Cinta Dari Luka

1779 Kata
Sepuluh hari setelah renovasi rumah seadanya, Luka mulai bekerja di sebuah toko yang menyediakan bahan-bahan pokok, dan sayuran. Ia tampak bersemangat, dan gigih, di dalam tubuhnya yang mungil. Sama sekali tidak terdengar keluhan dari bibir itu. Yang ada malah, ia memohon pekerjaan nan banyak agar mendapatkan pundi-pundi rezeki lebih. Kong Acan yang melihat Luka terus membantu, tanpa mencuri waktu untuk beristirahat, mulai merasa kagum. Ia yakin, Luka akan menjadi orang yang hebat suatu hari nanti karena memiliki sikap ulet, serta pekerja keras. "Luka!" panggil engkong sambil menyodorkan tiga lembar uang merah (Ratusan ribu). "Iya, Kong?" "Tolong dulu!" "Iya." Luka sudah berada di muka Kong Acan dengan wajah lugu yang tampak lelah. "Engkong tidak tahu, berapa harganya untuk memperbaiki ini." Kong Acan menunjukkan ponselnya yang rusak. "Yang jelas, kamu antar saja ke ujung gang itu, dan berikan uangnya. Engkong benar-benar nggak tahu loh ini harganya," kata si engkong sekali lagi, seakan memberikan tekanan kepada Luka. Luka mengambil uang, dan ponsel yang rusak. "Baik, Kong. Segera meluncur," kata Luka dengan gaya seru, khas anak-anak. "E, tunggu dulu!" "Iya, Kong?" "Bilang, cepat ya! Engkong susah kalau nggak punya alat komunikasi yang satu ini." "Siap, Kong!" "Ha ha ha ha ha, oe memang selalu bersemangat. Hati-hati!" Luka menyimpan uang dan ponsel Kong Acan dengan penuh rasa tanggung jawab. Baginya, dua hal ini lebih berharga dari pada nyawanya sendiri. Sesampainya di gang pertama, ia melihat empat pemuda nakal yang biasa merampas apa saja barang milik orang lain. Jika ia meneruskan langkah, maka yang akan terjadi hanyalah kehilangan uang, dan ponsel milik akong. Tapi, jika ia mencari jalan lain, itu akan sangat jauh karena ia harus kembali memutari gang lainnya. 'Hah, bagaimana ini? Engkong butuh cepat.' Kata Luka tanpa suara, dan ia cukup bingung kali ini. Luka mengintip, dan ia tahu bahwa jalur ini tidak mungkin untuk dilewati. Merasa tak punya pilihan, Luka memutar arah, dan berlari dengan cepatnya. Baru setengah perjalanan, sendal jepit yang ia kenakan putus. Tidak punya alat untuk memperbaiki, dan khawatir terlambat, Luka memutuskan untuk bertelanjang kaki, dan terus berlari. Setelah tujuh belas menit, Luka tiba di depan kios konter langganan Kong Acan. Sambil mengatur napas, ia memberikan ponsel yang harus segera diperbaiki. "Koko, kata Kong Acan, harus cepat! Engkong butuh banget," ujar Luka yang masih terengah-engah. "Dan ini uangnya." Luka mengeluarkan seluruh uang yang Kong Acan titipkan kepadanya. "Sebentar ya! Dicek dulu." "Iya, Ko." "Kalau kamu butuh minum, ambil saja dari galon itu," kata si pemilik kios sambil menunjuk ke arah sudut ruangan. "Makasih ya, Ko. Tapi, kalau boleh. Luka mau minta tali rapiah." "Untuk apa?" tanyanya heran. "Sendalnya putus, Ko." Luka mengangkat sendal miliknya. "Mau di sambung pakai tali saja." "Ya ampun. Kaki kamu nggak apa-apa itu? Kan, jalannya penuh dengan kerikil tajam. Soalnya, baru dilapis kemarin." Luka mengangkat kedua kakinya secara bergantian, dan memperhatikan bagian telapak yang terasa sakit sejak tadi. "Luka, Ko. Pantas saja sakit waktu berlari tadi." "Lah, lo orang kenapa berlari?" "Supaya cepat sampai, Ko. Akong butuh cepat, jadi Luka memutar gang. Kalau lewat sini bahaya, banyak anak badung yang suka merampas barang, dan uang milik orang lain." "O ... begitu." "Koko, tolong cepat ya!" "Iya-iya. Ini sambil dikerjakan." Pemilik kios sibuk dengan urusannya, sementara Luka tengah merajut sendalnya. Tanpa ia sadari, sikap dan tindakan tanduknya tengah diperhatikan oleh pemilik kios tersebut. Setelah 20 menit. "Sudah jadi ini. Nggak ada masalah," tukasnya heran. "Nanti biar Koko tanyakan saja langsung. Sekarang, kamu bawa pulang ini ponsel, dan uangnya! Biar Koko bisa telepon akong." "Baiklah, Ko," jawab Luka yang langsung berdiri. Namun pada saat yang bersamaan, kedua lututnya bergetar. Rupanya, Luka mengalami kram, dan rasa sakit di telapak kakinya menyerang secara bersamaan. "Kenapa kamu?" Pemilik kios mendekati Luka, dan memperhatikan kedua telapak kakinya. "Ini harus diobati dulu!" "Nggak usah, Ko! Nanti terlambat." "Ya sudah, begini saja! Biar ini diobati dulu, nanti aku antar kamu sampai toko akong. Bagaimana?" "Beneran, Ko?" "Iya-iya." "Makasih ya, Ko." "Tunggu di sini dulu ya!?" "Baik, Ko. Terima kasih," ucap Luka tanpa henti. Bukan tanpa sebab, kedua telapak kakinya memang terasa sangat sakit, dan dia khawatir dengan keselamatan uang, serta barang akong. Jika diantar, maka ia merasa aman selama menempuh perjalanan. Setelah membersihkan, dan mengobati kaki Luka, koko mengantarkannya kembali ke toko akong. Saat ini, Luka masuk lebih dulu, dan langsung menyerahkan uang, serta ponsel milik akong. "Kong, ini," kata Luka sembari menyerahkan keduanya. "Di luar ada koko, sebentar lagi masuk. Oh iya, Kong. Luka makan siang dulu ya?" "Iya, makan dulu aja," jawab akong tampak bingung, sambil memegang ponsel, serta uang miliknya. Di sisi gudang, Luka membuka bekal yang mamanya bawakan sejak pagi. Tempe goreng, dan sayur tumis kangkung, menjadi menu makannya saat ini. Ia pun bersyukur, serta berdoa kepada Allah, agar sang mama selalu diberikan kesehatan. Tidak lupa pula, Luka mendoakan rezeki untuk keluarga mereka. Bocah itu tampak makan dengan lahap. Sementara koko, dan akong tengah membicarakan tentang dirinya. Luka yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai rencana akong untuk mengujinya, masih saja tampak bersikap biasa. Mungkin karena ia terlalu kecil, untuk memahami segalanya. "Jadi, akong cuma mau tahu tentang tanggung jawab, dan kejujuran Luka saja?" tanya koko di depan meja kasir. "Iya." Akong mengangguk berulang. "Selama ini, aku kan selalu kerja sendiri. Sejak dikhianati istri, dan anak sendiri, aku sudah tidak percaya kepada orang lain. Tapi dia, Luka berbeda." Koko langsung menceritakan semua yang telah terjadi, dan ia ketahui. Semua itu, menambah rasa simpatik si kakek berdarah Cina tersebut, kepada dirinya. "Mungkin, aku bisa menyerahkan kepercayaanku ini kepadanya." Akong berkata penuh harap. "Dia juga bocah malang. Di usia yang masih dini, musti bekerja keras. Harusnya, ia bermain dengan riang." "Orang tuanya di mana, Kong?" "Ibunya menjaga warung kecil-kecilan di rumah. Mana baru kena musibah lagi. Itu, yang kebakaran itu, Ko." "O iya, aku tahu beritanya." "Kalau ayahnya, nggak tahu. Tidak sanggup juga untuk bertanya." "Tapi dia sekolah, kan?" "Iya, ini sedang libur." "Ya sudah, Kong. Aku pulang sekarang, dan itu uangnya. Benar nggak jumlahnya?" "Iya, benar ini. Tidak kurang." Koko tersenyum, lalu bergerak lamban menuju motor matic miliknya. Saat itu, ia kembali mengintip Luka yang makan dengan lahapnya. "Luka!" "Iya, Kong?" Luka berdiri sambil membawa kotak bekal miliknya. "Ini ada ayam goreng. Ayo ambil!" "Kong, Luka kan sudah kenyang. Boleh tidak, kalau ayamnya dibawa pulang saja? Luke paling suka ayam, Kong." "Boleh-boleh. Kamu boleh ambil dua!" Bibir Luka melengkung sempurna. "Makasih banyak ya, Kong." "Sama-sama." "Engkong nggak makan?" "Iya, sebentar lagi. Ini lagi hitung uang buat modal beli beras." "Nanti Luka bantuin deh, Kong. Ayo makan bareng!" pintanya sambil menghentikan kunyahan. "Iya-iya." Keduanya pun makan bersama dengan lahap. 'Aroma ayam kriuknya enak sekali. Aku jadi semakin bersemangat untuk menghabiskan bekal ini. Luke, mama, dua ayam itu, untuk kalian berdua.' Kata Luka di dalam hatinya. Pukul 17.00 WIB. Luka baru saja pulang dari mengantarkan beberapa pesanan pelanggan. Hari ini, ia mendapatkan tips cukup banyak. Selain itu, masih ada kejutan lainnya, dan ia tidak mengetahuinya. "Kong, semua sudah Luka antar." "Bagus. Sekarang, tutup semua pintunya!" "Iya, Kong." Setelah 30 menit. "Sini kamu!" "Iya, Kong." "Kenapa lama sekali a?" "Luka membersihkan lantainya dulu, baru tutup pintunya, Kong." "Bagus-bagus." "Kalau begitu, Luka pulang dulu ya, Kong." "Tunggu dulu! Ini gaji kamu." "Tapi kan, belum 14 hari. Apa Luka diusir dari sini, Kong?" "Bukan-bukan. Memang perjanjiannya 14 hari, tapi karena kamu kerja bagus, jadi Engkong kasih lebih awal. Ini, terima ya!" "Ini banyak banget, Ko." Luka menatap uang tersebut dengan rasa bangga "Itu juga ada tips dari pelanggan. Dan yang ini dari Engkong." "Ya Allah ... ." Mata bocah itu tampak berbinar-binar. "Hati-hati simpan uangnya ya! Ini ayamnya jangan ditinggal." "Makasih ya, Kong." Bulir-bulir air mata Luka berderai. Ia sangat bahagia dengan hasil jerih payahnya. Uang sekolah 650 ribu itu, sangat banyak baginya. "Sudah-sudah." "Makasih banyak ya, Kong." Luka menghapus air matanya, dengan lengan baju. "Hati-hati!" "Iya, Kong," jawab Luka sambil menganggukkan kepalanya. Luka pulang dengan langkah cepat. Ia berharap, sebelum waktu magrib, sudah berada di rumah. Sebab, ia ingin shalat berjamaah di mesjid. Tetapi karena kakinya terluka, Luka tiba setelah azan berkumandang. Ia benar-benar tidak mampu berlari, seperti biasanya. "Kakak!" Luke membukakan pintu rumah, sesaat setelah melihat Luka akan mengetuk pintu. "Kok kamu tahu, kalau Kakak sudah di depan?" Luke menyambut dengan senyum "Kan, aku nungguin Kak Luka dari tadi," jawabnya sambil memperhatikan kakak yang tampak lelah. "Serius?" "Iya." "Oh iya, ini ada sesuatu buat kamu, dan mama." "Apaan, Kak?" "Buka aja! Dimakan yang lahap ya!" "Hmmm ... wanginya seperti ayam goreng tepung." Lalu Luke menyambangi sang mama yang tengah menyiapkan makan malam di dapur. "Mama! Kakak bawa ini," kata Luke riang. "Apa thu?" Bunga membuka kotak, dan melihat isinya. "Waaah ... sedap sekali. Sudah bilang makasih sama kakak?" "Belum, Ma." "Nggak boleh gitu dong!" "Iya, nanti Luke bilang. Setelah kakak selesai mandi." "Pintar." Selang 30 menit, semuanya berkumpul di meja makan. Saat ini, Bunga mengambil ayam dan meletakkannya di dalam piring kedua buah hatinya. Tetapi, Luka memindahkan kembali menu spesial tersebut ke dalam piring sang mama. "Mama harus cicip ini juga!" kata Luka. "Tadi, Luka sudah makan ayam yang sama kok di toko engkong," sambungnya yang kali ini berbohong. "Tidak apa, buat Luka aja. Lagi pula, Mama lebih suka kalau kalian berdua yang makan makanan sehat, dan bergizi seperti ini," timpal Bunga yang tahu, jika putranya tengah berdusta. Bukan tanpa alasan. Pada saat yang bersamaan, Bunga hampir saja masuk ke dalam toko akong untuk mengantarkan air minum kepada Luka. Saat itu, ia mendengar semua pembicaraan antara akong, dan putranya. "Kalau begitu, kita bagi dua saja!" Luka memotong bagian atas paha ayam tersebut, dan memberikan mamanya yang ukuran besar. "Ayo dimakan, Ma!" pintanya dalam senyum. Bunga menundukkan kepala, untuk menyembunyikan kolam kecil di dalam kelopak matanya. Tanpa bersuara, ia menyuap ayam tersebut sambil menahan perih, pada batang hidungnya. 'Luka!' Panggil Bunga dalam haru. "Kakak! Ayam ini juga terlalu besar buat Luke," sambung sang adik yang juga ingin berbagi. Sebab ia melihat, potongan untuk kakaknya, hanya bagian kecil saja. "Baiklah. Sini Kakak potong!" kata Luka yang juga langsung melakukan hal yang sama, seperti sebelumnya. "Ayo makan! Kakak mau tempe, dan sayurnya juga." Makan malam kali ini, terasa lebih berarti bagi keluarga sederhana ini. Bukan karena ayam goreng yang mereka nikmati. Melainkan rasa belas kasih, dan cinta yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Luka dan Luke terlihat makan dengan lahap, sementara sang mama. Ia masih saja menahan perasaan yang berat karena mengetahui bahwa Luka begitu mencintai dirinya dan adiknya. "Oh iya, Ma. Ada sesuatu di bawah pakaian Mama di lemari bagian atas." "Hm," jawab Bunga yang tak mampu membuka mulutnya, demi menyimpan rasa. Ia tidak ingin, makan malam yang indah ini menjadi air mata, karena kedua buah hatinya, melihat mata sang mama berkaca-kaca. Bersambung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN