Arti Kehangatan

988 Kata
Di bawah guyuran hujan deras, yang menjadi saksi bisu bagaimana rasa nikmat yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Entah siapa yang memulai tiba-tiba om Delon sudah berada diatasku dengan gerakan cepat mengiringi nikmat yang hampir aku raih. “Oughh…Om, Ahhh…Wawa sampai, Om…” lenguhan panjang terucap dari bibirku, sedangkan tanganku mencengkeram erat tubuh kekar milik om Delon. “Oughh…iya, Sayang. Terus sayaang…sshhhh…om keluaaarr….Shhhh,…aaahhh..” Om Delon menegang dan memelukku erat. Dia menciumi wajahku dengan penuh kasih, setelah akhirnya bangkit dari atasku, mungkin dia menyadari aku yang tidak nyaman. Maklum saja, kami berada di mobil. Mobil yang kami tumpangi menuju puncak mogok di tengah hutan. Sebenarnya aku memutuskan tidak ikut acara family gathering keluarga Winata. Lagian aku juga tidak ada hubungan dengan keluarga Winata, atau keluarga om Delon. Tapi, om Delon memaksaku ikut dengan alasan dia tidak tega denganku yang tinggal di rumah sendiri. Karena semua berangkat ke Puncak tadi pagi bersama seluruh anggota keluarga. Sedangkan aku baru pulang kuliah. Dan om Delon begitu melihatku, tanpa berfikir panjang, dia langsung memaksaku ikut. Aku sudah hampir enam bulan ini, tinggal di rumah om Delon. Karena keluarga tante Helga membiayaai kuliahku, aku juga harus mengikuti keinginan tante Helga yang ingin aku tinggal bersamanya karena beberapa alasan. Sebagai model papan atas, tanteku ini memang sangat sibuk. Sedangkan om Delon adalah CEO di salah satu perusahaan milik keluarganya. “Ehm!” Om Delon berdehem setelah duduk kembali dibalik stir kemudi. Aku menoleh ke arahnya. Dia meraih jemari tanganku. “Wa, Maaf, Om gak bisa menahan hasrat saat bersamamu, kali ini.” Aku menelan ludahku, dan masih terdiam. “Tapi, sungguh, Wa. Ini bukan sekedar nafsu. Om tahu, ini salah. Tapi, om berani bersumpah, apa yang terjadi, bukan hanya karena om butuh, Wa…” bisiknya lagi dan menggeser duduknya. Sementara guyuran hujan dengan sesekali petir masih terus menyambar. “Om harap, kamu gak kecewa setelah memberikan mahkota kamu ke, Om.” Om Delon menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Aku tak tahu apa maksud helaan nafas itu, apakah dia menyesal, atau apa? “Wa…” Om Delon mengusap wajahku dan mengecup dahiku hangat. “Iya, Om…” aku membalas tatapan hangatnya. “Terimakasih sudah memberikan indah di malam ini. Ini adalah pengalaman pertama om merasakan sebuah keperawanan. Meski, bukan kali pertama om tidur dengan wanita.” Tatapan matanya tiba-tiba kosong. Dia menatap jauh, ada kesedihan di sana. Tapi aku hanya bisa terdiam. “Om bakalan tanggung jawab dengan semuanya. Apalagi ini baru pertama kalinya, buat kamu.” Tatapnya teduh masih menyorot ke arahku. ”Iya, Om. Wawa belum pernah melakukan ini sebelumnya…” aku mengangguk perlahan, suaraku nyaris tak terdengar karena suara hujan sangat kencang menyapa mobil yang kami kendarai. ”Kamu nyesel, Wa? Ngasih milik kamu yang paling berharga ke, Om?” Tatapnya lagi. Aku melihat sorot mata sendu yang terpasang di wajahnya. ”Om, Wawa bingung gimana jelasinnya. Semuanya mengalir begitu saja. Dan Wawa minta maaf, karena buat om jadi tergoda dengan Wawa. Tidak seharusnya Wawa seperti ini, dan berusaha menggoda, Om.” Bisikku. Dengan cepat om Delon membungkam bibirku dengan bibirnya. ”Husst…om yang salah. Om tidak bisa membedakan kamu dan gadis lainnya. Dan om memang tidak bisa menahan hasrat om malam ini. Maafin om, Wa…” “Ini juga gak akan terjadi anda Wawa gak ikut ke Puncak, Om…” jawabku lirih, karena aku merasa bersalah. Meski aku tahu jika tante Helda memiliki pria lain, tapi bukan berarti aku harus merebut miliknya seperti ini. Apalagi tante Helga sudah baik banget padaku. ”Wa, om yang salah. Bukan kamu. Om yang benar-benar gak bisa ngendalikan diri. Kamu itu seperti magnet buat oM…” bisiknya lagi, dan aku hanya menelan ludah. “Jangan nyalahin diri sendiri begini, Wa…” sahut om Delon lagi dengan tegas. Dia menggeser duduknya dan meraih kepalaku. ”Tapi, Om. Andai Wawa gak ikut. Hal ini gak bakalan terjadi. Om gak mungkin ngianatin tante Helga. Semua ini gara-gara Wawa, Om!” Seruku sambil terisak. Penyesalan selalu datang di akhir. Entah kenapa, tadi aku seperti terhipnotis dan menikmati semua yang terjadi, bahkan aku bisa menahan rasa sakit yang luar biasa. ”Wa. Jangan kamu anggap dunia om bersih, Wa. Om tidak sebersih itu jadi suami.” Bisiknya dan om Delon memalingkan wajahnya, menatap kearah kegelapan malam. ”Iya,, harusnya bukan dengan Wawa juga, Om. Wawa udah seperti wanita yang tak tahu diri, udah nyuri milik tante Helga…” balasku sedih. ”Wa…sebenarnya, sejak om lihat kamu. Om sudah jatuh cinta ke kamu. Tapi, om sadar, bahwa om sudah menikah. Itu sebabnya, ketika om ada kesempatan untuk mengantar dan menjemput kamu pulang kuliah, om sangat menyukainya. Om ingin selalu berduaan denganmu. Om tahu, ini salah. Tapi, om juga tidak bisa membohongi perasaan om sendiri. Apalagi kamu tahu, setelah om memergoki tantemu dengan pria lain. Om seperti kehilangan arah dan tujuan, sampai kamu datang, Wa…” bisiknya lagi membuatku menelan ludah dan aku luluh. Jujur, bukan om Delon aja yang jatuh hati kala pertama ketemu. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku jatuh cinta dengan pria yang telah dinikahi tante Helga. Dan aku memilih memendam segala perasaanku selama ini. Hanya saja, entah mengapa malam ini, aku juga tidak bisa menahan diriku untuk tidak merespon setiap sentuhannya yang membakar jiwaku. ”Om…tapi, Wawa takut, Om…” bisikku lagi. Om Delon mengusap air mata yang menetes membentuk anakan sungai membasahi pipi. ”Jangan takut. Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama-sama, Wa. Om siap dengan resiko apapun…” jawabnya tegas, seperti telah dia pikirkan selama ini. ”Tapi, Om. Wawa gak mau merusak pernikahan om dan tante Helga.” Jawabku lagi dengan helaan nafas panjang. Hujan deras seperti menambah suasana semakin melankolis. ”Sebelum kamu datang, pernikahan kami juga sudah hancur, Wa. Kami hanya mencoba bertahan demi harga diri keluarga. Banyak hal yang yang membuat om tidak menginginkan pernikahan kami.” Om Delon mengusap lembut rambutku, seketika aku merasa tenang. Tapi, tiba-tiba teringat olehku sosok Dara. ”Om gak boleh egois. Dara gimana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN