Teror

1637 Kata
Satu minggu kemudian, Bunga kedatangan tamu di rumahnya. Beliau adalah kong Acan yang sedang sibuk mempertanyakan keberadaan Luka. Saat ini, ia sedang berterus terang kepada Bunga, bahwa putranya itu boleh bekerja paruh waktu di tempatnya. Sebab, Luka adalah bibit yang ia cari sejak lama. Namun, Bunga juga sudah berjanji kepada dirinya sendiri. Bahwa ia tidak akan membiarkan Luka berada di dalam urusan semacam ini, dan kembali terluka seperti sebelumnya. Untuk itu, Bunga pun mengucapkan rasa terima kasih karena Kong Acan sudah memberi kepercayaan kepada Luka. Tetapi, Bunga tak akan pernah membiarkan putranya melakukan pekerjaan berat, dan terluka, selama ia masih bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. "Maaf ya, Kong. Jangan tersinggung!" pinta Bunga sambil menunduk. "Memang kecewa, tapi kamu juga tidak salah. Sekarang, di mana Luka?" "Dia masih di sekolah, Kong. Paling satu jam lagi, baru pulang." "Kalau begitu, Engkong titip salam saja." "Baik, Kong." Bunga mengantarkan kong Acan hingga ke muka pintu. Sekitar 30 menit setelah kepulangan kong Acan, terdengar suara ketukan pintu berulang. Tampaknya, seseorang di luar sana sudah tidak lagi sabar untuk bertemu dengan Bunga. Kali ini, satu-satunya yang ia pikirkan adalah Luka serta Luke yang berada di luar sana. Bersama senyum, dan langkah cepat, Bunga pun membukakan pintu rumahnya. "Anda?" kata Bunga tampak terkejut, dan tidak suka. Bahkan senyum yang sebelumnya merekah, sirna. "Ada apa?" tanyanya tanpa mempersilahkan si tamu untuk masuk. "Ayolah, Bunga. Aku ingin menitipkan beberapa pakaian untuk kamu mencucinya. Soal bayaran, jangan saksi!" "Maaf! Bukankan Anda sudah memiliki asisten di rumah?" Bunga kembali mencerca dengan pertanyaan. Wajahnya pun, kian tidak bersahabat. "Jelas berbeda, Bunga." Pak lurah tampak kesal kali ini. "Bahkan istri saya saja, tetap tampak berbeda, jika dibandingkan dengan kamu." "Maaf!" kata Bunga sekali lagi. "Sebaiknya Anda pergi dari sini! Sebelum saya berteriak kencang, hingga mengumpulkan warga." "Hei! Kamu pikir, warga akan percaya? Kamu itu janda, dan saya adalah laki-laki terpandang, dan terkaya di kampung ini. Di mana-mana, jandalah yang menjadi penggodanya." "Satu!" "Jangan sombong kamu, Bunga! Aku bisa saja melakukan sesuatu yang kejam, dan tak pernah terbayangkan sedikit pun olehmu," ancamnya tanpa ampun. Dari sorot matanya, terlihat sekali kebengisan, dan keangkuhan. "Jadi, apa kamu bersedia mencuci pakaian yang menempel di badanku ini, Sayang?" bisiknya dalam goda. Tetapi bagi Bunga, ini lebih dari sekedar ejekan. "Dua!" Nada suara Bunga lebih tinggi kali ini. "Kamu!" ujar pak lurah dengan wajah, dan tangan yang sudah gemetaran. Rasanya, ia ingin memukul wanita yang berada di hadapannya, lalu menidurinya hingga puas. "Tiga!" Bunga sama kerasnya, dan ia tampak tidak takut dengan seluruh ancaman lurah tersebut. "Tolooong!" pekik Bunga sekuat tenaganya. Hanya dengan satu teriakan dalam suara yang kencang, Bunga sudah berhasil menarik perhatian dari orang-orang di sekitar rumahnya. Saat ini, tampak beberapa tetangga yang keluar dari rumah mereka, termasuk suami dari almarhumah bidan Tari. "Ada apa, Bunga?" teriak pak Ade yang langsung bertanya. Karena tak langsung mendapatkan jawaban dari Bunga, beliau menyusul, dan ingin membantu. Bunga menangis, sambil mengatur napasnya. Pada saat yang bersamaan, pak lurah segera meninggalkan kediaman Bunga. Namun, ada beberapa tetangga yang sempat memergoki kenakalan pak lurah ketika menggoda Bunga. Sayangnya, ada juga yang berniat untuk memanfaatkan situasinya. Pak Ade tiba di teras rumah Bunga. "Sebaiknya kamu masuk ke dalam, dan jangan membukakan pintu untuk orang lain!" saran laki-laki paruh baya tersebut, sambil menepuk pundak Bunga. "Iya, Pak. Makasih." "Ayo, masuk! Biar Luka, dan Luke, Bapak saja yang menjemput." "Terima kasih banyak, Pak." "Sama-sama. Sekarang, ayo masuk!" tukasnya sekali lagi. Bunga menganggukkan kepalanya berulang. Kemudian ia melakukan apa yang disarankan oleh laki-laki yang selalu membantunya di dalam keadaan terjepit. Tak lupa pula, ia mengunci setiap bagian jendela, dan pintu di rumah ini. Pukul 16.30 WIB. Setelah istirahat, dan membersihkan diri. Si kembar bersiap untuk ke mesjid seperti biasanya. Di sana, sudah menunggu seorang guru yang akan mengajarkan keduanya mengaji. "Mama! Kita pamit dulu ya?" "Iya, Luke. Jangan lupa untuk belajar dengan rajin, dan bawa amplopnya!" Bunga menyelipkan beberapa lembar uang untuk menghargai jerih payah guru kedua anaknya itu. "Iya, Ma. Pasti," jawab si cantik, sambil tersenyum, dan mengangkat ibu jari tangan kanannya. "Assalamu'alaikum," ucap si kembar secara bersamaan. "Waalaikum salam." Lima puluh menit setelahnya. Teror selanjutnya datang menghantam Bunga yang sudah berusaha untuk melupakan penghinaan dari pak Lurah. Rupanya, ada seseorang yang memfitnah, dan berniat jahat untuk menghancurkan Bunga. Semua karena ia dianggap sebagai pusat perhatian orang banyak. Wajar saja. Meskipun ia hidup seorang diri, tanpa suami, serta keluarga. Tetapi Bunga selalu diberikan jalan untuk mengais rezeki. Beberapa orang diantaranya, mulai bertanya, dan iri hati. Bahkan, ada yang berniat untuk merebut jalur pekerjaan yang baru saja Bunga ciptakan di kampung tersebut. Bunga memang anak desa, dan berasal dari keluarga sederhana. Tetapi, sejak kecil ia sudah sering melihat dunia luar. Bahkan, ia disekolahkan, dan dikuliahkan di tempat terbaik oleh almarhumah ibunya. Jadi pantas saja, jika ia kerap kali memiliki ide cemerlang. Di kampung ini, sudah banyak sekali kedatangan tamu dari kota. Rata-rata, mereka adalah pegawai kelurahan yang masih berstatus kontrak, serta mahasiswa yang tengah melakukan praktik kerja lapangan. Dari hal tersebut, Bunga mengambil inisiatif untuk membuka usaha yang selama ini tak pernah terpikir oleh orang lain. Walaupun pada awalnya, ia mendapatkan cibiran. Namun pada kenyataannya, ia diserbu oleh banyak orang. Tok tok tok tok tok! Suara ketukan bernada amarah, terdengar jelas di luar sana. "Buka pintunya! Dasar gundik," pekik seseorang di luar sana, dan tampak ingin menerkam tubuh sintal milik Bunga. "Bunga!" Bunga mendengar kalimat kejam itu dengan sangat jelas. Untuk itu, ia tidak bersedia untuk menjawab dari dalam. Sebab, jika ia menjawabnya. Maka wanita di luar sana, benar. Bahwa dirinya adalah seorang gundik. Bunga membuka pintu rumah, dan memasang wajah tenang. "Ya, ada yang bisa dibantu?" "Dasar pelacuuur!" pekik istri dari pak lurah, yang langsung menyerang, dan menjambak rambut Bunga. "Ah ... ," keluh Bunga. Saat ini, kepala Bunga sampai tertarik kuat ke depan. "Tolong hentikan, Bu!" pintanya masih dengan nada hormat. "Enak saja kamu ya. Main rebut-rebut suami orang. Dasar janda gatal, kamu ya. Sini tak garukin kamu sampai puas. Mau laki-laki yang model apa kamu?" tanyanya terus mencerca dengan bahasa yang kasar. Beberapa orang langsung keluar dari dalam rumah karena suara nyonya besar itu sangat kuat, tetapi bukan membantu. Mereka malah menonton saja, dan membiarkan ketidakadilan itu terjadi. Bunga berteriak kesakitan, dan terus mengeluh. Apalagi ditambah dengan aksi yang liar, dan tak pantas dimiliki oleh seorang keluarga terpandang. Tetapi sayangnya, bu lurah tetap menyakiti Bunga. Baik dengan perilaku, maupun ucapannya. "Mama!" pekik Luke sambil menangis. "Mamaaa ... ." Sang putri berlari, dan tak ingin melihat mamanya diperlakukan dengan kasar. Melihat wajah Luke yang sudah basah dengan air mata. Bunga langsung marah, dan ia mendorong perempuan bermake-up tebal tersebut hingga terjengkang. Semua orang terdiam, termasuk sopir, dan pengawal perempuan yang memiliki wajah bengis dan berpostur tubuh besar tersebut. "Dengar, Bu!" bentak Bunga sambil menunjuk ke arah wajah bu lurah yang masih terduduk di pasir. "Saya bukan gundik. Suami Anda yang datang untuk menggoda, dan mengemis cinta di bawah telapak kaki saya. Jika saya ingin, sudah sejak lama saya merebut pak lurah dari Anda. Asal Anda tahu saja, Bu. Bahkan, dia sanggup menceraikan Anda, hanya untuk bisa menikah dengan saya." Bunga yang terus saja menahan diri, agar tidak terlibat perselisihan dengan orang lain, sudah tidak sabar lagi. Bukan karena bahasa yang bu lurah lempar kepada dirinya. Tetapi karena melihat anak-anaknya terluka, akibat serangan perempuan bertubuh gemuk tersebut. Bu lurah dibantu untuk berdiri oleh orang-orang yang ia bayar setiap bulannya. "Jangan lancang kamu ya!" "Anda yang jangan semena-mena, Bu!" tukas Bunga yang membalas tatapan kejam tersebut dengan mata yang terbuka lebar. "Jika Allah berkehendak. Seketika, Anda juga akan menjadi janda." Bu lurah mengangkat tangan kanannya, dan bersiap untuk menampar. Tapi dengan tenang, Bunga menangkap tangan yang terlihat besar, dan lebar tersebut. "Jangan melakukannya di depan putra putri saya! Atau siapa pun Anda, akan mendapatkan balasan yang sempurna dari saya." Bunga berkata dengan tubuh yang bergetar hebat, dan mata yang merah. "Saya akan menghancurkan kamu, hingga ke akar-akarnya. Camkan itu!" ancamnya dengan wajah merah padam. Saat ini, tampak jelas kemarahan di dalam dirinya. Bu lurah yang sudah malu hati, langsung pergi meninggalkan kediaman sederhana milik Bunga. Namun, ia juga sudah menyiapkan siasat busuk untuk menghancurkan ibu dua anak tersebut. Magrib menjelang, Luke masih saja menangis, dan mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bu lurah memukul mamanya, dan kenapa orang-orang hanya diam, tanpa membantu. Namun, Bunga selalu dapat mengatasi pertanyaan dari bibir mungil itu dengan bijaksana. Hal ini berbeda dengan Luka. Ia hanya berdiri di depan jendela, dan menatap siang yang segera berganti malam. "Suatu saat nanti, Luka akan membeli kampung ini untuk Mama," ucap Luka secara tiba-tiba. "Luka janji!" Kolam kecil di kedua bagian mata Bunga, kembali terbentuk. Itulah yang sering terjadi kepadanya, jika mendengarkan ucapan putra sulungnya tersebut. Luka, ia selalu mampu menenangkan, memotivasi, sekaligus menjadi cahaya penerang bagi sang mama. Putra yang tangguh, dari rahim yang kuat. Bunga mengangguk berulang kali. "Mama percaya kepadamu, Luka. Mama percaya, Sayang," sahut Bunga, dan langsung menangis sambil memeluk Luke. Luka berjalan ke sisi sang mama. "Mama jangan sedih lagi ya! Pokonya, Luka akan jaga Mama, dan Luke dengan baik. Luke juga, jangan nangis mulu! Ntar wajahnya jadi jelek." "Kakak yang jelek." "Tidak," jawab Luka. "Kan, Kakak tidak menangis." Mendengar perkataan dari sang kakak, Luke langsung melepaskan diri dari pelukan mamanya. Kemudian, ia menghapus air mata, dan memaksakan senyumnya. Bibir Luke melengkung sempurna. Tetapi matanya terus saja basah. Ekspresi wajah yang aneh, tapi itu bisa dijadikan sumber lelucon agar mereka kembali tertawa, bukan hanya tersenyum. "Sayang Mama, sayang Kakak," kata Luke dengan napas yang tersesak. Kemudian ketiganya saling memeluk, dan hati yang gundah sebelumnya. Bisa kembali tenang, serta damai. Bersambung. Apa yang akan terjadi kepada Bunga dan anak-anaknya? Jangan lupa ikuti terus ceritanya, tinggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Bagi kalian yang suka n****+ penuh dengan air mata, dan cinta. Silakan mampir di karya aku yang berjudul Tukar Ranjang. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN