Episode 8: Harus bagaimana?

1892 Kata
"Gris Grisella hamil? Arron kau bohongkan? Bagaimana bisa?" Arron terus menangis dalam pelukanku. Sepertinya dia sangat terpukul mendengar berita kehamilan Grisella. Apa mungkin malam itu Arron dan Grisella benar-benar tidur bersama? "Apa yang harus kulakukan Raya?" Arron melepaskan pelukanya dan menatapku penuh penyesalan. Aku benar-benar sedih melihat Arron yang seperti ini. Dia tidak pernah selemah ini sebelumnya. Selama ini dia yang selalu menguatkan kami jika kami punya masalah. Setelah Arron tenang dan bisa menguasai dirinya, aku mengajak Arron masuk ke apartementku. Ku suguhkan segelas air dingin yang langsung diminum habis olehnya. Wajah Arron tampak pucat. Sepertinya dia melewatkan waktu tidur dan makan sejak kemarin. Melihat kondisi Arron yang seperti ini aku jadi sangat khawatir. Apa yang sebaiknya ku lakukan? "Arron mandilah terlebih dulu, aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Aku menyerahkan handuk pada Arron yang masih melamun dengan pandangan mata kosong. Dia menerimanya dan berjalan gontai ke kamar mandi. Saat Arron mandi saat itulah aku segera menghubungi ibunya agar beliau tidak khawatir dengan keberadaan Arron. Tante Anggun sangat senang karna Arron sudah ditemukan dan baik-baik saja. Beliau sangat berterima kasih padaku padahal sejujurnya aku tidak melakukan apa-apa untuk menemukan Arron. Untuk sementara masalah kehamilan Grisella harus disembunyikan sampai Arron dan Grisella siap untuk mengakui kebenaranya. Selesai menghubungi tante Anggun, aku segera memasak makanan siap saji untuk makan malam kami. Arron terlihat lebih segar setelah keluar dari kamar mandi. Aku segera menghampiri Arron dan menariknya ke meja makan. Arron diam saja dan menuruti semua perintahku. Kami makan dalam diam. Sesekali kulirik Arron yang makan sambil menangis. Kehamilan Grisella benar-benar menjadi pukulan telak untuknya. "Raya kenapa Grisella harus hamil? Kenapa malam itu kami bisa tidur bersama? Kenapa malam itu aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri?" Arron menghentikan suapanya dan sekali lagi menatapku penuh penyesalan. "Harusnya saat ini kita sudah melangkah ke hubungan yang lebih intim. Harusnya saat ini kita sudah pacaran. Kenapa sekarang Grisella harus hamil Raya? Apa memang tidak ada sedikitpun kesempatan untukku bersama denganmu? Kenapa Grisella harus hamil disaat kita memutuskan untuk mulai pacaran? Ini tidak adil untukku Raya, ini tidak adil." Arron kembali terisak. Air mataku jatuh saat melihat Arron yang begitu terpuruk atas hamilnya Grisella. Jika tau Grisella hamil, maka sampai matipun aku tidak akan berbalik memihak Arron dan mengajaknya untuk pacaran. "Kenapa tuhan seperti ini padaku Raya? Kenapa tuhan begitu tidak ingin aku bersamamu? Dan kenapa alasannya selalu Grisella? Dulu kau menolakku karna kau tau Grisella menyukaiku, sekarang disaat kau memutuskan untuk menerimaku, kenapa lagi-lagi Grisella jadi alasan agar kita tidak bersatu. Kenapa begini Raya? Kenapa?" "Cukup Arron. Ini bukan salahmu atau salah Grisella." "Jadi aku harus apa Raya? Aku tidak bisa menikahi Grisella dan menjadi ayah yang baik untuk anaknya. Aku tidak mencintainya Raya. Bagaimana ini?" Arron kembali terisak. Jika dia tidak mau menikahi Grisella apa yang akan dilakukan oleh gadis itu? "Arron apapun yang terjadi kalian berdua harus menikah. Dengarkan aku Arron. Mungkin kau memang tidak mencintai Grisella, tapi kau adalah ayah dari anak yang dia kandung. Anak itu tidak bersalah Arron, dia butuh sosok seorang ayah." "Tidak Raya tidak. Aku tidak bisa menikahi Grisella. Lebih baik anak itu di gugurkan." Arron berdiri dengan amarah yang berapi-api dan meninggalkanku di meja makan. Segera ku kejar laki-laki itu saat dia bermaksud hendak meninggalkan apartementku. Aku berteriak pada Arron yang sudah meraih gagang pintu. Laki-laki itu berhenti karna mendengar teriakanku. Tidak. Dia tidak berhenti karna teriakanku. Dia berhenti karna saat ini seseorang yang sejak tadi kami bicarakan, sedang berdiri dengan takut di ambang pintu apartementku. Ya dia Grisella. Grisella yang terlihat begitu pucat dan sedikit lebih kurus. "Grisella" Grisella menatapku gugup seolah meminta pertolongan saat namanya disebut Arron dengan sedikit penekanan. "Kita bicara di dalam Arron. Aku tidak ingin tetangga yang lain terganggu karna pembicaraan kita." Aku menarik Grisella ke ruang tamu. Arron masih berdiri di ambang pintu tanpa berniat untuk mengikuti kami. "Aku belum sanggup menatap Grisella Raya, maafkan aku sepertinya aku tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini." Setelah berkata begitu Arron segera meninggalkanku yang sudah siap menariknya ikut ke ruang tamu. Grisella yang sejak tadi hanya diam, kini jadi terisak setelah kepergian Arron. "Gris kumohon jangan menangis. Pasti ada jalan. Aku yakin Arron pasti akan bertanggung jawab. Bukankah kita sangat mengenal Arron? Percayalah Arron tidak mungkin meninggalkanmu." "Raya bagaimana ini? Sepertinya Arron sangat membenciku. Apa yang harus kulakukan dengan anak ini Raya? Haruskah aku menggugurkanya?" "Apa kalian berdua sudah gila? Anak itu tidak bersalah Gris. Jangan bicara konyol seperti itu." "Jadi aku harus apa Raya? Kau lihat, Arron bahkan tidak ingin menatapku. Lalu bagaimana mungkin dia akan bertanggung jawab pada anak ini?" Grisella semakin terisak. Aku memeluknya untuk memberi kekuatan pada wanita itu. "Percayalah Gris. Arron pasti segera menyadari kesalahanya. Aku yakin saat ini dia hanya syok dan belum siap untuk menjadi seorang suami sekaligus ayah dari anak yang kau kandung. Percayalah, Arron laki-laki yang bertanggung jawab. Dia pasti akan menikahimu Gris." Grisella hanya mengangguk dalam pelukanku. Dia masih terisak. Sama seperti Arron, Grisella juga terlihat begitu rapuh. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Kenapa Arron bisa tidur dengan Grisella dan aku berakhir tidur dengan Gabrian. Apa Gabrian tau sesuatu? Apa semua ini ada hubunganya dengan Gabrian? Aku benar-benar harus bicara empat mata dengan laki-laki itu. *** Keesokan harinya aku sengaja datang lebih pagi dan menunggu Gabrian di parkiran kantor. Hari ini kami harus bicara. Meskipun jam masuk kantor sudah setengah jam berlalu, Gabrian masih belum terlihat juga. Sial jika seperti ini aku pasti dimarah pak Giri lagi. Aku sudah bermaksud akan segera masuk saat dari kejauhan ku lihat mobil Gabrian memasuki area parkir kantor. Aku sengaja menunggu Gabrian di tempat dimana dia biasa memarkirkan mobilnya. Awalnya aku ingin memasang wajah galak di depan laki-laki itu. Tapi aku sangat terkejut begitu melihat Gabrian tidak sendiri saat keluar dari mobilnya. Dia bersama Nabilah. Kenapa mereka bisa bersama? Ah itu bukan urusanku. Tapi kenapa harus sekarang sih? "Hei Raya kenapa menunggu disini?" Nabilah menyapaku dengan wajah berseri-seri. Apa ada sesuatu yang begitu membahagiakanya? Apa mereka sudah pacaran lagi? Menyadari itu aku mengalihkan pandanganku untuk menatap Gabrian. Laki-laki itu terlihat biasa saja, aku tidak bisa menyimpulkan apapun dari raut wajahnya. "Sebenarnya aku ingin bicara dengan Gabrian. Tapi sepertinya kalian juga punya hal untuk diselesaikan." "Raya jika itu adalah hal penting maka sebaiknya jangan di tunda lagi. Kau sengaja menunggu Gabrian disini pasti karna apa yang ingin kau bicarakan adalah hal yang mendesak. Kau jangan salah paham, kami hanya kebetulan bertemu tadi." Nabilah mulai terlihat bersalah dan mungkin menganggap bahwa kami sedang bertengkar. "Jika memang ada yang harus kau sampaikan, aku akan menunggumu di ruanganku sekarang." Mendapati suara Gabrian yang datar dan seperti tidak tertarik, aku jadi merasa begitu malu pada Nabilah. Sial Nabilah pasti benar-benar berpikir kalau kami sedang bertengkar. "Sudahlah lain kali saja. Kalau begitu aku masuk duluan. Sampai jumpa Nab." Aku meninggalkan mereka berdua dengan perasaan kesal setengah mati. Sebenarnya apa mau Gabrian? Kenapa dia memperlakukanku begitu dingin di depan Nabilah? Apa mereka benar-benar sudah bersama lagi? Apa Gabrian sudah mengatakan yang sebenarnya pada Nabilah? Jika memang seperti itu berarti Gabrian sedang mempermalukanku di depan Nabilah. Saat sampai di ruanganku, pak Giri sudah siap ceramah dan memberikan setumpuk pekerjaan padaku sebagai hukuman karna aku datang terlambat. Ah Gabrian sialan. Ini semua gara-gara dia. "Hei mau di bantu?" Kak Vino mengambil kursi dan duduk disebelahku. Akhir-akhir ini kami jadi lebih dekat karna sering kerja lembur bersama. "Tidak usah kak. Lagi pula pekerjaan kakak biasanya lebih banyak dari pekerjaanku." "Tidak perlu sungkan Raya. Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku, jadi tidak ada salahnya jika aku membantumu." "Iya nih si Raya sok-sokan tidak mau di bantu, kalau belum selesai juga memangnya kamu mau bermalam disini sendirian? Sama setan?" Bima yang sejak tadi diam kini ikut bicara dan sedikit menakut-nakutiku. Bima benar, jika tidak di bantu aku pasti akan pulang malam lagi. Tapi aku juga tidak enak jika harus merepotkan kak Vino. Dalam ke bimbanganku kak Vino malah sudah mengerjakan pekerjaan yang seharusnya di bebankan padaku. Ya sudahlah. Bukankah jika kami sering kerja bersama maka akan semakin banyak waktu bagiku untuk dekat dengannya? Baiklah kali ini aku akan memaafkan Gabrian. Bukankah berkat dia kak Vino jadi membantuku dan perlahan-lahan mulai mengikis jarak diantara kami? Kami mulai bekerja tanpa menghiraukan waktu. Perutku berbunyi minta di isi saat melihat jam sudah menunjukan waktu istirahat. Tapi bagaimana aku bisa makan jika kak Vino belum makan. Kak Vino yang seharusnya membantuku malah mengerjakan hampir semua pekerjaanku. Tidak mungkinkan aku makan sendirian sedangkan kak Vino yang sejak tadi mengerjakan pekerjaanku masih terlihat sangat asik dengan pekerjaanya? Apa dia gila kerja? Atau apa dia sedang mengalihkan pikirannya dari Alya? Baru saja bicara tentang Alya, wanita itu muncul dari ambang pintu. Panjang umur sekali bukan? Begitu namanya kusebut di kepalaku, orangnya langsung muncul dihadapanku. "Hei Raya, Vino, kalian kompak sekali? Sedang mengerjakan apa?" Alya menyapa seraya menarik kursi duduk mendekat ke arah kami. "Aku sedang membantu Raya mengerjakan pekerjaanya Al. Kau sudah makan?" Kak Vino bicara sangat lembut di depan Alya. Aku tau kak Vino memang tipikal orang yang santun dan ramah saat bertutur kata, tapi aku tau terhadap Alya kak Vino memperlakukan wanita itu berbeda. "Hari ini aku tidak kerja Vin, jadi aku juga tidak makan disini. Tadi aku sudah makan di luar. Hari ini aku cuma mau mengantarkan undangan pada rekan kerja kita. Oh iya, ini undangan untukmu dan ini untuk Raya. Titip juga punya Bima ya. Kalau undangan pak Giri dan yang lain sudah kuletakkan di meja mereka masing-masing." Deg. Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Ku tatap kak Vino yang masih bisa tersenyum sambil menerima undangan dari Alya. Apa hatinya memang setegar itu? Apa dia tidak terluka? Dari pancaran matanya aku bisa melihat kalau kak Vino baik-baik saja. "Hei Raya." Aku langsung tergagap malu saat Alya mengibaskan undangannya di depan mukaku yang sejak tadi terus memperhatikan kak Vino. "Maaf aku tadi sedang melamun." "Apa iya melamun bisa dilakukan sambil menatap laki-laki setampan Vino?" Alya tertawa renyah saat menggodaku yang kedapatan sedang menatap kak Vino. Kak Vino hanya tersenyum menanggapi candaan Alya. Sekali lagi dapat ku lihat dengan jelas kalau laki-laki itu baik-baik saja. Sungguh aku salut pada ketabahan hatinya. "Baiklah kalau begitu aku pamit duluan ya. Kalian berdua sebaiknya segera makan, waktu istirahat akan segera habis. Sampai jumpa di hari pernikahanku." Alya melambaikan tangannya pada kami berdua dengan wajah yang masih berseri-seri. Sepertinya dia sangat bahagia. Sekali lagi ku tatap wajah kak Vino yang masih terlihat biasa saja. Bahkan kini dia malah terlihat sama bahagianya dengan Alya. "Apa kakak baik-baik saja?" Kak Vino menatapku heran karna aku menanyakan bagaimana perasaanya. Sebenarnya aku hanya ingin memastikan apakah wajah yang di perlihatkanya ini benar-benar tulus atau hanya karna ingin terlihat baik-baik saja di depan Alya. "Aku baik-baik saja Raya. Bahkan aku merasa sangat baik-baik saja. Eh bagaimana kalau kita datang ke pesta pernikahan Alya sama-sama? Tapi..." "Baiklah. Aku akan sangat senang sekali jika bisa pergi sama kakak." Aku langsung memotong ucapan kak Vino begitu mendengar tawaran darinya. Kapan lagi kesempatan seperti ini datang padaku, jadi aku tidak boleh melewatkanya. "Kalau begitu kita sepakat ya. Malam minggu aku akan menjemputmu. Raya sebaiknya kita makan dulu baru lanjut kerja." "Siap bos." Aku langsung berdiri sambil memberi hormat padanya. Kak Vino langsung tersenyum melihat tingkah konyolku. Sesaat aku lupa tentang masalah Arron, tentang kehamilan Grisella, dan tentang Gabrian. Saat ini aku begitu bahagia karna mendapat ajakan pergi bersama ke pesta Alya oleh kak Vino. Sekali-sekali bolehkan aku memikirkan diriku sendiri? To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN