegasku lagi, aku tak ingin di cap pelakor. Meski mungkin sebenarnya iya. Tapi, ini tentang perasaan. Apakah aku salah disini? Oke, mungkin aku salah. Tapi, keadaan dan perasaan ini, terus membawa kami semakin dekat, bahkan alam-pun seolah mendukung kami. Buktinya, tiba-tiba mobil om Delon yang sangat mahal ini bisa mogok dan di tengah hutan, dengan kondisi hujan deras, dan batrai ponsel kami juga sudah habis, karena kebanyakan merekam selama perjalanan tadi. Dan aku juga tidak membawa power bank. Entahlah, semua seperti sudah ter-setting. ”Oke, Sayang. Kalau boleh meminta. Om ingin terus berada di situasi seperti ini terus. Meski gelap, hujan deras dan tempat kecil. Tapi, om merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena di samping kamu…” bisiknya sambil menatap wajahku dengan cahaya lampu mobil yang remang-remang. ”Om, jadi kita tidur di sini malam ini?” Tanyaku menatap ke arah om Delon. “Pengennya di kamar yang empuk dan nyaman, tapi, karena kita di hutan. Kita di sini aja, gak pa-pa ya, Sayang? Nanti, kita bayar dengan liburan kita berdua…” bisiknya sambil mencium pipiku. ”Liburan berdua, Om?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN