Hati itu begitu kecil, hampir tak terlihat. Namun, bagaimana Tuhan bisa menempatkan kesedihan yang begitu besar di dalamnya? Mungkin, ada rencana yang luar biasa di depan sana, untuk dirinya, dan anak-anaknya.
Bunga memperhatikan si kembar yang tidur pada ranjang bertingkat, dari pintu kamar mereka yang tak pernah ditutup. Luka berada di kasur bagian atas, sementara Luke di bawahnya.
Detik ini, Bunga belum tahu bahwa putranya Luka, tengah terluka. Namun, perasaannya sebagai seorang ibu, berhasil membawanya kepada kenyataan pahit berikutnya.
Bunga berjalan lambat ke arah Luka, dan Luke. Ia menghidupkan lampu, dan memperhatikan peri kecilnya yang telah terlelap. Setelah cukup puas, Bunga menegakkan tubuhnya untuk memberikan kecupan hangat di dahi Luka.
Namun, pada saat yang bersamaan. Wanita berparas bidadari itu terhenyak. Bibirnya yang semula sudah tersenyum, tiba-tiba kehilangan cahayanya. Sebab, ketika matanya sejajar dengan telapak kaki sang putra, ia melihat luka dari beberapa biji kerikil tajam yang menancap di sana.
Bunga mendekatkan wajah, dan menyentuh lembut lubang berwarna hitam dalam jumlah yang tak sedikit itu. Hatinya kembali tersayat, dan ia merasakan sakit yang lebih besar dibanding putranya.
Bunga menunduk, menutup mulut dengan tangan kanannya. Tapi derasnya air mata itu, tak mampu ia tahan. Sementara tangan kirinya, meremas baju yang menempel di dadanya.
Tak lama, Luka bergerak kecil. Bunga pun memutuskan untuk tidak mengganggu waktu istirahat putranya. Bersama kesedihan yang dalam, ia meninggalkan kamar tersebut untuk melihat sesuatu.
Sepanjang langkah menuju ke kamarnya, Bunga terngiang suara Luka yang terdengar begitu bersemangat. Sebelumnya, Luka mengatakan bahwa ada sesuatu untuk dirinya di dalam lemari.
Bunga menghisap air hidungnya. Lalu ia membuka lemari pakaian, dan melihat apa yang Luka berikan untuknya. Terang saja, hati Bunga semakin menangis, ketika melihat lembaran uang yang tak sedikit jumlahnya bagi mereka.
Sambil bertahan dari gejolak di dalam diri, Bunga memeluk hasil jerih payah putranya. Ia pun bersumpah, bahwa ini merupakan kenangan buruk yang terakhir. Bunga berjanji, ia akan bekerja keras, agar Luka berhenti melakukan hal-hal berat lainnya. Sebab, Bunga tak ingin melihat putranya terluka.
Baginya, cukup dia saja yang merasakan sakit, serta beratnya dunia. Apa yang Luka berikan malam ini, akan menjadi hadiah termanis, sekaligus cambuk yang paling menyakitkan.
"Bu ... apa Bunga pantas dipanggil mama, jika tak mampu memberikan kehidupan yang layak, dan nyaman bagi mereka?" gumamnya dalam tanya, seraya memandangi foto almarhumah ibunya. "Bunga sudah berusaha, tapi ... ya Allah." Bunga semakin menangis, seraya memeluk lembaran uang merah.
"Mama!" panggil Luka yang ternyata terganggu tidurnya karena suara rintihan sang mama.
Bunga menolehkan wajah ke arah pintu kamarnya. Wajah sedih itu, terlihat jelas di dirinya. "Luka?"
"Mama kenapa menangis lagi?" tanyanya lugu, tak bergerak.
Bunga yang sadar akan kesakitan anaknya, segera melangkah dengan cepat. Lalu ia menggendong Luka yang sudah cukup besar, dengan segenap perasaan sayang yang ia punya.
"Duduk di sini ya, Sayang!?" Bunga meletakkan putranya di atas ranjang dan ia duduk di atas lantai.
"Mama belum jawab," kata bocah itu yang begitu ingin tahu, tentang apa yang mamanya rasakan hingga beliau kembali menangis.
"Bisakah Luka berjanji kepada Mama, tentang sesuatu?" Bunga bertanya, sambil menghisap air hidungnya.
"Apa, Ma?"
"Luka anak baik, kakak yang hebat," puji sang mama. "Mama ingin, Luka berhenti bekerja!"
"Apa ada yang salah, Ma?"
"Tidak, Nak. Hanya saja, ayam goreng itu ... uang ini ... ." Bibir Bunga bergetar hebat. "Mama akan melakukan yang terbaik untuk kalian berdua."
"Luka hanya ingin membantu."
"Dengar, Sayang! Tadi sore, Mama mendapatkan ide yang bagus. Kita akan membuka jasa cuci pakaian, dan setrikaan. Mama juga akan membuat makanan ringan yang harus kamu antar ke warung-warung lainnya. Pokonya, intinya, Mama mau kamu bersama Mama, sepulang sekolah." Bunga memegang kedua lengan putranya.
"Mama ... ."
"Jangan lagi mengatakan bahwa kamu ingin berbagi tanggung jawab dengan Mama, Luka! Ini belum saatnya. Atau jika kamu masih memaksa, Luka akan selalu melihat Mama seperti ini setiap kali mendapat uang darimu, Nak."
"Eeem ... ." Luka masih berpikir, dan berusaha untuk merayu.
"Mama tidak kuat melihat jari jemari, dan kaki mungil ini terluka, Sayang." Bunga mencium kedua kaki Luka, lalu menangis sejadi-jadinya.
"Mama!" Luka pun ikut meneteskan air mata, sambil menghapus air mata mamanya.
"Dengarkan Mama, Sayang!" Bunga meletakkan pipi kanan pada kedua paha Luka, dan meratap.
"Baik, Ma. Luka akan mendengarkan semua keinginan Mama. Asalkan Mama tidak menangis lagi! Luka janji, Ma."
Tubuh Bunga bergetar di atas kaki putranya. Ia membuang air mata itu hingga puas, sehingga mendapatkan kelapangan jiwa. Entah bagaimana, rasanya begitu tentram, setelah menumpahkan banyak air kesedihan tersebut, di pangkuan anak laki-lakinya.
Sekitar pukul 23.45 WIB. Tanpa sengaja, Bunga tertidur di atas kaki Luka. Luka yang menyadari hal itu pun, berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan posisinya. Sebab, ia tahu bahwa sang mama begitu lelah. Tidur, merupakan hal yang penting baginya.
Dengan lembut, Luka membelai rambut sang mama yang lembut, dan indah. Pandangannya lurus ke depan, dan ia kembali bertanya tanpa suara. Tentang di mana papanya, serta apa yang ia lakukan di luar sana. Jika memang tidak menginginkan dirinya, dan Luke, kenapa juga harus membuang mamanya.
Selang dua puluh menit, Luka mulai pegal. Ia pun mengintip mamanya yang masih tertidur pulas. Kali ini, Luka menegakkan punggungnya, dan berusaha bertahan pada posisi duduk, tanpa gerakan yang dapat mengganggu mamanya.
Pukul 00.45 WIB. Luka benar-benar tidak kuat lagi menahan matanya. Tetapi, ia juga tak mau mamanya terbangun. Di dalam kondisi yang serba salah, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Dengan cepat, Luka menarik bantal, serta guling. Lalu ia menumpuknya. Kemudian, bocah tersebut menyandarkan sisi kiri tubuhnya pada susunan alat tidur tersebut.
Posisi ujung bantal yang disatukan dengan besi pada ujung ranjang, membuat tempat menyanggah tubuh itu bekerja dengan baik. Luka pun dapat terlelap, tanpa harus mengganggu mamanya.
Pukul 05.00 WIB, Bunga terbangun. Ia terkejut karena melihat dirinya telah bersandar semalaman kepada putranya. "Luka ... ," gumamnya yang langsung berpikir untuk bekerja. Rasa sayang dan cinta kasihnya, juga tampak bertambah besar, seiring dengan berjalannya waktu. "Terima kasih, Sayang." Kemudian ia berdiri, dan merapikan posisi tidur Luka agar nyaman.
Sebelum memulai aktivitas, Bunga menyantap nasi, dan lauk seadanya. Tak lupa, ia pun menanak nasi kembali, untuk sarapan kedua buah hatinya.
"Luka, Luke, mama hanya punya ini untuk sarapan kalian, Sayang. Mama janji, nanti siang, akan membelikan sesuatu yang pantas, dan kalian sukai," kata Bunga, sembari memanaskan tumis kangkung sisa tadi malam.
Setelah siap, ia segera membuat sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa dirinya menerima laundry, atau hanya setrika saja. Tak lupa pula, Bunga menyelipkan harga promosi untuk 15 pelanggan pertama, dan memberikan nama dari usaha barunya tersebut.
"Bismillah," gumam Bunga dalam doa, sembari menyambut cahaya matahari yang mulai menerangi bumi. "Ya, Allah ... jiwa ini, kembali berserah kepada-Mu. Mohon, lancarkanlah rezeki yang halal, agar kami terhindar dari hal buruk, dan marabahaya."
Bersambung.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Makasih.
Yang suka cerita romantis abis, dan pendek episodenya. Mampir ke novelku yang judulnya LIKE A VIRGIN, ya.