Part 52

2503 Kata
maaf telat upnya ya happy reading pembacaku Part 52 "Lo gak nonton pertandingan?" tanya Salma bingung sebab Malvin yang notabenenya seorang kapten basket tidak kunjung keluar kelas setelah ulangan harian relmidi selesai. "Mood gue lagi buruk, bentar lagi gue mau ke rooftop." Suara Malvin juga terdengar lemas. "Ouh." Salma tak ingin banyak tanya kepada Malvin meski tak dipungkiri begitu penasaran terhadap cowok itu. 'Dia lagi ada masalah?' Malvin lebih diam dan jika bercanda tidak seperti biasanya. Salma tau pasti lelaki itu ada masalah namun memilih dipendam sendiri. Ketika orang yang humoris mendadak diam itu rasanya aneh. Salma memperhatikan Malvin sedari tadi tanpa diketahui Malvin sendiri. Mendadak Malvin beranjak berdiri membuat Salma gelagapan dan berusaha mungkin bersikap biasa saja agar tidak tertangkap basah oleh Malvin. Salma tersenyum kecut, rupanya Malvin tidak melihatnya dan fokus pada ponselnya saja. "Gue mau keluar dulu ya," pamit Malvin tanpa menolehkan kepalanya ke arahnya. "Iya." Salma menatap punggung cowok itu sampai keluar dari kelas ini. "Dia kalau lagi ada masalah, sifat nyebelinnya kok hilang gitu aja ya. Kelihatan seremnya dan gak sok cool kayak kemarin-kemarin." Salma merasa hari ini begitu hambar, ia pikir tadi akan diajak Malvin menonton pertandinhan basket di jalur VIP tapi nyatanya Malvin sedang dilanda suasana hati yang buruk dan nampaknya cowok itu ingin menyendiri untuk menenangkan hatinya. "Gue jadi penasaran dia kena masalah apa? Masak iya dipukul sama ayahnya? Berarti dia melakukan kesalahan besar dong?" Salma menghembuskan napasnya pelan, bertepatan dengan itu ponselnya berdering menandakan ada seseorang yang meneleponnya sekarang. Ia menepuk jidatnya saat membaca namanyang tertera di layar ponselnya dan baru teringat kalau kakaknya menjadi supporter hari ini lantas segera menerima telepon dari Silma. "Halo, Sil?" tanya Salma dan juga dirinya merasa bersalah tidak menghubungi kakaknya terlebih dahulu. 'Lo dimana sih?' "Gue di kelas tadi habis ulangan, sorry gue lupa tadi gak hubungin lo duluan seperti rencana kita kemarin." 'Ck, ada acara kok ada ulangan. Gak masuk akal banget.' "Ya gimana, mau dibantah pun gurunya sudah tua. Satu kelas tadi pada ngeluh semua." 'Terus lo sudah selesai kan? Kenapa gak telepon gue dulu?' "Baru ingat." 'Bener-bener ya lo!' Dari seberang sana, Silma berdecak kesal karena adiknya melupaknnya. Gara-gara perhatiin Malvin tadi jadi lupa, haduh--pekik Salma. "Terus lo ada di mana?" tanya Salma balik seraya beranjak berdiri. 'Gue ada di koridor dekat jalannya ke halaman belakang sekolah lo ini.' "Terus tas lo, lo taruh dimana?" 'Masih ada dibagasi bus.' "Kenapa gak lo ambil dulu? Kan rencananya kan kita mau ganti baju dulu sebelum cabut," ucap Salma yang kini mulai berjalan keluar dari kelasnya. 'Ya gue hubungin lo dulu, gue panik soalnya tadi. Takut ketahuan sama panitia dari sekolah gue, mampus gue nanti kalau sampai ketahuan dan ini lagi ngumpet di sini karena lokasinya lumayan sepi. Cepetan ke sini dong!' suruh Silma. "Iya ya sebentar, gue masih otw ke sana." 'Ya sudah kalau gitu, gue matiin dulu.' "Ya, tapi lo jangan pindah tempat! Bingung nyari lo lagi nanti." 'Iya ya, cepetan!' Klik Salma mematikan telepon secara sepihak dan melangkahkan kakinya cepat. Andai koridor dalam kondisi tidak ramai sekarang, pastinya memilih berlari saja agar cepat sampai ke koridor halaman belakang sekolah. Di saat Salma menuruni anak tangga, ia bertemu Cindy seorang diri dan tengah membawa satu kantong plasti yang sepertinya berisi makanan dari kantin. "Eh lo mau ke mana?" tanya Cindy yang malah mengikuti Salma. "Ada kakak gue lagi nungguin gue." "Kakak lo?" "Iya dia jadi supporter. Eh lo bawa jajan, sini sini!" Bukan Salma kalau tidak merampas makanan temannya dan Cindy mendengus sebal. "Pilusnya jangan dong, itu kesukaan gue." "Halah, ngalah deh lagian lo ngikuti gue kan." "Ya gue reflek ikut lo tadi, wajah lo kayak panik banget." Cindy juga berjalan cepat dan menjajarkan langkahnya dengan langkah kaki Salma agar berjalan beriringan. "Gue tadi lupa kalau kakak gue di sini dan gara-gara ulangan ulangan." "Kalau kelas gue, kemarin sih ulangan relmidi. Sejarah kan?" Ingin rasanya Cindy merebut kantong plastiknya yang berisi makanan ringan baru diberi tadi di tangan Salma. Benar-benar punya teman tak ada akhlaknya, jajannya dirampas dan Cindy hanya bisa meratapi jajannya yang tidak bisa diselamatkan. "Iya, siapa lagi kalau bukan guru itu." Salma masih kesal mengingat gurunya tadi. "Halah percuma juga ikut ulangan, nanti juga hasil ulangan yang asli yang muncul diraport." "Haha iya, itu cuman ulangan harian doang. Palingan masuk tugas. Entahlah tergantung gurunya juga. Ada yang pelir kasih nilai ada yang enggak." Salma menngedikkan bahunya tak acuh. "Terus kalau lo ketemu kakak lo?" tanya Cindy kepo. "Bolos hari ini. Kita mau jalan-jalan." "Gue ikut dong!" Cindy mulai merajuk dan memegang bahu Salma agar temannya itu bisa memelankan langkahnya sedikit. "Ck, ngapain ikut-ikutan!" Salma menurunkan tangan Cindy yang memberatkannya saat berjalan. "Ihh sama temen sendiri lho." "Awas aja lo rewel, gue buang lo ke brantas!" "Serem amat mbak." Cindy pun memekik kegirangan diajak bolos oleh Salma. Ia juga bosan hari ini karena tak ada kegiatan selain nonton pertandingan. Cindy juga satu tim futsal dulu bersama Salma dan lebih menyukai hal-hal berbau sepak bola. "Tapi cukup kita bertiga ya. Gue gak mau ajak duo curut main." Yang dimaksud Salma adalah Cika dan Cerry. Baginya, mereka berdua itu malah merepotkannya kalau sampai ikut-ikutan bolos. "Kagak lah. Tapi gimana caranya bolos?" Cindy mengernyitkan dahinya. "Tenang aja." Salma tersenyum penuh arti dan tentu saja siapa yang membantunya membolos nanti. Sedangkan di tempat yang lain... Sembari menunggu kedatangan Salma ke mari. Silma jalan-jalan di area sekitar koridor yang menjadi akses jalannya menuju halaman belakang sekolah. Silma celingukkan dan merasa tempat ini sangatlah sepi dan tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki beberapa orang yang mendekat ke arahnya. Lantas Silma membalikkan tubuhnya segera dan terkejut melihat orang-orang yang menghampirinya di sini. "Di sini ternyata." Salah satu dari berada melangkah mendekar ke Silma dan Silma malah memundurkan langkahnya. "Eh kenapa mundur?" "Kenapa kalian ke sini?" Suara Silma meninggi dan merasa was-was sebab tiba-tiba muncul firasat tidak enak saat kedatangan Silvia dan dua temannya itu ke tempat ini. "Cuman mau ngajak main doang?" Silma terus memundurkan langkahnya tatkala Silvia masih saja mendekat ke arahnya. Silvia tersenyum miring begitu pula dua temannya di belakangnya yang juga mengawasi mereka agar Silma tidak kabur dengan mudahnya. "Gue sudah gak ada urusannya sama lo." "Oh tidak-tidak, lo tetap berurusan sama gue." Silvia menatap sinis. Silma memejamkan matanya dan meringis saat punggungnya terbentur lumayan keras ke dinding belakangnya. Ia tak bisa lagi memundurkan langkahnya karena sudah dikurung oleh mereka. "Mau lo apa lagi sih? Jangan ganggu gue!" "Lo bilang begitu seakan-akan lo itu gak pernah nyenggol gue ya?" Jari telunjuk Silvia tepat di depan wajah Silma dan Silma memundurkan wajahnya sampai kepala bagian belakangnya menempel ke dinding. Silma merasa tubuhnya lemas saja dikepung seperti ini dan nyalinya ciut tidak seperti mulutnya yang berani membalas ucapan orang. "Gue emang gak pernah nyenggol lo justru lo yang sering bully gue." "Bully? Haha." Silvia tertawa terbahak-bahak dan juga dua temannya. "Eh denger ya, orang merasa dirinya sendiri dibully itu orang yang lemah. Ups! Emang lo cewek lemah sih haha cupu, gak pinya temen, penakut iyuuh!" Lagi-lagi mereka tertawa dan Silma hanya diam saja. "Lo sudah gue peringati buat gak deket sama Alfa eh malah jadian sama dia. Otomatis lo gak bakalan jauh-jauh dari gue, gue juga bilang kalau hidup lo gak bakalan tenang dan gue sengaja kasih waktu buat lo seneng-seneng terlebih dahulu kemarin. Tapi lo malah bikin gue gak bisa tahan lagi buat nyiksa lo!" Silvia menarik dagu Silma dan menekannya kuat hingga Silma meronta meminta dilepaskan. Sayangnya tubuhnya ditahan oleh dua teman Silvia. Silma pikir ucapan Silvia yang kemarin-kemarin adalah sebuah ancaman saja. Ternyata Silvia serius dengan ucapannya yang ingin membuat hidupnya tidak aman. "Tolong jangan begini." Silma merintih dan merasakan dagunya begitu sakit. Ia tebak dagunya memerah sekarang. "Tolong jangan begini?" Silvia menirukan gaya bicara Silma baru saja setelah itu tertawa meledek gadis di depannya. "Gue minta maaf kalau rebut Alfa dari lo tapi kan lo sudah balikan sama dia dan sudah tidak ada lagi urusannya sama gue." Sanggah Silma. "Sok-sokan minta maaf segala. Terus tadi maksud lo apa hah bikin Alfa mutusin gue!" Silvia mendorong dahi Silma dengan jari telunjuknya. "Gue gak bikin dia putus sama lo. Putus atau tidaknya itu keputusan dia. Alfa pacarin gue supaya gue gak diganggu sama lo jadi gue ngerasa beban sama dia dan gue cuman bilang ke Alfa buat gak usah pacaran sama lo karena yang gue lihat selama ini dia tertekan. Tapi itu emang benar kan? Alfa tertek---aww!" Plakkk Suara tamparan keras mendarat di pipi Silma hingga gadis itu memiringkan wajahnya saking kerasnya tamparan dari Silvia. "Nah ini hadiah dari gue, fyuh!" Silvia menghembuskan napasnya lega dan bertepuk tangan beberapa kali. "Meski lo tampar gue dan siksa gue. Gak bikin Alfa balik ke lo, percuma!" teriak Silma dan menahan rasa sakit fisiknya yang baru saja dilukai oleh Silvia. "Percuma? Ckckck bukan gue lah merasa begitu. Kenapa percuma? Kalau menyiksa lo tuh dimata gue seperti menyiksa Alfa, kalian berdua gak ada bedanya kok sama-sama bikin gue muak." Silvia menarik kerah Silma dan Silma mendongakkan wajahnya. "Terus mau lo apa? Gue ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang kalian! Tolong jangan ganggu gue, gue mohon. Gue janji gak bakalan nyenggol lo lagi sama Alfa. Gue tadi pun gak ada niatan suruh Alfa putus, gue juga kaget kalau Alfa beneran mau putusin lo." Kini Silma menangis dan tidak tau harus bagaimana lagi selain meminta kepada sosok mantan Alfa. Ia tak suka pada posisinya sekarang. Ia disudutkan padahal semuanya sama-sama salah. "Salah sendiri suka nyolot dibilangin dari kemarin-kemarin. Sorry, eh ngapain gue minta maaf juga sama lo? Lo mah apa bagi gue. Terus mau gue? Ya gue ingin lo gak bisa hidup tenang di sekitar gue. Lo itu kelemahan Alfa dan juga alat gue buat balas dendam sama dia. Camkan itu baik-baik." Silvia merapikan seragam bagian pundak Silma lalu ditepuk pelan pundak gadis yang tengah menangis sesenggukkan. 'Semakin lemah malah bikin gue terus ingin menyiksanya dan itu kesenangan bagi gue sendiri'--batin Silvia. "Sil, kayaknya ada yang mau ke sini deh." "Iya benar tuh, bukan satu orang lho." Dua teman Silvia itu mengingatkan pada Silvia agar segera pergi dari tempat ini sebab terdengar suara hentakkan kaki seseorang melangkah ke mari. Silvia menatap dua temanhya secara bergantian lalu mengangguk mengerti. "Cabut!" Silvia menaikkan sudut bibirnya saat Silma menatapnya. "Bye dulu ya, besok-besok lagi main bareng, okay?" Silvia pun pergi dan Silma meluruhkan tubuhnya ke lantai. Gadis itu menangis sejadi-jadinya dan tepat itu juga orang yang ditunggu-tunggu Silma datang. "Silma!" teriak Salma terkejut melihat kakaknya menangis dengan posisi duduk di lantai. Cindy juga kebingungan di samping Salma dan membantu Silma berdiri. "Lo ke--" "Jangan dulu, Sal! Biar kakak lo tenang dulu deh." Cindy memperingati Salma supaya diam lebih dulu sebab Silma masih menangis dan belum tenang hatinya. "Baiklah. Kita duduk sana dulu!" ajak Salma untuk duduk di tempat yang sudah disediakan agar lebih nyaman saja. Setelah membiarkan Silma menangis sampai tenang. Barulah Salma menanyakan keadaan kakaknya yang tiba-tiba menangis dan duduk di lantai. Namun saat mendengar alasan kakaknya menangis entah mengapa Salma merasa geram. "Lo kenapa?" "Gue gak papa." "Kalau gak papa, kenapa lo nangis? Lo mau bohongin gue?" Salma berdecak kesal dan kakaknya itu sulit sekali berterus terang kepadanya. "Eh lo habis kena tamparan ya? Pipi lo merah tuh!" Tunjuk Cindy mengarah ke pipi Silma yang salah satu sisi pipinya memerah. "Siapa yang lakuin ini ke lo? Jawab Silma!" Sentak Salma emosi pada kayaknya yang terdiam meski masih terdengar sesenggukkan. Silma menggeleng lemah. Salma pun menangkup wajah kakaknya dan memeriksa bagian wajah yang lain. Yang ditemukan hanya pipi Silma yang memerah saja. Sepertinya ada seseorang yang baru saja menampar kakaknya dan tentu saja siapa yang tidak marah kalau salah satu keluarga kalian yang kajian sayangi disakitin oleh seseorang. "Apa sulitnya buat ngejawab sih?" Silma masih enggan menjawab membuat Salma frustasi pada kakaknya. "Sudah, Sal. Kalau emang Silma gak mau bilang yang sebenarnya ke lo, gak usah dipaksa. Nanti juga bakalan cerita sendiri dan mungkin kakak lo lagi syok aja." Cindy mengusap pundak Silma dan merasa iba pada kakaknya Salma yang sepertinya menyembunyikan sesuatu yang besar dari Salma. "Haishh terserah lo deh, heran gue. Sama adiknya sendiri gak mau cerita." Salma menghela napasnya lelah. "Ya bisa jadi Silma belum siap bilang ke lo atau gak mau merasa direpotin." "Emm gue emang gak mau cerita dan ingin pulang secepatnya," ucap Silma setelah bungkam sedari tadi. "Ck pikiran lo pulang mulu. Cerita masalah lo ini aja enggak. Muka lo sekarang kayak gak ada rasa bersalahnya ke gue deh." Salma beranjak berdiri dan berkacak pinggang. Ia tidak tenang kali ini dan mungkin batin mereka menyatu hingga Salma seolah merasakan apa yang dirasakan oleh Silma. Sungguh itu membuat Salma tidak nyaman sekali. "Tas gue ada di bagasi bus, gue gak bisa deh ambil nanti bisa-bisa dicurigai." "Biar gue aja yang ngambil," balas Cindy cepat. "Emang lo tau caranya ngambil? Bukankah di sana di jaga? Hadeh lo ini pake acara dimanja segala samlai temen gue yang mau ngambilin."Salma mencibir kakaknya. "Gue takut ketahuan dan gue lagi gak enak ya sekarang. Gue mohon, gue pengen pulang." pinta Silma dengan suaranya yang sudah parau. "Sudah gak papa, biar gue aja." Cindy berdiri dan merapikan seragamnya. "Tapi gimana caranya lo ambil tasnya Silma?" tanya Salma heran. "Gue punya kenalan teman banyak di kelas dan mereka juga ada yang panitia. Sudah tenang saja, gak lama kok dan palingan cuman sebentar doang. Oke, gue pergi dulu!" Pamit Cindy kepada mereka. "Ya sudah hati-hati!" seru Salma pada temannya. "Gereget deh gue sama lo." Salma mendelikkan matanya saat kakaknya menatapnya. 'Maaf, Sal. Gue emang gak bisa cerita sekarang'---ucap Silma di dalam hatinya. Benar saja, tidak lama kemudian Cindy sudah kembali sambil membawa tas milik Silma. "Terima kasih, Cin." Lirih Silma seraya menerima tasnya. "Sama-sama eh kita gimana? Gak ganti baju, tapi gue gak bawa baju nih." Cindy memajukan bibirnya seperti bebek. "Gue bawa jaket," ucap Salma. "Gue bawa dua celana, lo bisa pakai salah satunya." Silma ikut menyahut. Gadis itu juga menunjukkan isi tasnya serta celananya akan berniat meminjamkan Cindy. Silma tidak kaget lagi kalau Cindy juga ikutan sebab Cindy juga seperti Salma dari SMP suka membolos. "Oke sip, ganti lo Sal bawain tas gue hehe." Cindy terkekeh saat menyuruh Salma gantian. "Anjim lo, mana males gue." Salma mendengus sebal pasti ujung-ujungnya begini. "Ayolah, lo kan juga yang punya akses keluar dari sekolah dengan aman." Cindy menggoyangkan lengan Salma, mereka berdua masih berdiri saat ini dan Cindy membujuk temannya itu supaya mau gantian. Salma berdeham saja lalu pergi dari sini dan menuju kelasnya. Walau begitu mulutnya tak bisa berhenti mendumel soal kakaknya tadi. Kakaknya itu cukup membuat suasan hatinya yang perlahan memburuk hari ini. Ketika sudah di lantai dua dan ia tak sengaja menatap segerombolan orang di lantai dasar yang tengah duduk di pinggir lapangan basket outdoor sedang tertawa entah apa yang mereka bicarakan dan yang membuat Salma bisa langsung menangkap mereka adalah mereka mengenakan seragam yang sama seperti kakaknya, nampaknya paling menonjol. "Bukannya pertandingan masih dimulai ya?" Salma menghentikan langkahnya dan mendekat ke dinding pembatas. Salma menyipitkan matanya ketika merasa tidak asing lagi dengan wajah-wajah mereka. "Jangan-jangan mereka yang--bangs*t!" umpat Salma sambil memukul pembatas dinding sangat keras. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN