Tuan Liam

920 Kata
Pagi ini, kami dijemput oleh sopir dan asisten pribadi keluarga om Delon. Dan mobil om Delon yang mogok tadi malam langsung dibawa towing menuju bengkel. Sepanjang perjalanan menuju puncak, om Delon tak sekalipun melepaskan genggaman tangannya padaku. Sopir pribadi keluarga itu sesekali melirik ke kaca spion, tapi sepertinya om Delon terlihat cuek. Bahkan dia berani menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku yang justru merasa tidak enak dengan lirikan mata sopir pribadi mereka ke arah kaca spion. “Jangan nakal di sana nanti, ya, Sayang? Ada tamu undangan nanti malam. Dan beberapa dari luar.” Ucapnya sambil mengarahkan pandangan matanya ke arahku dengan manja. Ahh! Rasanya aku beanr-benar merasa tenang dengan tatapan mata itu. Aku jadi serakah, dan ingin bersama om Delon. Astagaa…otakku! Tolong… ”Nakal apa’an? Emang Wawa bakalan lari-larian gitu?” Aku tertawa terkekeh agar perhatian om Delon terpecah. Bersyukurnya mobil sudah tiba di lokasi dengan cepat. ”Tuan. Kita akan segera sampai ke lokasi.” sopir pribadi itu menoleh dengan membungkuk sopan. ”Hmm.” Jawab om Delon singkat. Dia memang tidak sehangat ketika berbicara denganku. “Pelankan nyetirnya.” Perintah om Delon lagi dengan suara berat. ”Baik, Tuan. Tapi, tuan Winata ingin meeting dengan anda segera, Tuan. Dan durasi kecepatan kita dipantau tuan Winata.” Sang asisten pribadi yang duduk di samping sopir tiba-tiba menyahut, membuat om Delon menarik kepalanya dan menatap tajam ke arah pria berumur empat puluh tahunan itu. Brugh!! Sebuah majalah melayang ke arah kepala sang assisten pribadi, membuatku terkejut dan suasana menjadi tegang. ”Ada saya intruksikan kamu bicara dan menyela pembicaraan saya, hah?!” Kilatan amarah mata om Delon membuatku menahannafas sejenak. “Siap, salah, Tuan.” Tegas asisten pribadi menghadap ke belakang dan meraih majalah lalu menaruhnya kembali ke belakang. ”Kalau lagi bersama saya. Saya yang bertanggung jawab atas kalian! Jangan kalian menyela. Ikuti perintah saya, paham?!” Hardik om Delon lagi. Dan kedua pria paruh baya yang duduk di kursi depan menjawab dengan kompak. ”Baik, Tuan.” “Saya mau lajukan mobil dengan lambat! Ngerti kalian?!” Hardiknya yang membuatku langsung menelan ludah. Karena jujur, aku gak pernah lihat om Delon marah sekalipun selama beberapa bulan tinggal di rumah mereka. Bahkan aku melihat sosok hangat pada om Delon. Siapa sangka dia sangat tegas sekali. ”Siap, Tuan.” Jawab mereka lagi kompak. Dan benar, mobil di lajukan dengan lambat malah lebih cepat dari orang jalan kaki. Sampai bunyi telpon assisten pribadi mereka berdering. Dna sang asisten pribadi itu menoleh ke belakang. ”Tuan Winata menelpon, Tuan.” Ucapnya meminta izin pada om Delon. ”Sini.” Om Delon menjulurkan tangannya dan meraih ponsel dengan cepat. Dia menjawab dengan nada sengit. ”Kenapa, Pa? Kita lagi di jalan. Tunggu saja!” Tegas om Delon dengan suara meninggi dan langsung mematikan ponsel. ”Ada perkembangan apa, sampai papa sepanik ini? Family Gathering setiap tahun bukankah ajang lobi-lobi?” Sinis sorot om Delon menatap assisten pribadi ayahnya. “Ehm…” pria paruh baya itu menjeda kalimatnya menatap ke arahku ragu. Dan om Delon sepertinya menyadari apa maksud pria itu. ”Tidak masalah. Dia orang kepercayaan saya. Katakan saja, jadi saya akan analisa terlebih dahulu…” sahut om Delon lagi. Dari obrolan itu, kemungkinan ini tentang bisnis. ”Ini tentang akuisisi perusahaan tambang kita, Tuan.” ”Bukankah kasusnya sudah padam?” Tanya om Delon dengan dahi bertaut dan wajah serius. ”Sejak anda melayangkan gugatan perceraian di pengadilan. Kasus ini muncul lagi di permukaan. Dan tuan Winata rencana mau meminta sahabatnya untuk meng-akuisisi perusahaan tersebut.” ”Si4l! Selalu saja ulah mertuaku! Dasar lintah darat!” Geram om Delon membuatku ikut membesarkan mata. Mencoba memahami apa maksud dari kakek yang sudah baik padaku itu. “Siapa yang akan meng akuisisi di pilih papa?” Tanya om Delon lagi, seperti tengah memeras otaknya. ”Tuan Raksa, Tuan. Beliau sepertinya sangat kuat, dan bisa di jadikan rekan bisnis yang baik. Sehingga tuan Helmi tidak begitu bisa menyentuh perusahaan.” Jawab sang asisten pribadi itu dengan tegas. ”s**t!! Selalu saja tua bangka itu ikut campur dalam urusanku! Haisshh!!” Geram om Delon dan aku menggernyit seketika. Dadaku bergemuruh, dan menganalisa. Apakah sebenarnya mereka itu bermusuhan dan pernikahan ini sebagai bentuk perdamaian? Ahh…entahlah. ”Itu kenapa, tuan Winata menyetujui saran tuan Helmi untuk membatalkan gugatan. Karena tuan Helmi sudah menekan tuan Winata, Tuan.” Ucap halus suara pria yang duduk di bangku depan. “Astagaa!! Sampai kapan keluarga ini dibayang-bayangi pria tua s!alan itu?!” Geramnya dengan tangan terkepal. ”Itu sebabnya, hari ini, tuan sudah mengundang tuan Raksa untuk bergabung di acara ini. Dan tuan Raksa akan berdiskusi dengan anda juga nanti, mengenai beberapa proyek kerja sama kedepannya.”Jawab Liam sang asisten pribadi. ”Hhhh!” Om Delon menghela nafas panjang. “Yasudah. Kita selesaikan permasalahan ini terlebih dahulu. Berikan aku draft kerja sama dengan Raksa.” Pinta om Delon dan dengan cepat Liam memberikan iPadnya ke tangan sang calon pewaris WIN-Group. ”Silahkan di pelajari, Tuan.” Ucapnya sopan dan lebih ramah dari kalimat yang tadi. Om Delon tampak mempelajari lembaran draft yang terdapat di layar iPad. Sesekali, dia memberi tanda dan warna pada ketikan itu. Di saat serius gini, kenapa om Delon terlihat semakin keren dan berwibawa banget. Astaga…kenapa aku jadi makin kagum padanya? Tanpa aku sadari ternyata om Delon menoleh ke arahku. Cup! Dia mencium pipiku cepat membaut isi kepalaku buyar semua. “Tenang saja, Sayang. Aku akan mencari jalan terbaik untuk kita…” bisiknya, dan seketika dua orang itu menghadap ke depan, seolah tak terjadi apa-apa di belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN