Episode 10: Arron dan Grisella

1921 Kata
EPISODE 10 #BERTEPUK_SEBELAH_TANGAN Arron dan Grisella Bibir? Sial dia mencuri ciuman pertamaku. Aku ingin mendorong Gabrian, tapi mengingat kesalahan yang sudah ku perbuat padanya, aku mengurungkan niatku dan membiarkan Gabrian melakukan apa yang dia mau. b******k. Kenapa harus di depan kak Vino sih? Gabrian akhirnya melepaskanku setelah mendengar riuh tamu undangan yang bersorak dan menggoda kami. Saat ingin pergi dan menghindari Gabrian, saat itu pula laki-laki itu kembali menarikku dan membungkuk hormat kepada tamu undangan seraya meminta maaf. "Maaf kami sedang bertengkar. Tapi sekarang sepertinya kami sudah baik-baik saja. Maaf jika sudah membuat kalian terganggu." Karna tidak enak aku juga membungkuk meminta maaf. Tamu yang menyaksikan kami hanya tersenyum dan melemparkan candaan-candaan konyol pada kami berdua. Saat mataku memperhatikan sekeliling, saat itulah aku melihat tatapan sedih dari Nabilah dan tatapan kecewa dari beberapa orang yang sepertinya berharap Gabrian kembali pada wanita itu. Setelah melihat Nabilah, pandanganku beralih pada kak Vino yang sedang mengacungkan jempolnya padaku. Jadi dia mendukungku dan Gabrian? Jika seperti ini berarti kak Vino benar-benar tidak punya perasaan khusus padaku. Padahal aku sempat berharap dia akan kecewa karna kejadian tadi. Karna begitu kecewa, aku menarik Gabrian keluar dan meninggalkan gedung pernikahan dengan perasaan sedih. Aku salah. Meskipun sekarang Alya sudah menikah, tapi sepertinya kak Vino belum membuka hatinya untuk wanita lain. Padahal diam-diam aku berharap dia akan cemburu dengan kedekatanku dan Gabrian. Aku meminta Gabrian untuk segera membawaku pulang. Perasaanku sedang tidak enak sekarang. Entah harus marah pada siapa. Gabrian yang sepertinya mengerti suasana hatiku, memilih untuk diam dan membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Ditengah kebisuan yang terjadi di antara kami, ponsel Gabrian berbunyi. Aku mencoba untuk tidak peduli pada orang yang menghubunginya, tapi begitu dia meneriakan nama Grisella, aku langsung menatapnya antusias. "Apa? Grisella dibawa ke rumah sakit? Rumah sakit mana ma?" ... "Aku akan segera kesana. Papa sudah disana?" ... "Secepatnya aku akan menyusul ke rumah sakit ma." Gabrian memutuskan sambungan telpon dan sedikit mempercepat laju mobilnya. "Gab aku ikut. Aku harus melihat kondisi Grisella." Gabrian hanya diam dan terus menambah kecepatan. Apa yang terjadi pada Grisella? Apa Grisella benar-benar melakukan perkataanya waktu itu? Apa dia benar-benar berniat menggugurkan kandunganya? Menyadari itu aku jadi semakin cemas. Arron. Arron harus tau keadaan Grisella. Arron tidak bisa bersikap kekanak-kanakan terus seperti ini. Seketika tanganku mangambil ponsel yang sejak tadi disimpan Gabrian dalam saku jasnya. Gabrian tidak menghiraukanku dan tetap fokus mengemudi. Begitu ponselku menyala, aku langsung menghubungi nomor Arron. Sudah beberapa kali panggilan, tapi Arron belum kunjung menjawab. Kemana laki-laki itu. Begitu telpon tersambung, aku langsung berteriak pada Arron. "Kau kemana saja berengsek! Sejak tadi aku menghubungimu." ... "Grisella dibawa ke rumah sakit. Aku belum tau bagaimana kondisinya. Tapi sepertinya sakit Grisella sedikit serius." ... "Arron kumohon. Berhentilah bersikap seperti ini. Kumohon demi aku, sekali ini saja kumohon jadilah laki-laki yang bertanggung jawab Arron. Kumohon." ... Aku memutuskan sambungan telpon sambil menangis. Di ujung sana Arron juga menangis menyesali perbuatanya. Gabrian memilih diam dan tidak menuntut penjelasan apapun dariku. Aku takut Grisella benar-benar menggugurkan kandungannya. "Raya kita sudah sampai. Berhentilah menangis kumohon. Percayalah Grisella pasti baik-baik saja." Gabrian mengelus pucuk kepalaku dan memintaku untuk segera keluar dari mobil. Aku masih diliputi kecemasan yang luar biasa. Aku takut apa yang ada dipikiranku benar-benar terjadi. Grisella dan Arron tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa mereka sesali nantinya. Gabrian menelpon mamanya untuk mengetahui di kamar mana Grisella di rawat. Aku terus mengikuti Gabrian sembari terus berdoa semoga Grisella dan bayinya baik-baik saja. Setelah mencari cukup lama, akhirnya kami tiba di kamar tempat Grisella di rawat. Grisella terlihat begitu pucat dan sangat lemah. Air mataku tiba-tiba jatuh menyaksikan begitu rapuh wanita itu. Andai waktu bisa di ulang. Andai malam itu kami tidak pergi ke klub pasti semua ini tidak akan terjadi. "Bagaimana keadaanya ma?" Mendapat pertanyaan dari Gabrian, tante Gina langsung menangis sambil memeluk Gabrian. Apa tante Gina sudah tau mengenai kehamilan Grisella? Om Danu, ayah Gabrian, tampak terduduk di sofa dengan tangan menutup mukanya. Sepertinya mereka sudah mengetahui perihal kehamilan Grisella. "Ada apa ma? Pa?" Gabrian tampak bingung dan bergantian menatap kedua orang tuanya. Aku memilih diam meskipun tau apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada yang bicara. Semua membisu. Ditengah kebisuan itulah Arron datang bersama kedua orang tuanya. Tanpa basa-basi Arron langsung berhambur ke ranjang tempat dimana Grisella terbaring dan menggenggam tangan wanita itu. Air mataku jatuh. Aku terharu. Arron akhirnya menyadari kesalahanya selama ini. "Gris kumohon bangunlah. Aku minta maaf Gris. Aku bersalah padamu." Arron menangis sambil mencium tangan Grisella. Kami semua menjadi saksi betapa saat ini Arron begitu putus asa melihat keadaan Grisella. "Gris aku minta maaf. Aku mengabaikanmu dan membiarkanmu menanggung semua ini sendiri. Aku benar-benar laki-laki b******n Gris. Jadi kumohon bangunlah, jika kau bangun akan kulakukan apa saja untukmu. Gris kumohon bangunlah. Kita bisa memperbaiki kesalahan ini bersama-sama." Kulihat ayah Arron mengajak ayah Grisella untuk bicara diluar. Ibu Arron memilih memeluk ibu Grisella yang terus saja menangis. Sedangkan Gabrian, dia menatapku penuh tanda tanya. Aku diam saja dan menggenggam tangan Gabrian erat. Sekarang sepertinya hanya Gabrian satu-satunya orang yang tidak tau apa-apa tentang kejadian ini. "Gris aku janji akan bertanggung jawab atas hidupmu dan bayi kita, jadi kumohon sadarlah Gris. Kesalahan ini kita berdua yang membuatnya, seharusnya aku tidak egois dan membiarkanmu menanggungnya sendiri hanya karna aku belum siap untuk menjadi seorang ayah. Sekarang aku sudah menyadari semua kesalahanku Gris, jadi kumohon sadarlah." Arron terus menangis sesunggukan. Gabrian yang mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi tiba-tiba menarik kerah baju Arron dan siap melayangkan pukulan pada laki-laki itu. Aku langsung mencegah Gabrian melakukannya. "Kumohon Gabrian, jangan membuat keributan. Grisella sedang sakit sekarang." Gabrian mulai bisa menguasai emosinya dan melepaskan Arron. Saat itulah suara lirih Grisella terdengar dan membuat kami langsung menoleh ke arahnya. "Mama..." Arron langsung berhambur kepelukan Grisella begitu mendengar suara wanita itu. Air mataku terus saja mengalir meyaksikan betapa dua orang yang begitu dekat denganku ini akhirnya menyadari kesalahan mereka masing-masing. "Arron kenapa kau disini? Ini dimana? Kenapa kalian semua berkumpul?" "Kau di rumah sakit Gris, mama bilang tadi kau pingsan di kamar mandi." Gabrian memilih menjawab pertanyaan Grisella karna Arron masih saja menangis. Aku menarik Gabrian menjauh untuk memberi ruang pada Grisella dan Arron berbicara dari hati ke hati. Gabrian menurut dan mengikutiku keluar. Diluar kulihat orang tua Arron dan Grisella berbicara secara serius. Aku memilih menghindar dan berjalan keluar dari rumah sakit. Aku tidak berhak ikut mendengarkan pembicaraan mereka. "Hei kau mau kemana Raya?" Gabrian mengikuti langkahku keluar ketimbang ikut mendengarkan pembicaraan orang tuanya. "Aku tidak punya hak untuk ikut mendengarkan pembicaraan keluarga kalian Gabrian. Sekarang semua sudah baik-baik saja jadi aku memutuskan untuk pulang." "Aku akan mengantarmu." "Tidak perlu Gab. Kau harus menemani Grisella. Dia butuh banyak dukungan dari orang-orang terdekatnya." "Tidak. Aku akan mengantarmu. Ini sudah larut malam Ray. Sekarang Grisella sudah bersama Arron, jadi aku tidak perlu menghawatirkanya." Sudahlah aku tidak ingin berdebat dengan Gabrian. Dia tife orang yang tidak suka di bantah. Lagi pula ini sudah hampir tengah malam, sebenarnya aku takut pulang sendiri, tapi untuk merepotkan Gabrian aku juga tidak enak. "Gab sebenarnya apa yang terjadi malam itu? Kenapa kita bisa tidur bersama? Kenapa Arron berakhir tidur dengan Grisella?" Aku mulai membuka pembicaraan setelah kami cukup jauh meninggalkan rumah sakit. Ini saat yang tepat untuk bicara. Aku benar-benar harus tau apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Gabrian menghela nafas dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Hari itu kebetulan aku melihat kalian bertiga di klub tempat dimana seorang kolega mintaku untuk bertemu. Awalnya aku ingin menyeret Grisella pulang, tapi melihat Grisella bersamamu dan Arron, aku membiarkannya. Kita memang belum pernah bertemu, tapi karna sering melihat foto kalian di ponsel Grisella, aku dapat mengenali kalian berdua dengan mudah." "Setelah urusanku beres, aku bermaksud pulang setelah melihat Arron dan Grisella tampak masih baik-baik saja. Aku tidak melihat keberadaanmu, aku juga tidak peduli. Beruntung saat itu aku mampir ke kamar mandi dan melihatmu diperlakukan kurang ajar oleh laki-laki yang kuyakini tidak kau kenal. Saat itu kau terus berontak, makanya aku langsung menolongmu dan membawamu pergi dari klub tersebut." "Awalnya aku ingin kembali dan menyeret Grisella pulang bersamamu. Tapi saat itu kau terus memelukku dan tidak membiarkanku pergi. Karna kupikir Arron tidak mungkin meninggalkan Grisella, aku berinisiatif untuk mengantarmu terlebih dahulu." Gabrian kembali menghela nafas berat sebelum melanjutkan ceritanya. Aku hanya diam dan mendengarkan dengan antusias. "Seseorang mungkin sudah mencampur minuman kalian dengan obat perangsang. Malam itu sepanjang perjalanan kau terus berteriak panas dan terus mencoba memintaku menyentuhmu. Karna tidak tahan melihat kondisimu, aku segera membawamu ke hotel terdekat. Awalnya aku hanya akan mengantarmu kesana dan meninggalkanmu sendiri. Tapi malam itu kau terus memelukku dan memintaku tinggal disana." "Sebelum kewarasanku menghilang, aku segera meninggalkanmu di kamar hotel. Tapi apa yang selanjutnya terjadi sungguh membuatku tak bisa meninggalkanmu. Kau keluar dari kamar dan membuat keributan. Karna tak ingin membuat suasan semakin riuh, akhirnya aku kembali menyeretmu masuk ke dalam kamar." "Disanalah kesabaranku di uji Raya. Dalam pengaruh obat laknat itu, kau melepaskan satu persatu pakaian luarmu sambil terus memeluk dan menciumku. Tak ingin lepas kendali, aku memilih menguncimu di dalam kamar mandi. Setidaknya kau ku kurung disana sampai reaksi obat itu menghilang. Saat tidak lagi mendengar teriakanmu, aku baru membuka pintunya. Saat itu kau sudah jatuh tertidur di lantai kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja." "Aku memindahkanmu ke kamar dan lupa kalau aku juga harus menjaga Grisella. Karna terlalu lelah aku ikut tertidur bersamamu. Setelah terbangun, kau tau apa yang selanjutnya terjadi. Aku sungguh tidak menyangka jika malam itu ternyata Grisella malah berakhir tidur bersama Arron. Andai saja malam itu aku kembali dan menyeret Grisella pulang. Andai saja malam itu aku tidak tertidur." Gabrian memukul kemudi dengan keras. Aku kaget setengah mati karna Gabrian juga tidak sengaja menekan klakson mobil. "Kau tidak salah Gab. Aku yang salah. Andai malam itu aku tidak mabuk. Andai malam itu aku tidak bertemu denganmu, maka semua ini pasti tidak akan terjadi." "Jika kau tidak bertemu denganku, maka aku yakin kau pasti berakhir tidur dengan laki-laki b******n. Setidaknya meskipun tidak bisa menyelamatkan Grisella, aku masih bisa menyelamatkanmu. Jadi berhenti merasa bersalah dan mulailah jadi wanita penurut untuk laki-laki yang sudah menyelamatkanmu ini." Aku tidak menanggapi ucapan Gabrian. Dia benar. Aku berhutang budi padanya. Jika tidak bertemu Gabrian entah bagaimana nasibku sekarang. "Gab saat itu aku belum berterima kasih dengan benar padamu. Aku juga tidak minta maaf secara pantas. Maaf ya hari itu aku sudah merepotkanmu juga terima kasih karna hari itu sudah menyelamatkanku." "Kau sahabat baik adikku Raya, tentu saja aku harus menolongmu. Sudahlah lupakan kejadian itu. Aku juga minta maaf karna sudah menciumu tadi." "Ngomong-ngomong soal ciuman, kenapa kau mencuri ciuman pertamaku di depan kak Vino Gabrian?" Gabrian menatapku tidak percaya. "Ciuman pertama? Itu ciuman pertamamu? Pantas saja." "Pantas saja? Pantas apanya?" Aku bertanya menyelidik sambil menatap Gabrian tajam. "Pantas saja tidak ada reaksi." Aku langsung memukul lengan Gabrian begitu dia menjawab pertanyaanku. Sial ternyata Gabrian sedang mengejekku. "Bagus dong. Artinya aku menjaga diriku untuk calon imamku kelak." Tiba-tiba Gabrian menghentikan mobilnya begitu saja sambil menatapku. "Bagaimana kalau kita ulang kejadian di pesta tadi? Kali ini aku pasti akan mengajarimu dengan benar Raya." "Kau gila." Aku mendorong Gabrian menjauh. Gabrian langsung terkekeh dan memintaku untuk turun. Aku jadi malu sendiri karna tidak menyadari kalau kami sudah sampai. Gabrian mengantarku ke depan pintu apartemen mengingat hari yang sudah lewat tengah malam. Dia baru pulang setelah memastikan kalau aku sudah berada di dalam apartemenku. Hari ini ada sedih sekaligus senang, sedih karna ka Vino, juga bahagia karna Arron dan Grisella. Hari esok entah akan jadi seperti apa, yang pasti saat ini aku bersyukur karna semua sudah baik-baik saja. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN