Part 8
Salma merogoh saku celananya dan mengambil selembar uang seratus ribu lalu disodorkan ke Malvin. Malvin hanya menatap saja itu dan tidak paham maksud gadis di hadapannya.
"Apa itu?" tanya Malvin dan tidak menerima sodoran uang dari Salma.
"Gue beli satu botol."
Malvin pun pahma lantas tertawa terbahak-bahak mendengar maksud dari Salma baru saja.
"Gue serius!" Sentak Salma yang makin kesal saja karena cowok itu malah tertawa.
"Gue bukan dagang ya." Malvin enggan menerima uang dari Salma seraya menggelengkan kepalanya.
"Gue lagi haus dan gak kuat lagi jalan mencari minuman." Salma merasa capek berdiri terus akhirnya duduk di bangku yang berada di belakangnya.
Tatapannya sesekali tertuju pada botol-botol mineral yang berjejer rapih di bangku sebelahnya. Ia merasa sangat haus sekali dan sangat ingin air putih tersebut.
"Ouh haus banget ya?" tanya Malvin yang kini memasang wajah sok peduli dan khawatir pada Salma padahal dihatinya berniat menggoda gadis itu yang sudah menjadi kesenangan sendiri baginya.
Salma mengangguk cepat dan memegangi tenggorokannya.
"Boleh aja sih ambil--"
Salma segera menjulurkan tangannya akan mengambil salah satu botol mineral namun Malvin dengan cepat menahan tangan Salma.
"Katanya boleh." Salma berdecak kesal sembari menghentak tangan Malvin yang berani-berani memegang tangannya.
Salma pun mengusap bekas tangan Malvin ditangannya sendiri dan menatap tak suka pada cowok yang tengah tersenyum lebar ke arahnya.
"Ada syaratnya."
"Ck! Syarat lagi!" Salma geregatan sendiri, cowok itu seperti sengaja membuatnya dehidrasi nantinya.
"Paati dong."
"Apa? Jangan kalau mangg---"
"Bukan itu, ada yang lain sih syaratnya." Malvin tersenyum miring penuh arti.
"Besok, lo harus baik sama gue dan bareng gue terus."
"Gila! Gah gue gak mau!" teriak Salma tertahan disertai batuk-batuk kecil karena kering saja tenggorokannya.
"Ya sudah, silakan aja sekarat di sini." Malvin mengedikkan bahunya acuh dan pandangannya sekarang ke depan. Menatap teman-temannya yang tengah bermain skateboard bersama di sana walau mereka juga mencarinya dan pasti pada menanyainya tapi mereka menghargai dirinya yang saat ini bersama seseorang itu tandanya mereka tidak akan mengganggunya ke sini.
Salma mati telak dan tidak ada jalan lain selain menuruti syarat aneh cowok itu.
"Baiklah, tapi kayaknya besok kita gak sekelas. Semoga aja sih."
"Kita sekelas lagi," sanggah Malvin.
"Sekelas? Lo yang ngarep."
"Enggak tuh, gue tau sendiri. Lo kan tau kalau gue---"
"Iya ya, cucu dan anak pemilik sekolah. Gitu aja sombong amat."
"Iri? Bilang bos. Terus beneran ini mau menuruti syarat dari gue?" tanya Malvin lagi untuk memastikan.
"Ah iya ya, lagian lo kan gak suka sama gue dan pakai syarat barengan besok. Oh apa mungkin lo yang suka sama gue? Bilang aja deh lo yang ngefans ke gue kan?" Salma menatap Malvin yang mengambilkan bahkan membuka tutup botol mineral lalu diberikan kepadanya.
Malvin duduk kembali di sebelahnya dan menatap Salma yang tengah menegak habis botol mineral pemberian darinya. Gadis itu benar-benar kehausan saat ini.
'Salma lucu juga ya kalau lagi marah, gak bosenin pula dan rasanya senang membuatnya kesal begini'--komentar Malvin tentang Salma di dalam hatinya.
'Ngapain si munyuk lihatin gue? Dari kemarin juga? Dia suka sama gue kah? Ah palingan fans gue'--pikir Salma ketika merasa ditatap terus oleh Malvin.
"Fans lo? Lo mungkin yang fans gue."
Salma yang baru saja selesai minum lantas membalas,"Terus ngapain syaratnya barengan pula? Kan lo gak suka sama gue."
"Emang barengan apa yang lo pikir hah?"
"Masih kurang jelas apa sih? Jelas-jelas lo kelihatannya suka sama gue makanya ngebet pengen gue baikin dan pengen lo bisa dekat sama gue karena gue gak bisa menghindar gara-gara syarat konyol lo itu." Napas Salma mulai menggebu-gebu dan emosinya seakan ingin diledakkan namun sadar ini adalah tempat umum serta banyak orang pula di taman ini. Jika di tempat sepi mungkin Salma akan menghajar lelaki itu habis-habis tapi lagi-lagi teringat bahwa tak boleh sembarangan menggunakan keahlian bela dirinya kepada seseorang yang memang bukan penjahat.
"Idih kepedean deh lo." Malvin menirukan gaya bicara Salma sampai raut wajah gadis itu ketika marah kepadanya.
Salma mendelik melihat tingkah Malvin yang menurutnya dengan nada suaranya yang mengejek sekali.
"Gue ingin besok kita barengan hanya di sekolah doang dan lo tau apa yang gue inginkan? Gue ingin lo jadi babu gue besok."
"Asem kowe!" Salma reflek menepuk keras bahu Malvin hingga lelaki itu meringis sakit.
"Enak aja jadiin gue babu, cuman gara-gara satu botol mineral doang. Kayak gak ada harga dirinya deh gue itu di depan lo." Salma beranjak berdiri dan tangannya terkepal kuat. Gadis itu menghadap ke Malvin yang juga ikut berdiri.
"Kalau lo begitu, lo sama aja mengingkari perjanjian kita tadi."
"Tapi gue gak suka sama syarat lo yang jadiin gue babu, harga diri gue itu tinggi ya. Gue gak terima direndahkan kayak begitu, lo pikir lo siapa? Tuhan?" Salma mengangkat dagunya dan bersedekap d**a.
"Bukan itu maksud gue. Gue cuman ingin lo baik deh, sudah gitu doang dan gak jadi yang soal babu-babu tadi. Maaf." Malvin pun menyikapinya dengan serius karena Salma sangat marah sekarang.
"Tapi gue mohon, lo bisa tepati janji kita tadi." Lanjut Malvin.
"Ck! Iya."
"Baiklah, besok ya! Harus baik sama gue dan gue ingin denger suara lo yang lembut kayak kemarin!" Malvin pergi berlari menjauh dari Salma dan berteriak kegirangan tak sabar menyambut hari esok.
"Ngeselin." Salma pun duduk dan mengambil botol mineral lagi lalu diminumnya. Tak peduli dikata maling yang terpenting sekarang meredamkan emosinya.
"Astaga skateboard itu begitu menggoda gue deh." Salma menggigit bibirnya bawahnya memandang Malvin dari jauh yang sedang menunjukkan kepiawainnya memainkan skateboard dan diiringi sorakkan dari teman-temannya.
"Orang yang main apa skateboardnya yang menggoda, errhmm dua-duanya juga. Eh apa sih? Gue kok jadi gak waras begini." Salma menampar pipinya sendiri saat sadar terlalu lama memandangi lelaki itu bermain skateboard bahkan terus memberikan pujian pada Malvin yang jelas sosok orang yang dirinya benci gegara kelakuannya yang membuatnya emosinya perlahan memuncak.
Salma gelapan saat Malvin menangkap basah dirinya yang sedang memperhatikannya sedari tadi dan gadis itu merasa gugup tatkala Malvin malah menghampirinya dengan memainkan skateboardnya.
"Keren kan gue?" Malvin mengusap hidungnya sendiri dengan jempolnya.
"Gak ada keren-kerennya." Salma membuang pandangannya ke arah lain.
"Halah bilang aja kalau terpana, tadi natap gue gitu amat dan artinya lo mulai suka sama gue. Bentar lagi gue berhasil buat lo suka sama gue."
"kayak kurang kerjaan aja deh lo, bikin gue suka sama lo? Mana mungkin bisa."
"Bisa lah, gue gitu lho." Malvin tertawa pelan sembari menjulurkan tangannya di hadapan Salma.
"Apa?" Salma menatap tangan Malvin heran dan sebelah alisnya terangkat.
"Ayo gue ajak main skateboard."
"Gak mau, gue gak bisa main begituan."
"Gue ajarin."
"Lo kan gak suka dekat sama gue, aneh banget deh hari ini malah ngajak gue main skateboard." Salma masih tak percaya pada sikap cowok itu, bukankah dari kemarin-kemarin Malvin tak menyukainya?
"Gue mumpung gak ada kerjaan sih dan gue sengaja deketin lo karena gue ingin bikin lo suka sama gue seperti kata gue kemarin di kamar mandi." Malvin mendedipjan sebelah matanya dan tersenyum lebar.
"Halah percuma lo deketin gue begitu, gak mempan sama sekali dan gur bukan cewek yang mudah baper."
"Ah masak? Ya sudah buktikan kalau lo gak mudah baper tapi lo malah justru menghindar gue dekatin sekarang. Jadi kelihatan kan lo takut banget jilat ludah sendiri." Malvin mengatakan itu sebenarnya dibaliknya adalah membujuk Salma agar menerima ajakan darinya.
"Oke, gue buktikan." Dan benar, Salma langsung mau menerima ajakannya dan Malvin tersenyum kemenangan di dalam hatinya.
'Ck, dia skakmat gue'--jerit Salma di hatinya.
...
"Gue cuman bisa dorong-dorong gini doang."
"Ya tidak masalah kok, namanya juga pemula." Malvin juga ikut-ikutan seperti Salma.
"Lo kok malah ikut-ikutan kayak gue, bukannya ngajarin gue." Bibir Salma berkedut, menahan agar tawanya tak meledak melihat ekspresi lucu dan polosnya Malvin saat ini.
"Sebenarnya sih, gue gak bisa ngajarin." Malvin menghentikan langkahnya dan menggosok lehernya.
"Terus kenapa sok-sokan mau ngajari gue, percuma dong?" Salma mendengus kesal dan matanya tertunduk menatap skateboard yang juga milik Malvin. Cowok itu membawa banyak skateboard di mobilnya dan Salma sempat melihatnya tadi sewaktu ikut ke parkiran taman kota tersebut.
"Enggak papa, gue ingin lo juga bisa main ginian dan nanti kalau lo bisa kan bisa-bisa sendiri. Gue dulu begitu terus kita bisa tanding," ucap Malvin yakin bahwa Salma bisa memainkan skateboard kedepannya.
"Yakin gue bisa? "
" Iya. Ayo main lagi!" ajak Malvin pada Salma.
"Ya sudah gue minta ajarin temen lo yang bisa deh."
"Enggak!" Tolak Malvin keras dan tangannya langsung memegang lengan Salma erat.
"Eits, gak boleh pegang-pegang!" Salma menepis tangan Malvin.
"Hanya sama gue dan jangan pernah ke sana!"
"Aneh banget." Salma merasa bingung melihat perubahan sikap Malvin kepadanya dan wajah Malvin seolah tak rela dirinya meminta belajar ke temannya.
...
" Akhirnya Pandu, kita bisa bertemu lagi."
"Iya, aku juga banyak waktu luang untuk akhir-akhir ini. Silakan duduk!" Pandu tersenyum ramah menyapa balik temannya yang baru saja tiba ke cafe.
"Apa kabar, Ndu?"
"Aku baik, Tama. Kamu datang sama anakmu ya? Wah Alfa sudah besar." Pandu melihat seorang lelaki remaja menyusul Pratama alias Tama di bangku cafe yang mereka berdua tempati.
"Papi." Alfa memanggil Tama dan Tama menyuruh putranya duduk di sebelahnya.
"Iya, sudah besar dan anakmu juga kan pastinya. Mereka seumuran." Tama mengangguk dan melihat putranya menyalimi Pandu.
"Iya si kembar sudah besar. Putramu tampan sekali, pasti pintar kayak bapakmu ya." Pandu memuji Alfa, memang wajah Alfa menurun dari ibunya dan Pandu masih mengingatnya.
"Pintarnya nurun dari aku kalau wajahnya dari ibunya." Tama sudah menebak isi pikiran Pandu.
"Haha sudah ketebak." Pandu tertawa pelan.
"Si kembar siapa ya? Silma kah?" tanya Alfa yang belum paham.
"Astaga, kamu tidak tau kalau Om Pandu ini ayah dari Silma dan Salma, teman SMPmu dulu."
"Ah jadi Om Pandu ini ayahnya, kok aku baru tau." Alfa menggaruk rambutnya dan berusaha berpikir keras.
"Maklum, aku tidak pernah muncul ke publik dan tertutup. Bukan hanya kamu saja, semua orang tidak tau. Memang aku sengajakan karena mereka tidak mau dikenali kalau mereka itu anakku. Silma dan Salma ingin hidupnya dikelilingi teman yang tidak memandang derajatnya. Semua orang pasti hanya tau aku memiliki anak kembar tapi tidak dengan wajahnya dan meteka cuma tau Juna saja yang nantinya dia pewaris besar perusahaanku."
Alfa tercengang, sosok di hadapannya ini adalah pengusaha sepatu yang sudah terkenal nama merek sepatunya dimana-mana bahkan Alfa sendiri juga memiliki banyak sepatu dari merek 'ZiZaC' -- merek sepatu perusahaan Pandu.
'Kenapa Silma tidak mengatakan ini? Tapi keputusan juga bagus biar dia tidak dikenali anak dari pemilik sepatu terkenal di negara ini. Gue kagum sama keputusannya, supaya dia dikelilingi teman yang tidak memandangnya dari derajat'--ucap Alfa dalam hatinya.
"Kok bisa semuanya tidak mengenali sih, Ndu? Anakku jadi bingung." Tama tertawa meledek anaknya yang mungkin masih kebingungan.
"Iya, sudah kuatur sangat rapih sekali. Orang-orang hanya tau wajah si kembar masih kecil saja." Pandu menyesap kopi susunya.
"Oh begitu, ya kalau menurut lo bagus ya bagus aja." Tama mengangguk.
"Kamu kerja dimana sekarang?" tanya Pandu penasaran pada Tama.
"Kerja di perusahaan makanan."
"Musuhnya istriku dong."
"Lho istrimu juga punya perusahaan?"
"Punya, dia memegabg kendali perusahaan milik ibukku."
"Kan yang musuhan itu pemiliknya bukan aku guys."
"Haha benar juga."
Pandu melirik Alfa yang diam saja. "Alfa, SMAmu dimana?"
"SMA Louwis," jawab Alfa.
"Oh satu sekolahan sama Silma dong? Sudah bertemu?"
"Emm iya, tapi saya tidak bertemu." Alfa berbohong pada Pandu namun jika berkata terlalu jujur nantinya Silma akan marah kepadanya karena Alfa sedari tadi menunggu balasan chat dari Silma yang tak kunjung segera dibalas. Sebelumnya Alfa berniat bertanya kepada Silma.
"Ketemu dong dan ajak berteman akrab. Anakku Silma itu tak pandai bergaul bahkan menangis karena tidak satu sekolahan sama Salma," jelas Pandu.
"Menangis?" beo Alfa.
"Iya, dia menangis ketakutan. Ya gimana lagi juga, aku tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menyatukan mereka di sekolah yang sama. Aku tidak mau begitu."
"Di saat yang lain banyak melakukan kecurangan, kamu malah jujur, Ndu." Tama bertepuk tangan sebentar.
"Sudah kebiasaan, itu sifat dari Zena dan aku ikut-ikutan hampir semua sifat yang dimiliki istriku."
"Untung saja kamu mem--"
"Ada anakmu, jangan bercerita tentang masa laluku. Aku malu sama anakmu, Tama." Pandu terkekeh lalu menyesap kembali kopi susunya.
"Ah iya deh." Tama sadar ada putranya di sebelahnya.
"Om Pandu," panggil Alfa pada Pandu.
"Iya?"
"Mungkin besok saya mau mencari keberadaan Silma dan mengajaknya berteman."
"Baguslah, dengan begitu Silma tak merasa kesepian di sekolah." Pandu mengangguk mantap.
"Iya, Om."
...