Part 1 - Tiket VIP
"Demi apa Naren adain meet and greet?" pekik gadis berseragam putih abu-abu heboh.
"Heh apan sih Lo. Berisik banget," ketus pria yang tengah merebahkan kepala pada meja. Merasa terganggu.
Laura hanya tersenyum meminta maaf.
Dilanjutkan lagi kegiatannya, men scroll i********:.
"Aduh, pengin yang VIP deh. Bisa dinner sama Naren juga."
Laura Deolina. Gadis berseragam sekolah tingkat akhir di salah satu sekolah bergengsi di ibu kota. Kulit putih bersih dengan rambut panjang sepunggung. Wajah cantiknya khas Indonesia asli. Dia tidak terlalu pintar, namun juga tidak terlalu bodoh. Hanya sebatas rata-rata.
Gadis 17 tahun itu, akhir-akhir ini tengah menggilai aktor pendatang baru yang sedang naik daun. Arion Narendra atau Naren.
"Dor!"
"Kaget bege." Laura memelototkan matanya. Merasa kesal dengan tingkah Niana yang mengejutkan.
"Lagian serius amat. Gue dateng aja sampe gak tau." Niana beralasan.
"Naren mau adain meet and greet nih." Laura menggoyangkan lengan Niana yang sudah duduk di kursi di sampingnya.
Niana memutar bola matanya malas, "lah terus?"
"Gue pengin ikutan... pengin yang VIP, biar bisa dinner sama Naren. Ya ampun gak kebayang deh dinner sama Naren..."
"Kebanyakan ngimpi Lo. Liat dari jauh aja gemeteran. Apalagi diner bareng. Bisa-bisa pingsan duluan," ejek Niana.
Niana benar. Mungkin sekitar 2 minggu lalu, Laura dan Niana mengunjungi mall yang kebetulan menjadi tempat Naren tengah melakukan syuting FTV terbarunya. Laura melihat Naren, dengan jarak pandang yang bisa dibilang jauh. Lebih dari 10 meter. Dan apa yang terjadi? Laura merasa sekujur tubuhnya bergetar, sampai harus Naina papah menuju kursi terdekat. Setelah 10 menit menenangkan diri, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Karena memang hari sudah beranjak malam.
"Jangan ingetin Gue lagi elah." Laura menutup telinga dan menggelengkan kepala. Mencoba menepis bayang kejadian memalukan itu.
"Hahaha. Nyesel waktu itu Gue gak rekam." Naina tertawa dengan puasnya.
Laura mendesis. Sahabatnya ini memang senang sekali jika mengingat kejadian memalukan itu.
"Liat aja. Gue bakal diner sama Naren. Jangan iri Lo!"
Laura kembali fokus pada benda pipih di tangannya.
"Ah buset. 5 menit lagi dibuka pembelian tiketnya. Anjir kudu dapet VIP," gumam Laura.
"Gila."
Selama 5 menit, Laura disibukkan dengan menunggu. Tak ingin terlewat 1 detikpun, untuk berburu tiket meet and greet Arion Narenda yang katanya limited.
"Yes. Gue dapet VIP!" Pekiknya bahagia. Tubuhnya sudah melompat kegirangan.
Kelas yang tadinya ramai menjadi hening seketika. Hampir seluruh penghuni menatap aneh pada Laura.
"Lanjutin aja ges. Temen Gue lagi gak minum obat." Niana berucap santai.
Kelas kembali ramai. Kembali pada kegiatan sebelumnya.
Laura masih dengan memeluk ponsel dengan senyum lebar yang bagi Niana menyeramkan.
"Dasar. Punya temen kok malu-maluin," gerutu Niana.
Laura tak merespon. Ia teramat bahagia sekarang. Angannya untuk dinner dengan Naren sudah di depan mata.
"Ni. Gue dapet yang VIP," ucap Laura tanpa menghilangkan senyum.
"Heh gak usah senyum gitu deh. Nyeremin." Cibir Niana.
"Karena Gue lagi seneng, jadi Gue gak bales nyinyiran Lo dulu Ni. Lo mau maki Gue sampe berbusa juga gak papa. Santai aja." Laura berkata santai.
Pulang sekolah, Laura mengajak Niana untuk berbelanja kebutuhan untuk bertemu Naren.
"Dasar gila. Meet and greet nya aja masih lama. Lo nyiapinnya dari sekarang. Mana beli semua lagi. Baju Lo kan di rumah banyak banget. Kesel deh. Main nyeret Gue buat ikutan lagi. Gue kan pengim rebahan..." Niana menggerutu sepanjang jalan menuju parkiran sekolah.
"Heh gak boleh gitu. Kalo nemenin temen tuh harus ikhlas. Lahir batin. Lo mah kebanyakan ngeluh. Kaya paling menderita aja." Laura mendelikkan matanya.
"Bodo amat. Gue gak denger."
'Bruak' Niana menutup pintu mobil Laura dengan kencang.
"Aduh, kasian si moli. Gak salah apa-apa tapi jadi pelampiasan." Laura mengusap bagian dalam mobil yang diberi nama moli itu.
10 menit perjalanan hanya diisi perdebatan dan perselisihan. Tanpa ada mau yang mengalah. Laura dan Niana dengan ego masing-masing.
"Buru jalannya." Niana menarik tangan Laura agar cepat.
"Aduh sakit tangan Gue." Dengan kasar, Laura menyentak tangan Niana sampai terlepas.
Tak ada raut penyesalan pada wajah gadis berambut se bahu itu. Malah dengan santai melanjutkan jalan, meninggalkan Laura yang masih mengusap pergelangan tangan kanannya yang agak memerah.
"Makanya kalo jalan cepet. Jangan lelet kaya siput. Siput di rumah gue aja lebih cepet dari pada Lo," ucap Niana sebelum meninggalkan Laura.
Laura menyusul. Mulutnya mencabik kesal. Niana selalu saja berhasil membuatnya emosi.
Keduanya menaiki eskalator menuju lantai 3 yang berisi toko pakaian berbagai merek.
Sekarang Laura berlari kecil mendahului Niana. Memasuki toko pertama merek langganannya.
"Kayanya Gue pake itu cantik deh." Mata Laura melihat dress selutut berwarna merah muda. Lengannya memanjang sampai siku dengan hiasan sederhana yang memanjakan mata.
"Kaya mau kondangan Lo." Komentar Niana yang sudah berada disamping Laura.
"Ah bodo amat. Gue mau keliatan cantik di mata calon suami," ucap Laura sombong.
"Cilin siimi. Hahaha," tawa Niana bergema. Tak tahan dengan ucapan Laura yang terdengar tidak mungkin.
"Untung sabar Gue mah." Laura mengelus d**a.
"Mba, mau lihat yang ini dong." Tunjuk Laura pada patung dengan dress incarannya.
Memasuki ruang kecil untuk mencoba dress berwarna merah muda itu.
"Tuh kan bener. Gue cantik banget," ucap Laura memuji diri sendiri dan bergaya di hadapan cermin panjang.
"Iya. Lo mah selalu cantik." Niana menerobos masuk dan bersua.
Setelah membayar dress, Laura melanjutkan petualangannya mencari sepatu dengan Niana yang membuntuti di belakang.
"Ra. Itu bagus deh kayanya buat Lo." Niana menunjuk flat shoes berwarna putih yang terpajang di etalase.
Dengan semangat, Laura menghampiri dan mencobanya.
"Iya. Apalagi dipake bareng dress tadi," ucap Laura mengiyakan.
"Ya udah Mba, saya ambil ini ya."
Laura bisa belanja apa saja tanpa harus melihat harga terlebih dahulu. Kedua orang tuanya yang memang kaya begitu memanjakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Dua kakak laki-laki yang sudah bekerja menambah pundi-pundi uang yang masuk ke rekening pribadinya tiap bulan. Bukan itu saja. Penghasilan dari cafe dan beberapa usaha atas nama Laura juga turut menjadi akibat membengkaknya isi ATM yang mungkin jarang dimiliki remaja seusianya.
Laude's cafe merupakan hadiah yang di berikan sang ayah untuk perayaan 17 tahun usia Laura, 4 bulan yang lalu.
Laude's fashion. Butik milik sang ibu yang dirintis sejak Laura berusia 5 tahun. 30% laba butik, menjadi hak Laura. Dan akan di ambil alih saat gadis itu berusia 21 tahun.
Ada beberapa bisnis lainnya yang berdiri di bawah nama Laude, atau Laura Deolina. Putri tunggal pasangan Deon dan Lilina Bagaskara.
"Ni. Makan dulu ya. Gue laper. Tenang aja. Gue yang bayar kok. Lo boleh makan sepuasnya." Seperti inilah Laura. Dia begitu royal kepada orang disekelilingnya.
Mengenai Niana. Dia bukanlah orang berada seperti Laura. Hidupnya sederhana. Karena ingin menambah uang saku, ia bekerja menjadi guru les privat. Niana pintar. Selalu menempati juara 1 umum di angkatan setiap tahunnya.
Laura dan Niana. Pertemanan yang saling menguntungkan. Laura dengan kekayaan yang dimiliki, dan Niana dengan otak cerdasnya. Mereka saling melengkapi. Dan saling berbagi. Memulai pertemanan saat masa orientasi siswa, hampir 3 tahun yang lalu. Dan kebetulan selalu menempati kelas yang sama 3 tahun berturut-turut.
"Selalu enak makanan disini." Laura berucap kala menyelesaikan makan sorenya.
"Huum" Niana hanya berdehem mengiyakan. Mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Kalo mau bungkus buat orang rumah bungkus aja Ni." Laura menawarkan.
Niana tinggal dengan ibu dan ketiga adiknya. Sang ayah merantau di pulau lain untuk bekerja.
"Ah gak usah Ra." Niana menolak halus. Bukannya bermaksud menolak rezeki, namun dia juga tahu diri.
"Mbak," panggil Laura pada pelayan yang kebetulan lewat.
"Iya Kak. Ada yang bisa dibantu?"
"Mau pesen ini 4, terus ini 2 ya. Oh iya dibungkus semua. Makasih." Tunjuk Laura pada beberapa menu yang tersedia.
"Udah di bilang gak usah juga." Niana berucap.
"Emang buat Lo? Ge er banget sih Mbaknya," cibir Laura.
Niana memutar bola matanya malas.
Tak berapa lama, makanan di meja tersapu habis. Dan setelahnya, pelayan membawakan pesanan Laura.
"Mbak, minta bill nya sekalian."
Setelah semua selesai, mereka memutuskan untuk pulang. Terlalu lelah dan hari sudah mulai gelap.
"Nih punya Lo. Gue balik dulu ya. Makasih udah nemenin," pamit Laura setelah tiba di jalan depan rumah Niana.
"Ya. Makasih juga makanan yang katanya bukan buat Gue ini." Niana menyindir dengan kata-kata yang diucapkan Laura tadi.
"Haha. Sialan Lo."
Tak lebih dari 10 menit, Laura tiba di tempat yang menjadi kediamannya 17 tahun lebih ini. Rumah megah tingkat 3 bercat putih dengan gerbang tinggi berwarna hitam.
"Makasih Pak," teriak Laura pada Pak Asep. Salah satu security kediamannya.
"Siap Neng."
Memasuki rumah disambut dengan kedatangan Mili, kucing gembul kesayangan Laura.
"Ih tau aja. Kalo Kakak pulang." Diambilnya Mili, dan digendong menuju dalam.
Kakak, Laura selalu menganggap bahwa Mili, merupakan adik kecilnya.
"Darimana aja Ra?"
"Eh Abang. Kok udah pulang?" Tanya Laura menghampiri orang yang di panggil abang itu.
"Iya. Kerjaan udah selesai, jadi mending pulang aja." Kevin, kakak pertama Laura mengusap lembut rambut adiknya.
"Oh iya. Darimana kok baru pulang?" Tanya Kevin lagi.
"Abis dari mall Bang. Nih." Diangkatnya tangan kiri yang memegang beberapa paper bag dengan logo merk terkenal.
"Belanja mulu." Kevin menyentil pelan kening Laura.
"Nanti tuh aku mau ikut acara meet and greet nya Naren. Jadi kan harus cantik," ucap Laura semangat.
"Si artis itu lagi?" Kevin memastikan.
"Iya Abang. Yang bulan lalu kita nonton filmnya bareng." Laura mengiyakan.
"Ya ampun. Gak bosen apa. Lagi-lagi Naren. Mending Abang aja. Kan lebih ganteng Abang," ucap Kevin meremehkan.
"Pedenya... selangit," cibir Laura.
"Udah ah. Aku mau mandi. Gerah. Mili, kuy." Laura beranjak pergi, diikuti Mili di belakangnya.