Part 50

2416 Kata
Part 50 Salma merasa aneh melihat Malvin yang menjadi lebih diam dan tidak banyak tingkah saat ini. Walau begitu Malvin tidak cuek kepadanya, hanya tidak banyak bicara saja tapi sudah membuat Salma kebingungan. Salma pun juga diam saja sebab nantinya takut digoda lagi oleh Malvin dan dikira dirinya sangat peduli kepadanya atau bisa juga cowok itu kepedean karena dirinya banyak tanya. Sekarang mereka berdua dalam perjalanan pulang ke rumah, tentu Malvin mengantar Salma lebih dulu dan tidak butuh waktu yang lama telah sampailah di depan gerbang rumah Salma. Sebelumnya Salma bertanya lebih dulu ke kakaknya, apakah sudah ada orang ruanya di rumah atau belum. Mungkin jika kedua orang tuanya sudah pulang, Salma menyuruh Malvin mengantarnya sampai di depan gerbang kawasan perumahannya atau dekat pos satpam. Tapi memang kebetulan orang tuanya belum pulang, Salma diantar sampai di depan gerbang rumahnya. "Sudah sampai," ucap Malvin. "Gue turun dulu." Malvin mengangguk saja dan meliriknya sekilas. Ia melajukan mobilnya padahal Salma akan mengatakan terima kasih pada cowok itu. "Dia kenapa sih?" Salma berdecak kesal melihat perubahan sikap Malvin sejak akan pulang tadi. Kemudian Salma membalikkan tubuhnya dan pikirannya masih penuh tanda tanya soal sikap Malvin yang berubah agak acuh kepadanya. Ia berjalan gontai memasuki rumahnya yang masih sepi lalu menuju kamarnya. Baru tiba di dalam kamar, Silma memekik kegirangan dan memegangi bahunya. "Ya ampun Sal!" "Lo kenapa sih?" tanya Salma yang tambah bingung juga melihat tingkah Silma mendadak kegirangan sekarang. "Lo diantar pakai mobil lambo, huaa jadi iri gue!" Silma memeluk Salma erat dan segera Salma melepasnya sebab merasa risih saja. "Biasa saja padahal." Salma duduk di kasurnya sembari meletakkan tasnya di atas kasur serta sepatu yang sudah dilepas dari teras pun diletakkan di pinggir bawah kasur. "Ih kok lo biasa saja sih, gue malah pengen tau naik mobil mewah kayak gitu." Silma ikut duduk di sebelah adiknya dengan kedua kakinya disilakan. "Lo terlalu berlebihan deh, cuman mobil mewah doang dan rasanya juga sama saja kayak mobil biasa." "Astaga, Salma. Gue jadi lo pasti girang banget deh, kok jadi penasaran kayak gimana itu si Malvin. Oh ya terus kedekatan kalian sudah resmi pacaran?" tanya Silma kepo. "Enggak, kita temenan doang. Lo kan besok ke sekolah gue jadi lo bakalan tau sendiri, dia ada di gedung soalnya nanti kan dia kapten basketnya." "Tapi dia gak ikut tanding kan?" "Iya, tangannya masih proses pemulihan. Mungkin pertandingan selanjutnya bakalan ikut. Ya gue tau sih gue yang buat dia gak ikut tanding. Tangan dia sakit demi nolongin gue." Salma teringat kejadian buruk yang hampir menimpanya, namun karena ada seorang penyelamat pula kejadian itu malah menimpa ke cowok tersebut. "Itu tandanya dia suka sama lo, Salma. Dia korbanin semuanya demi keselamatan lo bahkan tangannya rela terluka. Sudah deh akui saja kalau lo suka sama dia." "Gue masih bingung aja sih dan gak kepikiran buat pacaran. Gue pengennya temanannya aja." Salma mengulum senyumnya. "Enak lo pacaran." "Emang lo kagak trauma? Bukankah lo baru saja dikhianati sama Alfa?" "Ya setelah gue pikir sih, resiko pacaran ya begitu tapi saat lihat lo dekat sama cowok lain kok gue jadi pengen pacaran lagi. Rasanya sepi tau gak ada yang chat dan vidcall kayak biasanya." Bibir Silma cemberut dan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Lo pacaran aja nilai lo anjlok banget." "Sekarang udah gue perbaiki kok." Silma menarik napasnya. "Terus hubungan lo sama Alfa emang benar-benar sudah berakhir?" tanya Salma yang juga kepo pada kisah percintaan kakaknya. "Sudah, ya susah sih lupain dia tapi kalau keingat sikapnya yang bikin gue sakit hati jadi pengen segera bisa lupain dia. Tapi kayaknya belum ada cowok yang suka sama gue." Raut wajah Silma berubah lesu dan bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Ada sih, halah pikirin ulangan buat minggu depan aja. Soal pasangan sudah ada yang mengaturnya jadi santai saja." "Tapi gue gak kayak lo ya yang gengsian. Terus si Malvin itu suka ngode-ngode ke lo gak? Kalau dia pengen ngajak lo pacaran." "Iya tapi gue malas nanggepinya." Salma mengangguk. "Nanti diembat sama orang nangess." Silma mencibir adiknya yang sulit sekali mengatakan apa yang dirasakan selama bersama Malvin dan seperti acuh saja. Padahal sudah jelas dari sorot mata Salma bahwa adiknya itu memiliki rasa suka kepada Malvin. "Gue gak peduli." Salma beranjak berdiri dan berniat akan mandi sebab tubuhnya sudah terasa lengket sekali. Bertepatan dengan itu adiknya tiba-tiba mengetuk pintu. "Mbak Sal, sudah pulang?" tanya Juna sedikit meninggikan suaranya. "Iya, masuk aja!" suruh Salma kepada adiknya. Lantas Juna masuk ke dalam kamar dan tak lupa menguncir pintu kamar kakaknya. "Lo kenapa, Jun?" Silma ikut berdiri dan menatap adik laki-lakinya yang sepertinya akan mengatakan sesuatu yang serius kepada mereka. "Akhirnya Mbak Salma sudah pulang juga." "Katakan saja apa yang ingin lo katakan, jangan buat kita makin bingung deh!" ucap Salma. "Iya ya, jadi gini. Gue tadi waktu berangkat sekolah...." Juna mulai menceritakan soal kejadian tadi pagi di gerbang rumahnya. "Wanita asing bernama Cala dan mengaku mantan ayah dulu? Terus bunda kayak terancam?"tanya Salma bertubi-tubi dan ikut kesal mendengar cerita dari Juna. Ia tidak terima ada orang yang berani menganggu ketenangan keluarganya. "Ya mungkin dulu bunda sama wanita yang namanya Cala itu musuhan demi dapetin ayah kita. Tau kan ayah kita ganteng dari masa muda." Silma bersedekap d**a. "Kok lo omong begitu sih? Siapa tau dia itu ada niat jahat lho ke keluarga kita jadi bunda merasa was-was," ucap Salma yang kini semakin penasaran siapakah sosok wanita bernama Cala tersebut? "Halah, bunda dari dulu suka berlebihan. Sikap bunda kan nyebelin dan bisa jadi dulunya punya musuh banyak," kata Silma begitu santai dan tidak seperti Salma serta Juna yang merasa cemas. "Mbak, gak boleh bilang kayak begitu ke bunda, bunda khawatirin kita lho dan seharusnya kita gak boleh punya pikiran buruk ke ayah sama bunda. Emang mbak mau keluarga kita hancur?" tanya Juna yang kecewa mendengar ucapan Silma yang menjelekkan bundanya. "Haishh bodo amat lah gue." Silma keluar dari kamar Salma dengan menghentakkan kedua kakinya keras. "Mbak---" "Biarin aja." Salma menepuk pundak Juna dan menyuruhnya mengabaikan tingkah Silma yang menyebalkan. "Mbak Sal, keluarga kita bakalan aman kan? Kok gue jadi takut." "Aman-aman saja. Yakin deh." ... "Itu apa, Zena?" tanya Pandu yang baru selesai mandi dan masih menggosokkan rambut basahnya dengan handuk. Pandu mendekat ke istrinya yang tengah duduk di pinggir kasur dan ia juga melihat Zena sedang memegang sesuatu. "Undangan." "Undangan?" "Party." "Dari siapa?" "Dari mantanmu." "Maksudmu Cala menemuimu?" tanya Pandu terkejut dan merebut undangan ditangan Zena lalu membaca isi undangan tersebut. "Iya, tadi pagi." Zena mengangguk. "Kenapa kamu gak bilang tadi? Terus cuman ketemu sama kamu saja kan?" Selesai membaca isi undangan itu, Pandu meletakkan di sampingnya dan kini merangkul Zena. "Ada Juna, aku takut, Mas." "Dia mengancammu?" "Sepertinya tapi aku tidak tau juga dan aku cemas banget. Yang kupikirkan itu anak-anak." Zena menghembuskan napasnya berat. "Aku yang akan mengurusnya kalau sampai macam-macam ke keluarga kita terutama menyakiti anak-anak dan aku tidak akan membiarkannya. Padahal dia sudah hidup enak bersama temanku, kebangetan kalau masih ganggu keluargaku." "Aku mikirnya juga begitu tapi kata-kata yang dilontarkannya tadi masih teringat jelas dan membuatku kepikiran." Zena menggigit bibir bagian bawahnya dan kedua tangannya digosokkan. Ia sangat takut sekali terjadi sesuatu buruk pada keluarganya. "Harusnya kamu bilang kepadaku soal begini, jangan diam saja. Dia itu nekatan orangnya. Sudah jangan memikirkan hal buruk ya, kalau anak-anak tau kalau kamu masang raut wajah begitu terutama Salma suka banyak tanya dan kamu itu tiba-tiba diam begini." Pandu memeluk Zena dan membelai rambut istrinya. Betapa takutnya istrinya kepada Cala sebab teringat kejadian di masa lalu membuat Zena mengalami sedikit trauma ditambah ini bertemu Cala langsung dan berusaha melindungi anak-anaknya dari jangkuan orang jahat. "Tapi undangan itu." "Tidak usah datang." Pandu langsung meremas undangan tersebut hingga kusut. "Tapi kalau tidak datang, dia gak mau berubah." "Omong kosong dia aja dan yang penting kondisimu baik-baik saja. Gak ada untungnya datang pula ke sana. Orang temanku saja masih punya istri sah. Kalau dia berubah, dia gak bakalan mau jadi selingkuhan." "Iya sih benar juga. Semoga keluarga kita tidak apa-apa." "Amin." "Ayo sekarang keluar! Anak-anak. Pasti sudah menunggu kita di ruang makan." Pandu menatap jam dinding dan sudah sekarang sudah waktunya makan malam. Ia beranjak berdiri dan menggandeng Zena keluar dari kamar. "Mukaku tidak berantakan kan, Mas?" tanya Zena pada Pandu. "Enggak, masih cantik. Untung saja kamu tidak nangis." Pandu menggeleng sambil menangkup pipi Zena sebentar. "Kalau lagi takut banget biasnaya sulit buat nangis." Zena mengeratkan genggam tangan suaminya. "Gak ada yang perlu ditakuti, kita harus berani melawannya justru kalau kita semakin takut malah mereka yang senang kalau kita ketakutan karena mereka. Aku agak tidak percaya Cala berulah mungkin dia lagi sombong ke kamu cumaj gelagatnya seperti mengancamu. Dia sudah hidup enak, apalagi yang kurang sama hidupnya? Temanku yang dulunya musuhku itu sudah sukses bisnisnya dan dia juga gak mau bermain curang kepadaku. Lawan jadi teman." "Aku salut sama kamu, Mas. Orang yang kamu musuhi bisa jadi temanmu." Zena menyunggingkan senyumnya lebar. "Daripada teman jadi lawan itu lebih menyakitkan." Pandu mencium tangan istrinya sekilas. "Benar." Zena terkekeh pelan begitupula dengan Pandu. Ketika sudah sampai di ruang makan, Salma buru-buru menghampiri bundanya. "Bunda tidak apa-apa kan?" tanya Salma panik sedangkan Pandu sudah duduk di meja makan bersama yang lain. "Bunda baik-baik saja, ayo makan malam!" Zena membelai rambut putrinya dan tersenyum sahaja. "Kata Juna, bunda tadi ketemu oramg jahat dan dia mantannya ayah. Dia mah rebut ayah ya?" Rasa penasaran Salma sangat tinggi kalau sudah menyangkut ada seseorang yang menganggu keluarganya. "Eh enggak kok, dia cuman mau mengundang bunda ke pestanya. Juna ih jangan ngada-ngada." Zena menatap Juna. "Soalnya bunda kayak was-was begitu." Juna menimpali ucapan kakaknya. "Sudah sudah tidak ada apa-apa kok. Bunda mau siapin makan malam dulu." "Aku bantu." Salma berjalan cepat dan membantu bundanya. Di sisi lain... "Papa benar-benar setia kan? Gak selingkuhi bunda?" tanya Juna kepada ayahnya. "Enggak, bunda udah cukup." Pandu menggelengkan. Padahal Zena itu bukan mengkhawatirkan dirinya berselingkuh melainkan anak-anaknya jika berdekatan dengan seseorang yang menurutnya jahat. "Ayah sayang banget sama bunda kan?" "Iya, Nak." "Aku gak mau jadi anak broken home, teman-temanku banyak yang jadi broken home. Ayah sama bunda baik-baik saja kan?" Juna takut membayangkan keluarganya hancur karena wanita asing tadi. "Enggak, Juna. Jangan memikirkan hal buruk ya, ayah sama bunda itu maut yang memisahkan bukan orang lain." Pandu mengulum senyum simpul. Zena dan Salma melangkah ke ruang makan dan mulai menata makan malam di meja. "Bunda." "Iya, Juna?" Zena baru saja duduk di tempatnya. "Bunda sekarang lagi mengkhawatirkan ayah selingkuh sama wanita tadi bukan?" Dahi Zena berkerut bingung sebab ia memikirkan anak-anaknya saja bukan suaminya dan pertanyaan Juna sungguh menggelitik perutnya. Ia melirik suaminya yang juga menatapnya bingung. Putranya memang masih polos tapi dari sorot matanya saja sudah menunjukkan ketakutan besar tentang keluarganya. "Bunda tidak khawatir ayahmu selingkuh atau tidak. Bunda juga tidak akan menangis dan mengemis ke ayahmu. Kurang apa bunda ke ayahmu? Kalau masih kurang itu tandanya ayahmu tidak bersyukur memiliki bunda." Zena sudahlah menjalani rumah tangganya selama bertahun-tahun, awal kehidupan rumah tangganya dimulai pun dirinya akui hanya wanita lemah dan mudah luluh. Tapi setelah anak-anaknya sudah beranjak dewasa, sudah tidak ada gunanya lagi menjadi wanita lemah dan di era sekarang harus menjadi wanita kuat demi anak-anaknya. "Ayah bersyukur memiliki bunda dan kalian. Hadeh sudahlah jangan bahas soal selingkuh ya. Ayah sudah tua dan gak mau berulah aneh-aneh lagi. Yang ayah fokuskan sekarang itu menabung buat masa depan kalian nanti dan ayah gak mau kalian semua merasa kekurangan. Karena rezeki ayah itu ada yang membahagiakan keluarga kita ini," ujar Pandu yang tetap pada prinsipnya setelah diberikan kesempatan oleh Zena untuk berubah di masa lalu. Ia sudah merasakan cukup hidup bahagia bersama keluarga dan tidak mau merusak kebahagiaan ini hanya karena rasa egois semata. "Ya sudah ayo makan malam, bunda tadi masak banyak sih. Nanti kalau ada sisa diberikan ke satpam atau orang-orang di depan perumahan sana ya." "Iya, Bun." Ketika mereka sibuk mengobrol, Silma hanya diam saja dan fokus pada ponselnya. Ia masih sebal terhadap bundanya yang menurutnya terlalu mengekang hidupnya. ... Mobil lambo berwarna kuning berhenti sempurna di depan gerbang rumah bercat biru. Malvin keluar dari mobil milik kakeknya dan berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya, sebelum itu gerbang terbuka otomatis karena ada kamera yang menangkap wajahnya dan gerbang ini bisa terbuka sendiri hanya khusus untuk keluarga Leander. Raut wajah merah padam dan emosinya membuat pikirannya menjadi kalut. Bahkan ia juga menabrak pembantunya, pembantunya hampir jatuh tapi Malvin menyelonong begitu saja tanpa mengatakan permintaan maaf. Mendengar suara seseorang yang dikenalnya, buru-buru Malvin datang ke bar yang dekat dengan ruang makan. Begitu sampai di sana, Malvin langsing mencengkram kerah leher sosok laki-laki yang membuat orang tuanya sudah tidak peduli kepadanya. Laki-laki yang seumuran dengannya, namun Malvin enggan menganggap orang itu keluarga bahkan laki-laki di depannya ini sudah dianggap racun baginya. "Lepas!" Kiky berjinjit dan mencoba melepaskan kepalan tangan Malvin yang mencengkram kerahnya begitu kuat. "Katakan dengan jujur, kalau lo punya hubungan khusus sama Salma dulu!" Kilatan amarah terpancar dari sorot mata Malvin. "Salma?" Kiky kaget mendengar nama sahabatnya disebutkan oleh Malvin. "Dia emang sahabatku dari kecil. Lo kenal sama Salma?" "Iya." "Tolong lepasin." "Enggak sebelum lo bilang gak mau lagi ketemu sama Salma." Malvin menggeleng cepat dan makin mencengkram kerah Kiky. "Gue emang pengen ketemu sama dia!" Brak' Malvin mendorong Kiky hingga lelaki itu terjatuh ke lantai. "Argh!" Kiky memegang kakinya yang saat ini diinjak oleh Malvin. "Lo benar-benar perusak kebahagiaan gue ya! Lo mau rebut semuanya dari gue ya! Mulai dari orang tua sekarang Salma, belum puas lo bikin gue hancur!" teriak Malvin, amarahnya membludak mendengar ucapan Kiky yang ingin menemui Salma. "Gue gak ada maksudnya merebut kebahagiaan lo, Malvin." Kiky meringis kesakitan, salah satu kakinya diinjak kuat oleh Malvin. " Gak usah sok baik ke gue! Lo dari dulu bikin gue muak! Kenapa lo ada di sini!" Urat-uray dileher Malvin terlihat jelas dan suara Malvin makin meninggi. Malvin menggeret paksa Kiky supaya berdiri dan satu bogeman mentah sudah membuat ujung bibir Kiky terluka. Kiky memegangi pipinya dan tidak hanya fisik yang terluka melainkan hatinya juga. Ini pertama kalinya dalam seumur hidupnya mendapat perlakuan buruk dari seseorang. "MALVIN!" Seseorang datang langsung menghajar Malvin, mengetahui Malvin baru saja menyiksa Kiky. "Masuk ke kamarmu atau aku hukum!" Ander marah besar, baru saja pulang dari kantornya langsung disungguhi pemandangan yang membuatnya naik pitam. Celine juga tiba saat mendengar suara keras berasal dari tempat ini. Ganti Malvin memegang pipinya yang juga baru terkena pukulan dari Ander. Malvin menatap nyalang ke Kiky yang tengah dipeluk oleh Celine. Ini adalah hal yang dibencinya dimana ada orang asing yang merebut semua perhatian orang tuanya. Sampai kapan pun, dirinya tidak menerima kehadiran Kiky di dalam hidupnya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN