Part 51

2449 Kata
Ikuti terus cerita ini ya Selama masih on going, gratis^^ Maaf aku bukan bakat dalam menulis, menulis dulunya cuman hobbyku di aplikasi orange, jadi kalau tulisanku terkesan kaku, maaf banget memang aku masih tahap belajar Part 51 Hari ini adalah hari yang sudah dinanti-nantikan semua murid yang ikut hadir dalam pertandingan bola basket di SMA Leander. Di dalam bus SMA Louwis dipenuhi suara sorak-sorak bersemangat oleh para supporter yang kini dalam perjalanan menuju SMA Leander. Seluruh murid juga tengah mempersiapka yel-yel yang terbaik agar mereka tampak lebih menonjol dibanding sekolah yang lain. Sikap semangat dan kekompakan merela yakini bakalan menang tahun ini. Sebab tahun kemarin mengalami kekalahan meaki di juara 2. SMA Louwis tidak pernah menerima juara di bawah angka satu dan prinsipnya harus di atas. Jika yang lain semua pada semangat, tidak bagi Silma yang merasa resah. Wajahnya harus dibaluri coretan-coretan dan katanya ini adalah sebuah tradisi di SMA Louwis. Jadi harus menerima wajahnya banyak coretan seperti ini. "Kayak bukan wajah gue." Silma berdecak kesal ketika menandang wajahnya melalui cermin yang selalu dibawa kemana-mana. "Sebenarnya ini mau tawuran apa gimana sih? Wajah dicoret-coret begini, apa bagusnya?" "Sil, lo gak boleh bicara begitu. Ini sudah tradisi dan tidak boleh dilanggar." Seseorang yang satu tempat duduk dengannya itu menegurnya. "Iya ya." Silma menggerutu dan ingin rasanya keluar dari zona tidak nyaman ini. Berselang beberapa menit kemudian, tibalah di SMA Louwis dan disambut oleh para panita SMA Leander. Setelah bus itu diperkirakan, Silma buru-buru segera turun. Dalam wajah yang penuh coretan, tidak ada yang mengenali wajah Silma dan jika tidak dicoret seperti ini kemungkinan banyak yang mengira dirinya adalah Salma. Saat Silma sudah turun, ia juga melihat sebuah mobil yang parkir di sebelah bus yang ditumpanginya tadi. Silma sedikit terkejut melihat siapa yang berada di dalam mobil mewah berwarna hitam tatkala mereka keluar dari mobil tersebut. Silvia bersama teman-temannya dan terakhir ada Alfa. Dari raut wajahnya saja, Alfa sangat merasa tertekan dan sempat menatapnya sekilas. Silma merasa iba dan ingin memeluk tubuh lekaku itu. Namun itu sudah tidak mungkin sebab Alfa melakukan itu demi ayahnya agar tidak terancam dikeluarkan dan juga dirinya tidak dibully lagi oleh Silvia. "Nanti gue akan ajak bicara dia sebentar deh, gue mau ngomong sesuatu ke dia." Silma menghela napasnya pelan. "Ayo anak-anak kita membentuk barisan terlebih dahulu!" Seorang guru mengintruksi mereka supaya paham dengan arahnya nanti. Seluruh murid langsung membentuk barisan dengan rapih sesuai latihan kemarin dan guru mulai mengabsen mereka semua yang sudah terdaftar di buku absensinya. Sedangkan di tempat yang lain... Salma berulang kali menghela napasnya kesal, bagaimana tidak kesal? Di saat kelas lain banyak yang santai malah kelasnya diadakan ulangan harian. "Guru nyebelin banget sumpah, yang lain pada enak lha kelas ini malah ada acara sendiri. Kenapa sih harus ada ulangan relmidi? Ulangan semester aja besok senin." Salma ingin rasanya memaki tepat di depan gurunya tapi ia sadar itu tidak sopan namanya. Banyak murid di kelasnya yang mengeluh, gurunya terlalu rajin di saat hari bebas seperti ini dan mata pelajaran hari ini adalah sejarah. Guru sedang menerangkan, ada yang sudah ketiduran diam-diam tanpa sepengetahuan guru. Ada juga yang bermain ponsel bahkan membuat status tentang hari ini yang merasa gundah. Harus mengikuti ulangan relmidi harian dan gurunya mengiming-ngiming nanti kalau ulangan semester minggu depan akan diberi tambahan nilai. Salma menatap Malvin yang tengah coret-corer tidak jelas. Dari kemarin lelaki itu banyak diam dan ia juga baru sada kalai ujung bibir Malvin seperti ada bekas luka baru. Dia habis berantem? Itu yang berada dipikiran Salma saat ini. "Bentar lagi gue telepon kakek deh, masak iya waktu nonton basket malah ngerjain ulangan relmidi kemarin." Malvin mendengus sebal. "Maklum guru mau pensiun." Salma ikut menimpali. "Argh ingin tidur." Malvin meletakkan wajahnya di atas meja yang sudah dilampisi bukunya sehingga wajahnya nanti tidak kotor. Malvin memiringkan ke kanan alias membelakangi Salma. "Lo habis berantem?" Salma langsung membekap bibirnya. Pertanyaan tadi yang harusnya berada di dalam hatinya malah meluncur bebas dari mulutnya. Sontak Malvin memposisikan wajahnya ke kiri dan otomatis menatap Salma kali ini. Malvin tersenyum kecil melihat Salma yang salah tingkah karena baru saja memberikan pertanyaan dengan nada khawatirnya. "Lo khawatirin gue ya?" Sudah diduga, Malvin akan mengatakan itu dan Salma meruntukki dirinya sendiri. Bisa-bisanya keceplosan dan Malvin sangat mendengarnya. "Enggak ada yang khawatirin lo," ucap Salma cepat supaya tidak menjadi gagap karena rasa gugupnya mendadak menyerangnya. Oh inikah rasanya dekat dengan seseorang yang dirinya sukai? Degup jantung begitu cepat dan tubuhnya memanas. "Hilih bilang aja." Malvin menegakkan tubuhnya dan menguap lebar. Mendengar gurunya yang sedang menerangkan di pagi hari ini sangat mengundang tidur. Salma memilih diam dan mukanya masam. Malvin menatap Salma lagi yang kini sedang memainkan penanya. "Gue gak berantem cuman ditabok sama bokap." "Lo buat ulah ya?" "Ya gue buat ulah, gue mau bunuh orang." "Gila. Bercandanya gak lucu." Salma menatap tidak suka pada Malvin. "Beneran lho bukan bercanda." "Terserah deh." Salma mencebikkan bibirnya sebal mendengar dan tidak percaya pada ucapan Malvin. Menganggap Malvin hanya bercanda saja kepadanya dan sengaja tidak mau memberitahukan yang sebenarnya. "Ngambek ih. Gue emang habis dipukul kemarin gara-gara gue buat ulah. Sudah jujur lho, masak masih ngambek sih?" Malvin menoleh pipi Salma. "Males gue omong sama lo." Salma meletakkan dagunya di sela-sela lipatan tangannya. "Jangan gitu dong, maaf ya." Malvin sebetulnya pula merasa senang di dalam hatinya, Salma mengkhawatirkannya begitu melihat luka disudut bibirnya. Ia tau Salma sudah menyukainya, hanya saja Salma seperti tidak mau lebih dari kata teman dan mungkin nanti ada saatnya hubungan mereka bukan kata teman lagi. "Eh Sal." Cika membalikkan badannya dan menepuk meja Salma. "Hmm?" Salma mendongakkan wajahnya dan menatap bingung kr temannya. "Lo nanti lihat pertandingan nggak?" "Enggak, males gue." Salma menggelengkan kepalanya. "Dia males karena gue gak ikut." Sanggah Malvin yang ikut nrimbung. "Ck." Salma menatap tajam ke Malvin tapi lelaki itu malah meledeknya dengan menjulingkan matany dan bibirmya dilengkungkan ke bawah. "Ouh begitu, ekhem yang doinya gak ikutan eh males jadinya." Cika menggoda Salma. "Gue lempar botol ini yap?" "Eh hehe pis." Cika menunjukkan dua jarinya dan kembali menghadap ke depan. "Hemm." Malvin menaik turunkan alisnya. "Mau dilempar juga?" Salma sudah mengangkat botol sambil mendelik kr arah Malvin. "Ampun cak!" Malvin menangkupkan kedua tangannya. "Hayo yang di belakang kok ramai sendiri?" Guru sejarah itu menegur mereka yang paling berisik dk antara yang lain. ... Silma sungguh-sungguh tidak bersemangat dan memilih duduk di tengah-tengah sebab jika di pinggir nantinya akan kelihatan dirinya yang nampak tidak bersemangat menyanyikan lagu yel-yel. Tribun sudah dipenuhi banyaknya penonton dan semuanya saling bersahut-sahutan mendukung tim basket sekolah mereka masing-masing. Namun pandangan Silma tertuju pada dua orang yang berada di bangku paling belakang deretannya dan di sana dua orang yang salah satu bergelayut manja. "Enak banget muka dia gak ada coretannya," gumam Silma menatap wajah Silvia yang masih tidak dicoreti. Sebenarnya Silvia tidak niatan mengikuti tim supporter dan sengaja ikut karena ada Alfa. Saat tatapannya bertemu dengan cowok itu lantas Silma membuang mukanya ke arah lain. Beberapa menit acara tengah dimulai, Silma melirik ke belakang lagi dan nampaknya Alfa sendirian. "Gue kasihan sama dia, gue gak mau dia terbebani karena gue. Gue sadar gue terlalu mikirin gue sendiri dan Alfa melakukan itu semua juga demi gue." Silma mengetik sesuatu di ponselnya lalu dikirim ke nomor Alfa. Pesan sudah terkirim, Silma menatap Alfa yang langsung membaca pesan darinya kemudian Silma izin keluar dari gedung. Tepat saat itu juga Alfa menyusul langkah Silma yang lumayan tertinggal dirinya. Setelah berada di luar gedung, Alfa berhasil menyusul langkah Silma yang cepat tadi. "Ada apa, Sil? Lo udah mau bicara sama gue." Alfa tersenyum sumringah dan tidak sabar mendengar kalau Silma ingin balikan lagi dengannya. Mereka berdua juga mencari tempat yang enak buat mengobrol berdua. "Kata lo, lo pacaran sama Silvia demi gue kan?" "Iya sama demi bokap gue tapi sepertinya enggak deh, gak mungkin bokap gue dipecat cuman gara-gara gue gak mau pacaran sama dia. Yang utama demi lo biar lo gak diganggu sama dia dan gue terus terang soal ini." "Lo putus aja dari dia, gue gak papa kok. Jangan pikirin gue!" Pinta Silma kepada Alfa. "Putus pun percuma kalau kita gak balikan." "Kalau kita balikan itu malah makin memperkeruh keadaan. Lebih baik kita sendiri-sendiri dulu." Silma menggeleng dan masih enggan rasanya balikan dengan Alfa begitu mudahnya. "Sulit ya kita bisa bersama? Gue yakin lo masih sayang sama gue." Alfa meraih kedua tangan Silma dan menggenggamnya erat. "Maaf, Alfa. Semesta mungkin masih belum mengizinkan kita bersama tapi kita tau kedepannya dan hanya Tuhan yang tau. Kita jalani aja dulu yaitu sendiri-sendiri, siapa tau kalau kita beneran jodoh pasti bakalan kembali kok." Silma melepas genggaman tangan Alfa secara perlahan. "Baiklah kalau itu emang keputusan lo." "Gue lega dengernya. Lo mau memahami apa yang gue maksud. Maaf ya, Alfa. Maaf banget gue gak ada maksud apa-apa menyakiti lo cuman karena situasi menjadi begini bikin makin buruk saja." Silma mengulas senyumnya tipis. "Walau begitu gue masih berharap kita balikan dan seperti dulu lagi. Ya gue gak egois kali ini, gue terlalu memaksa lo dan keputusan lo ada benarnya juga. Kita sendiri-sendiri lebih dulu." Alfa membelai rambut panjang Silma. "Yakinlah kalau kita memang ditakdirkan bersama ya pasti bersama. Daripada lo tertekan karena dia, lo menjauh saja dan sudah jangan pikirkan gue lagi sebab gue bisa mengatur masalah gue sendiri kok." Silma menepuk bahu Alfa sebentar. "Iya, Sil." Alfa mengangguk. "Ya sudah gue mau pergi dulu." "Lo gak ikut acara ini." "Izinin gue ya, gue males sebenernya." Silma menyengir kuda. "Iya, tapi lo mau kemana sih?" "Ada deh, ada perlu." Silma berlalu pergi meninggalkan Alfa yang masing memerhatikan langkahnya dari sini. "Alfa. Aku cariin kamu dari tadi ternyata di sini." Silvia bergelayut manja lagi ke lengan Alfa. Alfa sedikit kaget dan mencoba melepaskan jeratan tangan Silvia yang membuatnya risih. "Lepaskan!" Alfa menghempas kuat lengan Silvia dan hampir Silvia terhuyung. "Kok kamu jadi begini? Oh tadi habis ketemuan diam-diam sama Silma, ya kan?" Silvia memang sudah tau mereka bertemu di sini dan sengaja baru menghampiri Alfa agar ia mendengar lebih dulu apa yang mereka bicarakan baru saja. "Bukan urusan lo." "Lo mau putusin aku?" "Iya, gue minta putus eh lagian gue juga gak anggap lo pacar gue. Lo yang ngotot dan gue cuman nurut saja." Raut wajah Alfa menunjukkan rasa kesalnya kepada Silvia dan tidak betahnya dekat dengan gadia tersebut. "Beneran mau putus? Tau resikonya nanti setelah putus dari gue?" Silvia tersenyum miring dan ia tau siapa orang yang membuat Alfa berubah pikiran. "Silma kan? Gue sudah tidak peduli sama dia, lo apain dia aja gue gak peduli. Dia bukan siapa-siapa gue sekarang dan gak ada sangkut pautnya sama gue." Alfa mengatakan ini supaya Silvia tidak punya pikiran untuk menganggu Silma. Silma berdesis. "Ah begitu ya? Sudah tidak ada hubungan lagi? Tapi masih suka bertemu?" "Ini terakhir kalinya gue ketemu sama dia, gue cuman mau berpisah baik-baik saja," jawab Alfa yang berusaha menyakinkan Silvia meski rasanya itu tidak mudah sama sekali. "Sayangnya gue gak percaya, lo dari dulu sudah pandai bohongin gue. Sekali lagi gue tegasin, gue beda sama gue yang dulu." Silvia merapikan rambutnya sebentar lalu tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Gue juga gak peduli lo percaya sama gue atau enggak. Yang penting gue udah kasih tau ke lo kalau Silma sudah tidak ada urusannya sama gue lagi. Lebih baik gue sendiri daripada sama lo." Alfa membalikkan badannya dan berniat akan meninggalkan Silvia. "Omongan basi, gak mempan." Alfa pun mengkhawatirkan Silma kedepannya sebab Silvia sepertinya sudah paham dirinya sedang berbohong. Cowok itu perlahan berjalan meninggalkan Silvia. "Silma itu kelemahan lo." Silvia langsung tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan itu. Berbeda dengan Alfa yang tetap melangkahkan kakinya meski pikirannya tertuju pada ucapan Silvia yang sepertinya mengancamnya dengan cara liciknya yaitu menganggu Silma yang notabenenya adalah kelemahannya saat ini. Flashback on Silma kemana-mana sendiri sejak putus dari Alfa. Meskipun masih ada Kiky yang siap sedia di sampingnya dan membantunya. Namun Silma tidak mau meminta tolong kepada Kiky sebab takut merepotkan lelaki itu. Waktu pulang sekolah dan mempersiapkan diri akan mengikuti latihan yel-yel. Tak sengaja ia mendengar pembicaraan dua orang lelaki yang tengah duduk-duduk santai di koridor dan yang menjadi perhatiannya adalah mereka membicarakannya. Reflek Silma menghentikkan langkahnya dan menguping pembicaraan mereka berdua. Mereka adalah Andrion dan Bondan. Dua orang itu ialah temannya Alfa. "Kasihan tau si Alfa. Gara-gara Silma dia jadi terpaksa pacaran sama Silvia." "Iya gara-gara Silma, Alfa malah dekat sama Silvia. Harusnya kalau memang gak cinta ya gak usah gitu deket-deket Alfa. Alfa tiap hari galau mulu padahal mau ulangan tapi masih suka bolos mata pelajaran." "Kemarin Alfa ngajak balikan, ditolak mentah-mentah sama dia. Silma tidak tau perjuangan Alfa dibaliknya, rela dideketin sama Silvia lagi demi dia agar tidak peduli. Eh malah dia menghindari Alfa. Gak tau terima kasih deh cewek itu." "Memang sih sejak Alfa pacaran sama dia, dia kelihatan cewek suka nyusahin. Apa-apa Alfa salah mulu dan dia egois banget bahkan jarang bilang minta maaf ke Alfa. Tiap dipaksa VCan padahal Alfa itu lagi sibuk-sibuknya. Terus ada lagi, waktu kita kelompok dan dia gak fokus kerjain tugas karena lagi mikirin Silma yang ngajakin VC mulu. Tuh cewek juga gak ada bedanya sama Silvia deh, sama-sama nyusahin." "Beban banget tuh cewek." "Sekarang juga nambah bebannya Alfa." Mereka berdua membicarakan buruk tentang Silma. Silma tak terima dan marah. Tapi dipikir-pikir dirinya juga banyak salahnya dan selalu menyalahkan Alfa walau itu sebenarnya juga salahnya. "Gue bebannya Alfa ya?" Padahal yang Silma kenal, dua teman Alfa itu baik kepadanya tapi nyatanya di belakangnya mereka membicarakan tentang keburukannya. "Alfa beneran pacaran sama Silvia demi gue." "Kenapa dia mempersulit diri sih? Ngapain juga gitu lho." Silma mengusap wajah pelan. "Gue kan yang disalah-salahkan dan disudutkan. Padahal lo sendiri yang buat keputusan, pacaran sama Silvia." Silma merasa tidak enak hati dan "Argh,gue jadi gak enak begini. Hmm ya sudah besok gue mau bilang ke dia dan terserah jawabannya yang penting gue gak mau dikira beban dia lagi." "Sebel gue dikata-katain begini, mana mereka pernah akrab ke gue dan gara-gara keputusan Alfa, mereka jadi kayak benci banget sama gue." Silma melanjutkan jalannya dan ia sudah dijemput di depan gerbang. Sempat di tengah jalannya, tubuh Silma ditabrak bahunya dari belakang dan untung saja Silma tidak terjatuh karena orang itu tidak menabraknya terlalu keras. "Oups." Silvia memasang muka sedihnya lalu menatapnya sinis. "Mau apa lagi?" tanya Silma heran, gadis itu suka sekali menyiksanya. "Kalau lo berani ganggu hubungan gue sama Alfa. Jangan harap hidup lo akan tenang di sini." Silvia berlari lagi. "Siapa juga yang ganggu hubungan mereka." Gerutu Silma. ... Terima kasih yang sudah beri komentar dan selalu ikuti ceritaku Sehat-sehat selalu ya kalian semua Kalau mau tanya soal ceritaku Bisa hubungi aku Ig: believe_nw Wp: Believe_nw Fb: Niwi Time Aku bukan penulis cuek ya hehe, jadi jangan takut kalau mau berbalas pesan dengaku:* Dan karena pembaca ku cuman sedikit, jadi aku hafal semua wkwk ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN