Kenapa harus Niana? Pertamaan yang sama terputar selalu dalam pikiran dan benak Laura. Dimulai saat bangun dari tidur yang seperti pingsan itu. Mungkin sudah sekitar satu jam Laura memikirkan jawabannya. Tapi tidak menemukan petunjuk apapun.
Awal bangun, Laura terkejut mendapati jarum infus tertancap pada tangan kanannya. Karena memang Laura tidak terusik tidurnya mulai dokter memeriksa sampai memasukkan jarum infus.
Setidaknya Laura masih bersyukur karena tidak di rawat di rumah sakit. Bagi Laura, rumah sakit itu menyeramkan.
Menengok ke kanan, mendapati Lilina yang ikut terbaring di sampingnya. Wajah Lilina damai dalam tidur. Sampai Laura tak tega untuk membangunkan. Entah sekarang jam berapa Laura tak tahu. Yang jelas perutnya terasa lapar dan menuntut untuk diisi. Jika tidak dalam kondisi lemah seperti sekarang, tentu saja Laura sudah berada di dapur untuk mencari makanan. Sayangnya, badan Laura terlalu lemas untuk di ajak beranjak. Jadi memilih tetap berbaring dengan kondisi perut yang sesekali berbunyi. Ingin Laura bisa kembali tidur namun tidak ada rasa kantuk yang datang sedikitpun. Memang berapa lama Laura tertidur? Hari juga sepertinya sudah larut. Berarti tertidur kurang lebih 8 jam? Atau 9 jam? Lama sekali.
Karena tidak bisa kembali tidur dan terlalu lemas untuk mencari makan, Laura berakhir dengan melamun. Teringat lagi kejadian menyakitkan yang terjadi hari ini. Padahal Laura berharap semua hanya mimpi dan saat terbangun akan kembali seperti semula. Tapi sayangnya yang menimpanya hari ini benar adanya. Bukan mimpi apalagi ilusi.
Rasanya Laura ingin menanyakan alasan Niana secara langsung. Penasaran apa yang menyebabkan sampai tega menimbulkan kekacauan ini. Namun Laura menyadari itu tidak akan terjadi. Laura memang sakit hati, tapi tidak sampai tega untuk berteriak marah di hadapan wajah Niana.
"Loh Dek, Kamu bangun?" Lilina mengucek matanya.
"Laper? Mau makan apa? Biar Mama buatin," tawar Lilina. Menyadari pasti anak gadisnya kelaparan setelah tertidur panjang.
"Mm.. pengin makan yang ringan aja Ma," jawab Laura parau. Entah terlalu lama menangis atau terlalu lama tertidur, suaranya jadi serak.
"Mau biskuit? Eh makan roti aja ya. Kamu belum makan dari siang. Terus habis itu minum obat." Lilina dengan telaten menyiapkan roti tawar dengan selai stroberi kesukaan Laura yang kebetulan sudah Lilina siapkan di atas meja di dalam kamar ini.
Laura tak menolak. Dari pada bersikeras makan ringan dan berujung cacing di perutnya yang tak bisa diam sepanjang malam kan.
"Nah, ayo buka mulutnya," ucap Lilina. Menyuapi Laura seperti bertahun-tahun lalu ketika anak bungsunya itu masih kecil.
Dengan senang hati Laura membuka mulut. Ah, rasanya selalu menyenangkan saat disuapi makan oleh sang ibu.
"Ini diminum dulu obatnya. Biar cepet sembuh." Lilina mengangsurkan sirup dan juga beberapa obat dalam bentuk kapsul.
"Ma, Aku tidur berapa lama?" tanya Laura penasaran.
"Mm.. sekitar 12 jam mungkin. Tadi dikasih obat tidur juga sama Dokter. Biar Kamu bisa istirahat lebih lama."
Mendengar ucapan Lilina, Laura melongo. Pantas saja perutnya terasa lapar dan badan pegal saat terbangun. Ternyata selama itu Laura tertidur.
"Pantes laper banget tadi," gumam Laura pelan.
"Makan lagi ya, pasti kamu masih laper," ujar Lilina yang mendengar gumaman Laura.
"Engga ah Ma. Udah lumayan kenyang. Takutnya malah nanti di keluarin lagi. Mulut Aku juga agak gak enak rasanya," tolak Laura halus.
"Yaudah. Kalo gitu Kamu tidur lagi ya. Biar kondisi Kamu besok pulih." Lilina membenarkan selimut Laura. Menariknya sampai menutupi leher gadis itu.
"Aku gak bisa tidur Ma. Gak ngantuk sama sekali," bantah Laura beralasan. Bagaimana bisa, setelah tidur kurang lebih 12 jam kantuk mendera dengan cepat.
"Yaudah Kamu mau apa? Mama temenin deh. Mau nonton?" tanya Lilina. Sebisa mungkin menghindarkan putrinya dari pikiran yang menyebabkannya sampai tumbang seperti ini.
"Kenapa harus Niana ya Ma?" tanya Laura cepat. Dalam pikiran gadis itu masih belum menemukan jawabannya. Dan melontarkan pada sang Ibu yang barangkali tahu menahu kemungkinan alasan Niana melakukannya.
"Dek, gak usah bahas itu dulu ya. Fokus sama kesembuhan Kamu dulu. Nanti kalo udah sehat, Kamu bisa tanyain langsung sama yang bersangkutan. Karena jujur aja, Mama juga gak tau jawaban dari pertanyaan yang Kamu tanyakan itu," nasihat Lilina. Menginginkan agar Laura tak perlu memikirkan itu untuk sekarang.
"Adek pemasaran Ma. Apa ada sesuatu atau ucapan Aku yang buat Niana sakit hati?" tanya Laira frustasi.
"Aku bisa gila kalo terus-terusan mikirin ini Ma," lirih Laura. Mulai dapat mengendalikan diri lagi.
"Dek, dengerin Mama. Ini bukan salah Kamu. Semua yang terjadi belakangan ini bukan salah Kamu. Karena ini memang udah takdir Tuhan, udah seharusnya terjadi. Jadi sekali lagi Mama mohon, jangan salahin diri Kamu sendiri lagi. Kalo sampai Mama lihat lagi, Mama sakit hati Dek, ngerasa gak bener ngejaga Kamu," ucap Lilina tegas. Jangan sampai Laura terlalu larut dalam menyalahkan dirinya sendiri. Memang sejak dulu jika ada seseorang yang menjauhi atau berbuat jahat terhadap Laura, gadis itu bukannya benci malah sibuk menyalahkan dirinya yang bersalah. Sampai-sampai semuanya bisa tetjadi.
Laura diam. Tidak bisa mengiyakan walau untuk menenangkan Mamanya. Karena memang Laura juga tidak tahu apa nanti akan berhenti menyalahkan dirinya atau tidak.
Lilina memeluk lembut tubuh putrinya. Menyadari betul Laura tidak akan berhenti menyalahkan dirinya semudah itu. Laura terlalu baik dan polos. Sampai membenci orang yang telah berbuat salah padanya saja tidak pernah bisa. Bukan hanya sekarang, melainkan dari dulu. Yang membuat Lilina tak habis pikir, pernah saat masih duduk di sekolah menengah pertama, Laura di perlakukan buruk oleh teman dekatnya sendiri. Dan kalian tahu apa yang Laura lakukan? Gadis itu malah yang meminta maaf. Dan memohon pada pihak sekolah untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Tanpa hukuman atau skorsing. Ya, Laura memang sebaik itu. Tapi sayangnya, selalu dipertemukan dengan teman yang seenaknya dan bermuka dua. Lilina sendiri juga heran.
"Dek? Ayo tidur lagi aja ya, masih malem," ajak Lilina mengusap lembut punggung putrinya. Mencoba menciptakan kantuk pada diri Laura.
"Ma, Aku pengin jadi kecil lagi deh. Rasanya enak banget. Tidurnya bareng sama Mama, makan juga disuapin, terus sering jalan-jalan bareng," celetuk Laura. Ingatannya terbang pada masa-masa paling menyenangkan dalam hidupnya. Keluarganya dulu secara rutin mengadakan liburan keluarga satu bulan sekali. Tidak terlalu jauh. Cukup ke puncak atau kota sebelah. Tapi sekarang, kebiasaan itu mulai hilang. Anggota keluarganya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Ya udah nanti kalo Kamu udah sembuh, kita jalan-jalan. Mau kemana?" tanya Lilina. Lilina menyadari nada getir saat Laura berucap. Lilina kira, saat Laura beranjak remaja, gadis itu tak lagi membutuhkan hal-hal sepele yang sering dilakukan kala masih kanak-kanak. Namun dugaan Lilina salah. Laura merindukannya dan jelas menginginkannya lagi.
"Makasih Mama, Laura merasa beruntung banget lahir dari rahim Mama yang hebat," ucap Laura disertai senyum hangat.
Lilina bahagia. Tentu saja. Mendapat ucapan seperti itu dari putri kecilnya begitu menyentuh bagian terdalam dalam hatinya. Rasanya lebih bahagia dari pada saat mendapatkan laba akhir tahun yang bernilai milyaran.
"Mama juga beruntung. Udah lahirin putri seperti Kamu. Bukan hanya wajah yang cantik, tapi hati Kamu lebih cantik. Makasih udah menerima Mama jadi Mama Kamu. Tetap sehat ya Sayang." Anak tidak pernah mengharap untuk dilahirkan. Melainkan orang tua yang menghadirkannya dengan kuasa Tuhan tentu saja.
Kali ini, Lilina berhasil membawa Laura dalam dunia mimpinya. Sehingga dapat berhenti memikirkan alasan mengapa Niana melakukan semua ini. Berharap saat esok terbangun akan segera melupakan dan berdamai dengan keadaan serta dirinya sendiri.