Episode 9: Pernikahan Alya

1933 Kata
Setelah seharian penuh mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh pak Giri, akhirnya aku bisa pulang juga. Jika tidak dibantu oleh kak Vino aku yakin hari ini aku pasti lembur lagi. "Ikut aku." Baru saja keluar dari gedung kantor, seseorang yang tadi pagi mengabaikanku kini menyeretku secara paksa masuk ke dalam mobilnya. Siapa lagi kalau bukan Gabrian. Tapi hari ini aku tidak akan marah. Berkat dia kak Vino membantuku, dan berkat dia juga aku dan kak Vino akhirnya berencana untuk pergi ke pesta Alya bersama-sama. Setelah sampai di dalam mobil, Gabrian langsung membawaku entah kemana. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak yang ingin Gabrian cari tau dariku. Apa ini tentang Grisella? Jika iya, apa yang harus ku jawab? Haruskah aku jujur? "Itu, Gabrian, mm..." "Malam minggu nanti temani aku ke pesta keluarga Nabilah. Aku tidak ingin pergi kesana seorang diri." Sukurlah ini bukan tentang Grisella. Aku langsung bernafas lega dan mulai bersikap santai di depan Gabrian. Eh tapi tunggu dulu, malam minggu? Sial kenapa harus malam minggu sih? Tidak. Aku tidak boleh pergi bersama Gabrian. Aku harus mencari alasan untuk menolaknya. Pergi bersama kak Vino adalah sesuatu yang kuimpi-impikan sejak dulu, jadi mana mungkin kesempatan seperti itu ku sia-siakan demi menolong Gabrian. Ah mungkin dengan menjadikan keluarga sebagai alasan, Gabrian bisa mengerti dengan keadaanku. "Malam minggu aku mau mudik Gab, aku juga punya acara keluarga. Jadi aku tidak bisa menemanimu ke sana. Lagi pula kenapa kau tidak pergi bersama Nabilah? Bukanya pagi tadi kalian sudah bersama, jadi apa susahnya pergi bersama lagi." Maaf Gabrian aku terpaksa harus berbohong. Kak Vino lebih berarti bagiku dari pada hanya sekedar membantumu bersandiwara. Gabrian langsung menghentikan mobilnya di pinggir jalan begitu mendengar penolakkanku. "Ini tidak sesederhana pagi tadi Raya. Aku tidak ingin bersama Nabilah di pesta keluarganya karna aku tidak mau mereka menaruh harapan lagi padaku." "Ternyata kau masih bodoh juga. Sekarang aku ingin bertanya padamu, tapi tolong jawab jujur, apa kau masih menyukai Nabilah?" Gabrian diam. Mungkin dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaanku. "Aku tidak yakin. Tapi sepertinya aku masih menyukai wanita itu. Aku ragu mungkin karna aku takut di tinggalkan lagi." "Sudah jelas kan? Kau masih menyukai wanita itu. Lalu apa susahnya untuk kembali? Nabilah juga sepertinya masih menyukaimu. Ngomong-ngomong kenapa dia meninggalkanmu?" Gabrian kembali melajukan mobilnya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku tidak tau seperti apa luka Gabrian di masa lalu hingga sulit baginya untuk menerima Nabilah kembali. Gabrian memilih tidak menjawab dan mengalihkan pembicaraan kami. "Kau benar-benar tidak bisa menunda urusanmu?" "Tidak Gab. Namanya juga acara keluarga. Apa kau mau ikut ke acara keluargaku? Lagi pula kau tidak perlu datang ke acara Nabilah jika memang kau tidak punya teman pergi." Aku sengaja basa-basi pada Gabrian agar dia yakin kalau aku benar-benar punya acara keluarga. Aku tau dia pasti percaya, karna seseorang yang tidak bisa kubohongi hanya Arron. Arron satu-satunya orang yang mengenalku dengan baik. "Aku tidak ingin mereka menganggapku masih dendam ke Nabilah jika aku tidak pergi Raya." "Memangnya kau masih dendam? Jika kau masih dendam, itu artinya Nabilah sangat berarti dalam hidupmu." Gabrian diam saja dan terus melajukan mobilnya. Sebenarnya dia mau mengajakku kemana sih? "Gab ada sesuatu yang ingin kucari tau darimu." "Nanti saja Raya, aku mau makan malam dulu." Gabrian mengacuhkanku dan mulai memarkirkan mobilnya di salah satu restoran terkenal di Jakarta. Malam ini aku benar-benar beruntung, sudah ada janji pergi bersama kak Vino, sekarang malah di ajak makan ke restoran terkenal oleh Gabrian. Gabrian memesan ruangan khusus untuk kami berdua. Kudengar Gabrian itu orang yang benar-benar menjaga privasi. Aku yakin dia sengaja memesan ruangan khusus agar tidak ada yang tau kalau kami pergi makan bersama. Bodoh amat. Yang penting malam ini aku bisa makan enak. Setelah pesanan kami datang, kami memilih makan dalam diam tanpa disertai percakapan ringan seperti orang kebanyakan. Sesekali kulirik Gabrian yang makan dengan santai. Cara makannya benar-benar berkelas, tidak sepertiku yang makan dengan cara asal-asalan. Ku pikir aku tidak harus menjaga imageku dengan baik di depan Gabrian. Dia kan bukan siapa-siapa bagiku. Selesai makan Gabrian menatapku dengan serius. Ah apa lagi ini? "Raya apa kau tau kenapa akhir-akhir ini Grisella tampak lebih murung dan sering mengurung dirinya di dalam kamar? Mama sepertinya sangat menghawatirkan Grisella. Mama bahkan memintaku untuk tinggal dirumah beberapa hari demi membantunya membujuk Grisella agar tidak terlalu sering berada di dalam kamar." Deg. Tiba-tiba aku jadi gugup. Tatapan serius Gabrian yang tak lepas dariku, membuatku kesulitan untuk bicara. Haruskah ku katakan yang sebenarnya pada Gabrian? Tapi bagaimana jika dia melakukan sesuatu pada Arron? Bagaimana jika dia melukai Arron? Apalagi saat ini Arron belum siap menerima Grisella dan anak yang dia kandung. "Aku sedikit curiga pada kalian. Sepertinya hubungan kalian bertiga jadi merenggang akhir-akhir ini. Apa semua ini ada hubunganya dengan Arron? Apa kau dan Arron memutuskan untuk pacaran? Apa Grisella murung karna hal itu?" Aku terus diam. Jika aku bicara, kali ini aku yakin Gabrian pasti tau kalau aku sedang berbohong. Aku sungguh gugup. Apa yang harus kujawab? "Katakan saja Raya. Aku tidak akan menyalahkan siapapun. Apa kau dan Arron sudah memutuskan untuk bersama?" Seketika aku menggeleng. Tentu saja untuk pertanyaan yang satu itu aku bisa menjawabnya dengan lancar. "Kami tidak pacaran Gab. Sungguh. Aku dan Arron sampai sekarang hanyalah teman." Gabrian menarik nafas lega dan melepaskanku dari tatapan menyelidiknya. Aku juga langsung menarik nafas lega begitu Gabrian mengalihkan tatapanya dari mataku. Aku takut. Takut membocorkan rahasia yang masih disembunyikan oleh Arron dan Grisella. "Sukurlah. Itu artinya Grisella bukan sedang bersedih karna patah hati. Lalu karna apa Grisella bersikap seperti itu? Apa kau mengetahui sesuatu Raya?" Aku menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Gabrian. Ini menyangkut kedua sahabat baikku jadi aku benar-benar harus hati-hati dalam menjawab. "Aku memang mengetahui apa yang terjadi dengan mereka Gab. Tapi aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu kecuali mereka berdua sendiri yang mengatakanya. Aku tidak ingin merusak kepercayaan mereka padaku. Maaf." "Aku mengerti posisimu Raya. Aku juga tidak akan memaksamu. Sering-seringlah datang ke rumah dan ajak Grisella bicara. Aku takut dia akan semakin sedih jika tidak ada yang menemaninya." Aku mengangguk mengiyakan permintaan Gabrian. Setelah itu tak ada pembicaraan lagi diantara kami. Aku bahkan lupa menanyakan kenapa pagi tadi Gabrian bersikap cuek, juga lupa menanyakan tentang kejadian malam itu. Selesai makan Gabrian mengantarku pulang dan menyerahkan bingkisan berupa baju dan sepatu baru untukku. Ternyata dia sudah mempersiapkan semua keperluanku untuk jadi patnernya menghadiri pesta keluarga Nabilah. Sayangnya aku malah berbohong dan memilih pergi bersama kak Vino. Tidak apakan kalau sekali ini aku mementingkan perasaanku? *** Pesta pernikahan Alya akhirnya tiba juga. Demi terlihat cantik di depan kak Vino, aku memakai baju dan sepatu yang sengaja Gabrian persiapkan untukku. Kupandangi pantulan diriku sendiri di depan cermin, sangat cantik dan menawan dengan gaun putih selutut dipadu dengan sepatu warna senada. Aku sengaja menggerai rambutku agar terlihat lebih mempesona. Pukul 8 malam kak Vino sudah berada di depan apartementku. Dia sedikit terkejut melihat penampilanku malam ini. Diam-diam aku berharap dia akan segera jatuh hati padaku. "Kau cantik sekali Raya." "Terima kasih untuk pujianya kak Vino. Kakak juga tampan sekali." Kak Vino hanya tersenyum dan membukakan pintu mobilnya untukku. Sepanjang perjalanan kami terus bercerita tentang masa-masa kuliah dan bagaimana dulu aku sering sekali memperhatikanya. Perjalanan terasa begitu cepat sekali berlalu. Sebenarnya aku belum rela kami tiba disana secepat ini. Aku masih ingin berlama-lama berdua saja dengan kak Vino. Tiba di tempat resepsi, kami langsung memberi ucapan selamat kepada Alya dan suaminya sebelum bergabung dengan tamu undangan yang lain. Alya tampak menggoda kak Vino karna datang bersamaku. Selesai memberi ucapan selamat, kami segera bergabung dengan rekan kerja kami yang juga datang ke pesta Alya. Beberapa di antara mereka mulai melemparkan candaan. Kak Vino menanggapinya dengan santai dan sesekali menggandeng bahuku demi membuat teman-temanya semakin riuh. Aku yakin saat ini mukaku pasti sangat merah. Aku malu sekaligus senang meskipun semua itu hanya untuk bahan candaan. Tapi kesenangan itu seketika berubah sirna saat secara tak sengaja mataku menangkap sorot kemarahan dari seseorang yang beberapa hari lalu sengaja ku bohongi. Beberapa langkah dari hadapanku, Gabrian berdiri dengan tatapan tajam. Di sebelahnya tampak Nabilah yang juga menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Seketika aku melepaskan tangan kak Vino yang masih menggandeng bahuku. Sial. Jangan bilang keluarga Nabilah yang dimaksud oleh Gabrian itu adalah Alya atau suaminya? Kenapa Gabrian tidak bicara langsung saja sih? Aku malu sekali. Sungguh. Apalagi saat ini aku menggunakan baju yang dibeli oleh Gabrian untuk pergi dengan laki-laki lain. "Kak aku permisi ke toilet dulu ya." Kak Vino hanya mengangguk dan membiarkanku pergi tanpa menaruh rasa curiga. Tidak aku tidak boleh ada disini. Aku harus pulang. Gabrian bisa marah besar padaku jika aku tetap berada disini bersama kak Vino mengingat aku yang secara sengaja sudah membohonginya. Setelah dari toilet, aku berjalan sembunyi-sembunyi demi bisa keluar tanpa ketauan oleh Gabrian maupun kak Vino. Aku baru bisa menarik nafas lega setelah berhasil keluar dari gedung resepsi. Ku pikir kali ini aku sudah selamat, tapi aku salah besar. Baru beberapa langkah meninggalkan gedung resepsi, Gabrian yang entah sejak kapan mengikutiku malah membawaku ke tempat yang sedikit tersembunyi. Aku yang merasa begitu bersalah padanya hanya diam dan mengikuti kemana dia akan membawaku. Setelah yakin tidak ada orang yang mengikuti kami, Gabrian menghentikan langkahnya dan menghempaskan tanganku begitu saja. "Katakan padaku apa kau sengaja mau mempermalukanku? Jadi ini acara keluarga yang kau maksud itu?" Aku terus menunduk dan tidak berani menjawab sindiran Gabrian. "Kenapa harus disini Raya? Kenapa harus di depan Nabilah? Kau membuatku terlihat seperti pacar yang sedang diselingkuhi. Memalukan." "Kenapa sejak awal kau tidak memberi tau bahwa pesta yang kau maksud itu adalah pesta Alya? Jika sejak awal kau mengatakanya, aku tidak mungkin berbohong padamu." Ponselku berbunyi. Aku ingin mengangkatnya. Tapi Gabrian langsung merampas ponselku dan menonaktifkanya. Aku ingin protes, tapi Gabrian malah memasukkan ponselku ke dalam saku jasnya. "Aku juga tidak tau Raya. Aku baru menyadarinya setelah membaca undangan yang diberikan oleh Alya. Kenapa kau malah menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang sudah berbohong dan memilih pergi bersama Vino." "Itu kesempatan pertamaku Gab, aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu hanya untuk bersandiwara bersamamu." Gabrian menatapku tajam. Entah mengapa setiap kali aku egois dan mendahulukan keinginanku, pada akhirnya aku malah menyusahkan orang lain. "Aku akan kembali ke dalam, aku tidak ingin kak Vino mencariku. Lagi pula kita sudah terlanjur seperti ini. Kau bisa beralasan kalau kita sedang bertengkar pada Nabilah. Dengan begitu kau tidak akan merasa dirugikan." Aku sudah berjalan mendahului Gabrian untuk kembali masuk ke dalam gedung resepsi. "Raya jangan kembali. Jika kau kembali kesana maka kau harus bersamaku, jika tidak jangan salahkan aku jika aku mengacaukan kesempatan pertamamu itu." Aku tidak peduli pada ancaman Gabrian dan tetap melangkah meninggalkan laki-laki itu. Lagi pula apa yang bisa dia lakukan? Tidak mungkinkan di depan karyawan kantornya yang hadir dan di depan keluarga Nabilah dia berani menyeretku keluar gedung resepsi? Aku masuk ke dalam gedung resepsi dengan sedikit tergesa-gesa. Kak Vino pasti khawatir karna tidak bisa menghubungiku. Sial. Aku lupa. Ponselku masih ditangan Gabrian. Benar saja. Begitu sampai di depan kak Vino, laki-laki itu langsung menanyakan kemana aku pergi. Aku hanya beralasan bahwa aku sakit perut dan berdiam diri cukup lama di dalam toilet. Kak Vino sepertinya percaya dan tidak menanyakan apapun lagi padaku. Kak Vino mengajakku mencicipi makanan ringan yang disajikan dengan rapi di atas meja. Aku menurut dan mengikuti langkahnya ke pojok ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, Gabrian datang dan langsung menarikku ke dalam pelukannya. Aku sedikit memekik karna tidak menyangka dengan tindakan nekat Gabrian. Dengan sangat lembut dia berbisik, "Kau yang membuatku terlihat seperti orang bodoh Raya, maka kau harus lakukan ini untuk menyelamatkan mukaku." Belum sempat otakku mencerna apa maksud dari ucapan Gabrian, laki-laki itu sudah membungkam mulutku dengan bibirnya. Bibir? Sial dia mencuri ciuman pertamaku. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN