Part 31

1560 Kata
Part 31 "Sakit ayah." Silma meringis ketika lengannya diobati oleh sang ayah. "Bentar lagi selesai, Nak." Pandu menghembuskan napasnya pelan, jujur saja pemandangan tadi sangat menyesakkan dadanya. Sungguh ada rasa tidak terima anaknya diperlakukan buruk seperti ini tapi mau gimana lagi putrinya masih belum mau dikenal banyak orang. "Sudah jangan nangis." Pandu mengusap pipi Silma lalu membereskan kotak obat di meja. Tangan dan kaki Silma luka lecet sedikit. Tapi Silma merasa tubuhnya pegal sekali dibagian belakang karena menimpa rak sepatu yang diketahuinya berbahan besi. Mereka berdua berada di kantor. Dimana masih banyak beberapa barang yang berantakkan dan belum sempat dirapihkan oleh Pandu karena ia masih mengurusi pusat perusahaannya yang dekat dengan rumahnya. "Sil." Silma dan Pandu menoleh ke arah pintu tatkala terdengar suara Salma dari sana. Salma melangkahkan kakinya lebar dan memegang pundak Silma. Ia begitu khawatir sekali saat ini dan juga menemukan beberapa luka lecet di kaki dan siku Silma. "Gimana keadaan lo?" tanya Silma cemas. "Cuman luka dikit doang kok, duduk gih!" suruh Silma kepada Salma supaya duduk di sebelahnya. "Mereka sudah kerterlaluan kepadamu, ayah akan---" "Jangan ayah! Biarin, aku tidak apa-apa kok." Silma menggelengkan kepalanya cepat dan tidak mau ayahnya melakukan hal-hal yang tidak baik kepada Silvia dan gengnya. "Tapi kamu baru saja dicelakai. Sepertinya kamu saling kenal juga kan sama meteka? Salah satu dari mereka itu teman bisnis ayah." Pandu beranjak berdiri dan berkacak pinggang. Memikirkan tadi membuatnya amat kesal saja ditambah putrinya menolak ketika dirinya akan memberi pelajaran pada mereka. "Biarin ayah, sudahlah aku tidak apa-apa dan mereka memang satu sekolahan sama aku. Tapi aku tidak pernah bertemu sama mereka, kelas mereka jauh dari kelasku." Silma menggelengkan kepalanya lagi. Ia masih betah berbohong mengatakan semuanya. "Terus kalau tidak pernah bertemu, kenapa mereka bisa memperlakukanmu seolah-olah mereka sudah kenal sama lo?" tanya Salma heran. "Mereka memang terkenal suka berbuat onar di sekolah. Jadi mereka ya begitu tadi buat onar di toko, mau mencoba merebut sepatu yang sudah kubawa sedari tadi. Mereka suka cari masalah ke semua orang yang menurutnya orang itu lemah dan tidak sepadan dengan dirinya," jawab Silma yang agak takut-takut menceritakan sosok Silvia yang suka mencari masalah ke orang yang lemah dan dirasa di bawahnya. "Semena-mena banget deh tuh orang, gue pengen hajar mereka satu per satu." Salma geregetan dan tangannya terangkat meninju-ninju ke udara. "Salma, menghajar orang itu sikap buruk ya apalagi kamu cewek. Kalau memang tidak dalam kondisi yang membahayakan nyawamu, jangan dilakukan, mengerti?" tanya Pandu pada Salma yang ditegur agar Salma tidak melakukan hal-hal gegabahan. "Iya, Ayah," balas Salma meski rasanya ingin menyanggah namun di hadapannya itu adalah orang tuanya. "Terus bunda gimana? Haduh sampai lupa sama istri sendiri." Pandu menepuk jidatnya dan buru-buru membuka ponselnya. Padahal ponselnya sedari tadi digenggam dan karena tidak ada suaranya jadi baru tau kalau sudah dihubungi berulang kali oleh Zena "Salma yang mengatasinya ayah," ujar Silma, ia melihat Salma malah tiduran di atas sofa dan pahanya dijadikan bantal oleh adiknya tersebut. "Bundamu sekarang ada dimana?" "Ya masih dalam perjalanan lah, Yah." "Iya ayah tau, tapi di mana?" Pandu mencoba menghubungi istrinya namun tak direspon. Ia takut istrinya marah karena kelalainya padahal Pandu sudah janji akan menghubunginya terus sampai tiba di toko sepatu ini. "Sebentar lagi sampai, Ayah" ... Dari kejadian kemarin malam yang menimpa kakaknya. Salma menjadi kepikiran sampai hari ini dan percuma saja bertanya ke kakaknya karena selalu menjawab tidak mengenali mereka dan memang mereka suka berbuat onar. Namun Salma merasa memiliki firasat kuat kalau kakaknya itu punya masalah dengan mereka dan Silma mencoba menyembunyikan hal sebenarnya darinya. "Salma, kok melamun? Makanannya jadi dingin lho, tuh Juna sama Silma sudah mau selesai makannya." Tegur Pandu pada putrinya. "Iya, Yah." Salma mengangguk. "Kayaknya melamun banyak tugas itu, Yah." Nrimbung Silma. "Tapi Salma sekarang sudah jarang nakal ya," ucap Zena ikut menyahut. "Iyalah, peraturan di sekolahku ketat banget. Salah dikit kena," jawab Salma dengan mukanya yang masam. "Anakku satu ini sekarang takut dihukum." Pandu beranjak berdiri setelah sarapannya habis kemudian Zena menghampirinya dan merapikan pakaian kantornya. "Kenapa semuanya jadi meledekku begini?" Salma menghela napasnya pelan. "Sudah makannya dihabiskan, telat nanti kalau kamu bicara terus." Zena tersenyum sambil membuatkan s**u untuk putra tampannya yang masih suka manja. "Ayo Sal! Cepetin itu makannya." "Lo mau gue mati?" "Hus, bilang apa sih anak bunda ini." Setelah selesai membuatkan s**u untuk Juna, kini ganti membuatkan bekal untuk si kembar. "Bun, nasiku jangan banyak-banyak. Aku ingin beli jajan di kantin juga. Kalau kenyang banget kan gak bisa jajan," ujar Salma. "Ya bagus dong kalau gak bisa jajan, uangnya ditabung." "Aku masih ingin boros." Salma menjulurkan lidahnya, tapi tidak yang percaya kalau Salma itu boros sebab Salma emang pandai mengatur keuangannya sendiri. ... "Lo mau bareng sama Alfa?" tanya Salma kepo. "Iya, Sal. Biar cepat tiba di sekolah. Ini sudah siang lho, haishh lo ngapain tadi melamun terus!" Silma berdecak kesal dan menyalahkan Salma. "Suka banget salah-salahin orang, salahkan jamnya yang terlalu cepat." Salma mengedikkan bahunya acuh. "Lo itu yang lelet, Salma ya." Silma mendengus sebal. "Tuh pacar lo." "Berhenti, Pak!" Perintah Silma kepada sopirnya setelah tau pacarnya sudah menunggu di sana, tempat biasanya. Ketika mobil mereka sudah berhenti, Silma buru-buru keluar dari mobil dan tidak sabar ingin bersama kekasihnya. "Gitu ya kalau seneng, kalau mewek-mewek aja ke sini." Salma menggelengkan kepalanya melihat tingkah kakaknya yang sangat bucin sekali terhadap sosok Alfa. "Jalan, Pak." "Baik, Non." Sopir pribadinya kembali menjalankan mobilnya dengan kecepatan lumayan sedang. "Oh ya, Pak. Bapak pernah memberitahu ke ayah soal Silma yang berangkat sekolah bareng sama cowok?" tanya Salma penasaran pada sopirnya, ia tau pasti sopirnya itu juga paham apa yang dimaksudkannya. "Belum, Non. Non Silma punya pacar kah?" "Intinya jangan bilang ke orang tua kita kalau bapak masih mau jadi sopir kita." "Iya, Non." Sesampainya di sekolah, Salma memekik dari kejauhan melihat gerbang sekolahnya akan ditutup. Ia berlari sekencang-kencangnya dan tanpa disadari oleh Salma. Di sana Malvin menatapnya, Malvin juga melihat satpam yang diperintahkan gurunya untuk menutup gerbang sekolahan ini. Malvin pun memiliki ide lantas sengaja berdiri tepat di tengah-tengah gerbang. "Malvin ngapain kamu di situ?" tanya gurunya bersuara meninggi. Tapi Malvin mengabaikannya dan berjongkok. Ia berpura-pura menali sepatunya padahal tapi sepatunya sudah tapih dan pandangannya tertuju pada Salma yang sedikit lagi ke sini. Sengaja memposisikan jongkoknya menghadap ke arah dimana Salma tidak akan mengetahui kehadirannya di sana. Hos hos Napas Salma saat ini tidak beraturan tapi gadis itu lega bisa melintasi gerbang tanpa halangan dan Salma berjalan gontai menuju kelasnya. Ia masih belum menyadari siapa yang menolongnya sewaktu hampir tidak bisa masuk ke area sekolah pagi ini. "Salma." Sapa seseorang dari sampingnya, Salma menoleh sekilas dan sudah mengerti siapa orang yang selalu memanggilnya dengan suara seperti anak kecil memanggil ibunya. "Lo hampir telat tadi?" tanya Malvin berpura-pura baru tau. "Iya." Salma masih berusaha mengatur napasnya yang tersendat-sendat akibat berlarian. "Ini gue bawa handuk, masih bersih kok. Lo keringetan banget pagi ini." Malvin menyodorkan sebuah handuk berukuran kecil ke Salma, menyadari wajah Salma dipenuhi keringat. "Ini punya lo, gue pake. Terus lo pakai apa?" tanya Salma heran dan menerima handuk pemberian dari Malvin. "Gue gak mau pakai handuk warna merah muda. Gue nanti dibawain sama sopir gue." "Oh begitu. Gue mau ke kamar mandi deh." "Gue ikut." "Lo mau ikut?" Salma menatap tak percaya pada Malvin. "Gue kebelet." Malvin menyengir, sebenernya dia berbohong dan sengaja beralasan begitu karena ingin berada di sisi Salma. "Halah." Salma dan Malvin belok ke arah lain dan menuju ke kamar mandi yang tidak jauh juga. "Untung masih pagi jadi kamar mandi bersih." Malvin masuk ke kamar mandi lebih dulu. Salma hanya menggeleng dan masuk ke kamar mandi cewek yang bersebelahan dengan kamar mandi cowok. Merasa Salma sudah masuk ke kamar mandi, Malvin keluar dan menuju gadis itu di tempat duduk koridor yang masih area sini. ... "Aku baru sadar kalau tangan sama kakimu luka," ucap Alfa setelah memarkikan motornya lalu menghampiri kekasihnya yang menunggu di luar area parkiran khusus murid. "Ah ini luka lecet doang. Habis jatuh kemarin." Silma meringis, bukan merasakan luka ditubuhnya melainkan harus berbohong lagi ke Alfa. "Kamu habis jatuh? Jatuh dimana?" "Di rumah, kemarin lagi beres-beres eh aku gak sengaja nyenggol dan tubuhku juga oleng terus aku menimpa rak bukuku." "Hati-hati dong, sakit pasti ya." Alfa meraih siku Silma dan melihat luka lecet di sana. "Iya sih, tubuhku kan kurus kering begini dan mudah banget olengnya." Silma sengaja berkata begitu karena memancing Alfa dan mendengar respon dari lelaki itu soal tubuhnya. "Tubuhmu kurus dan makanmu banyak. Itu sama saja sudah turun temurun dari keluargamu, Silma. Biasanya bisa gendut kalau sedang hamil atau setelah melahirkan kan makannya super banyak juga. Entah kurus atau gemuk yang penting kamu itu sehat." Alfa membelai sebentar pipi Silma. "Iya, benar juga Alfa. Tubuhku soalnya B aja dibanding Silvia." "Kenapa harus menjelek-jelekkan diri sih? Tetap bersyukur aja. Kamu diberi kesehatan dan tanpa ada kekurangan fisik satu pun." Alfa menggandeng tangan Silma saat mereka berjalan beriringan. Alfa mengantar Silma sampai di kelasnya. "Iya, soalnya tubuh Silvia bagus. Berisi dan padat." Alfa menghembuskan napasnya berat dan tersenyum tipis mendengar ucapan Silma. "Karena dia hobbynya olahraga. Aslinya gendut. Biasa saja tubuhnya," balas Alfa. "Kalau dapetin tubuh bagus emang harus yang olahraga?" "Iya, Silma." "Aku pengen tapi aku hobbynya rebahan dan males banget olahraga. Pelajaran yang tidak kusukai juga olahraga." Silma mencebikkan bibirnya. "Ya sudah tidak usah dipaksa." "Emang kamu juga sering olahraga?" tanya Silma penasaran. "Tergantung kondisi tubuh. Paling sering ya hari minggu." "Ah begitu ya." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN