Part 9
Alfa: aku gak jadi marah kalau kamu mau kujemput hari ini
Alfa: aku berangkat menunggu balasan pesan ini darimu
Pesan Alfa sudah dari beberapa menit yang lalu dan Silma masih belum ada niat membalas pesan tersebut.
"Sil, lo kok gugup banget? Kenapa?" Bisik Salma yang duduk di sebelahnya dan menatap heran pada Silma. Tentunya Salma merasakan apa yang dirasakan Silma karena keduanya memiliki ikatan batin yang kuat meski terkadang suka menepis perasaan tidak enak di antara mereka.
Pagi ini keluarga Pandu sedang sarapan pagi dan hanya Salma lah yang menyadari gelagat aneh Silma yang bolak-balik melirik ponselnya yang layarnya menyala beberapa kali tanpa suara.
"Emm." Silma akan berbohong tapi saat Salma menatapnya tajam membuatnya jujur.
"Alfa kekeuh ingin jemput gue," bisik Silma pada adiknya.
"Emang dia sudah tau siapa keluarga kita?" tanya Salma kepo.
"Enggak, kan belum waktunya semuanya terungkap kalau kita anak dari pengusaha sepatu. Gue gak mau dia tau sih, terus gimana dong ini?"
"Silma, Salma jangan mengobrol di saat sedang makan. Diselesaikan dulu makannya baru mengobrol lagi." Pandu menegur si kembar yang berisik di ruang makan.
"Iya, Yah. Maafin kita." Mereka kompak bersuara.
Pandu membalasnya dengan anggukkan saja.
"Kalian gosip ya." Juna menatap kakaknya di seberang bergantian.
"Apa lo?!" Salma melototkan matanya.
"Hihi galak amat deh, cepat tua tauk!" Juna mencibir kakaknya.
"Sudah sudah. Makan dulu diselesaikan."
Selesai sarapan, Salma menghampiri Silma yang tengah berada di ruang tamu dan nampaknya baru saja memakai sepatu.
"Terus gimana, Sil? Dia masih kekeuh ingin kemari?" tanya Salma yang ikut cemas menatap kakaknya.
"Emm iya, Sal. Gimana ini?"
"Gimana ya? Pikir dulu deh." Salma pun berpikir keras membantu mencarikan solusi untuk kakaknya.
"Aha gue punya ide nih!" Salma menjentikkan jarinya ketika ide sudah menancap di kepalanya.
"Apa Sal?"
"Lo mau aja deh dijemput sama dia tapi di depan perumahan."
"Ah itu mah sama saja, dia inginnya jemput gue di rumah."
"Cowok lo nyusahin emang ya, huft." Salma mencebikkan bibirnya sebal.
"Silma, Salma kok gak berangkat-berangkat? Pak sopir sudah nungguin di depan lho." Zena menghela napasnya baru mengetahui dua putrinya itu masih di ruang tamu padahal tadi sudah sama-sama pamit akan pergi ke sekolah sedangkan Pandu dan Juna sudah berangkat duluan.
"I-iya, Bunda." Mereka buru-buru keluar rumah lalu masuk ke mobil.
Namun ketika sudah keluar dari area perumahan, Salma menyuruh sopirnya berhenti sebentar dan mobil mereka berhenti di pinggir jalan serta tak jauh dari perumahan.
"Jadi nggak? Nanti marah lho si Alfamar*t itu kalau lo abaikan." Salma memegang pundak Silma.
"Tapi dia gak marah kalau gue suruh jemput di sini?" tanya Silma balik.
"Enggaklah, ya bilang aja lo gak boleh pacaran jadi takut kalau bawa pacar ke rumah."
"Alfa teman kita SMP kan?" lanjut Salma.
"Iya, teman kita SMP dan ini sudah gue balas. Gue bilang suruh jemput di sini aja, tapi lo jangan jalan dulu."
"Enggaklah, gue suruh sopir kita ikutin lo lah sampai selamat ke sekolah dan gue lega aja sih."
"Dia mau nih." Silma menunjukkan ponselnya pada Salma tentang chatannya dengan Alfa.
"Pacar lo gak nanyain kenapa gitu?"
"Iya, kemarin juga nanyain begitu. Tapi setelah Alfa pikit panjang, dia mau menerima keputusan gue ini buat sembunyiin aja hubungan ini di belakang orang tua. Lo tau sendiri kan kalau ayah sama bunda melarang pacaran ke kita," ucap Silma.
"Iya sih, tapi ya gak baik kalau ditutup-tutupi."
"Tapi gue ingin menemukan kebahagiaan lagian bunda sama ayah sekarang sudah sibuk banget dan waktu luang bersama keluarga saja jarang sekali. Gue ingin dipedulikan lebih dan dari pacaran ini gue merasa diperhatikan sama seseorang yang sudah spesial di kehidupan gue yang sekarang. Gue seneng banget." Saking senangnya Silma memeluk adiknya erat dan mencium pipinya.
"Ih ngapain sih cium-cium segala!" Salma mengusap bekas kecupan singkat dari Silma.
"Itu tandanya seorang kakak yang sayang sama adiknya ini yang pintar banget." Silma mencubit gemas pipi Salma.
"Seneng sih seneng tapi jangan bikin gue sengsara sih." Salma menjaga jarak dari kakaknya yang tak bisa diam saat ini.
"Iya ya, maaf sayangku." Silma cekikian kemudian gadis itu keluar dan Salma memperhatikan kakaknya.
Salma tak mau kakaknya kenapa-napa sejak mereka sudah beda sekolah. Hati Salma sebenarnya juga tidak tenang namun melihat raut wajah kakaknya yang bahagia membuatnya sedikit merasa lega. Apalagi diketahui, Alfa juga sosok laki-laki sabar dan romantis.
'Kalau memang Silma bahagia sama dia, ya sudah gue jadi sedikit merasa ringan karena di sekolah ada yang menjaga kakak gue. Ya semoga saja si Alfa itu bisa menjaga kakak gue dengan baik dan hubungan mereka baik-baik saja'--batin Salma tatkala melihat Alfa yang baru tiba di seberang jalan sana dan kakaknya itu menghampiri Alfa dengan tawa riang penuh kebahagiaan.
...
"Terima kasih, Alfa." Silma menyengir kuda saat Alfa melepaskan helmnya dan rambutnya sekarang.
"Sama-sama, cantiknya pacarku." Alfa merangkul Silma dan membawakan tas Silma di bahunya. Mereka berjalan beriringan menuju papan pengumuman yang dikerumuni hanyak orang.
Alfa dan Silma yang malas untuk melihat papan pengumuman kelas resmi mereka lebih memilih duduk di tempat duduk yang berbentuk melingkari pohon jambu yang besar. Mereka menunggu agak sepi menuju ke sana. Letak papan pengumuman berada di depan ruang guru.
"Sil." Alfa meraih tangan Silma pelan.
"Iya?" Silma menoleh ke Alfa.
"Beneran kamu gak mau mengakui kalau kamu sedang berpacaran ke orang tuamu?"
"Iya, Alfa. Maaf ya, aku dilarang berpacaran."
"Tapi kalau aku mau main ke rumahmu dan aku memperkenalkan diri sebagai teman. Boleh dong?" tanya Alfa yang ingin mendengar respon Silma tentang permintaannya tersebut.
"Emm." Silma bingung menjawab sebab Alfa masih ingin berkunjung ke rumahnya padahal Silma enggan memberikannya akses pada lelaki itu.
"Boleh ya?"
"Maaf, Alfa. Tapi aku gak bisa." Salma menggelengkan kepalanya dan menunduk sembari memainkan tangan Alfa yang lebih besar ukurannya darinya.
"Gak bisa ya? Ya sudah deh, tapi besok-besok kalau ada waktu nantinya aku ajak kamu main ke rumahku." Alfa tersenyum masam tanpa diketahui Silma.
"Orang tuamu galak kah?" tanya Silma khawatir.
"Enggak, dijamin deh kamu bakalan nyaman di rumahku." Alfa tertawa kecil.
"Oh masak?"
"Oh iya?"
Silma tertawa dan menepuk pundak Alfa beberapa kali.
"Oh ya, Sil." Alfa menangkap kedua tangan Silma dan digenggamnya.
"Hmm?" Silma mengulum senyumnya simpul.
"Lo anggap gue penting tidak dikehidupan lo?' Raut wajah Alfa berubah serius dan Silma terkesiap mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut kekasihnya.
"Iya dong, kan Alfa itu kebahagiaan gue sekarang."
"Oh begitu. Jadi ada gak yang lo sembunyiin dari gue?" tanya Alfa lagi.
"Kenapa lo nanya begitu?" Silma merasa tersudutkan saat ini.
"Ya nanti lo nanya balik ke gue soal itu juga gue bakal jawab kok."
"Emm, gue mau ke papan pengumuman itu ya. Kurasa kamu lagi ditungguin sama temanmu deh, lain kali aja jawabanya." Silma segera beranjak berdiri.
"Sil, apa susahnya menjawab pertanyaan dari gue tadi?" Alfa menahan Silma agar tidak pergi.
"Maaf, Alfa. Tidak untuk waktu ini." Silma melepas pegangan tangan dari Alfa.
"Sil."
"Jangan paksa aku, aku tidak mau dipaksa. Kalau aku sudah bilang gak mau menjawab ya sudah, tolong ngertiin aku." Silma pun berlalu pergi, meninggalkan Alfa yang termenung sendiri di sana.
...
Salma berjalan gontai menyelusuri koridor sambil sesekali membaca nama kelas yang terletak di pojok pintu atas sebelah kanan. Sebelumnya, Salma harus berebut posisi di depan saat membaca pengumuman di mading yang letaknya di lapangan basket.
"Sialan tadi, gue kena cakar. Aish perih bet." Salma memegang lengannya yang tercakar murid siswi saat membaca pengumuman di mading.
"Nah akhirnya nemu deh." Salma langsung masuk ke kelas yang tertera nama 10 IPS 3.
"Yeay sepi, bisa milih dong. Gak sia-sia deh berangkat pagi." Salma akhirnya memilih bangku kesayangannya yang letaknya di belakang pojo dekat jendela koridor.
"Sueneng banget gengs." Salma menyenderkan punggungnya di kursi dan mengeluarkan ponselnya untuk mengabari kakaknya.
Belum ada balasan dari Silma, Salma pun bermain game sambil bernyanyi fals.
Tak lama kemudian, merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya membuat Salma seketika menegaknya duduknya dan menatap tajam sosok lelaki yang tiap harinya bikin dirinya emosi.
"Kenapa lo duduk di sini? Cukup waktu MPLS doang!"
"Enggak dong, gue emang nyaman duduk di sini." Malvin Anjello Leander biasa dipanggil Munyuk oleh Salma duduk dengan santainya di sebelahnya dan kedua kakinya di letakkan di atas meja.
"Lo suka cari gara-gara ya sama gue? Duh bangku gue jadi kotor ih." Salma menepuk kaki Malvin beberapa kali sampai lelaki itu menurunkan kakinya.
"Sakit tau pukulan lo itu." Malvin mengusap kakinya yang panas karena pukulan maut dari Salma. Gadis itu begitu kuat sekali dari kemarin saat memukuli tubuhnya.
"Sudah tau kan sakit jadi jangan cari-cari masalah sama gue! Gue ingin tenang, ngapain sih bisa sekelas lagi sama lo! Lama-lama gue bisa darah tinggi deh." Salma berdecal kesal dan berteriak tepat di sisi telinga Malvin membuat lelaki itu terlonjak kaget lalu mengelus dadanya.
"Astaga, teriakan lo bikin jantungan." Malvin menggeser duduknya agak jauh dan banyak tersiksanya dekat dengan Salma.
"Biarin! Pergi deh lo! Gue tadi gak baca ada nama lo di sana!" Salma berusaha menarik kursi yang diduduki Malvin tapi Malvin seolah enggan beranjak berdiri.
"Engh enggak mau, gue di kelas ini bareng sama lo pokoknya."
"Ini munyuk bikin rese' deh, minggir ini bangku gue!"
Teriakan mereka berdua mengundang banyak perhatian para murid yang satu-per satu memasuki kelas 10 IPS 3. Ada yang ingin bangkunya kembali dan yang satunya lagi ingin menetap di kelas ini. Sampai salah satu murid yang merasa jengah melihat ulah mereka lantas melaporkan mereka ke BK agar segera ditangani.
...