Part 32
Cinta awet karena bisa dipertahankan kalau gak bisa ya patah jadinya
- Malvin-
.
.
.
Salma keluar dari kamar mandi dan sudah di hadapan Malvin. Malvin berdiri di depan kamar mandi cewek.
"Lo ngintip ya?" Salma tersentak kaget dan Malvin malah menampilkan wajah tengilnya.
"Enggak."
"Terua ngapain berdiri di depan begini."
"Gue kan nunggu lo."
"Hayo kalian belum masuk kelas?" Dari kejauhan terdengar suara teriakan begitu keras dan itu berasal dari seorang guru BK yang bertugas keliling sekolah mencari murid yang berani membolos di waktu jam pelajaran berlangsung.
"Iya, Pak. Masih pacaran!" jawab Malvin asal dan hanya Malvin yang menoleh ke belakang.
"Si g****k!" Salma memukul bahu Malvin lalu berlari.
"Eh Sal, kok ninggalin gue!" Malvin pun mengejar Salma.
Setelah berhasil menjauh dari jangkuan guru BK, Salma menghentikan larinya dan memilih berjalan gontai.
"Lo mau gue keringetan lagu hah!" Bentak Salma yang makin kesal pada Malvin.
"Gue reflek jawab begitu tapi gue aminin deh kalau benar."
"Benar apa?"
"Beneran jadi pacar lo nanti." Malvin mengedipkan sebelah matanya.
"Ogah banget. Mit amit." Salma mengetuk dahinya lalu mengetuk ke dinding.
"Ih kok gitu sih? Gue berharap tinggi banget lo."
"Gue jatuhin." Sewot Salma justru yang membuat Malvin gemas sendiri.
"Gak bakalan bisa, kalau cinta tetap berjuang sebelum garis kuning melengkung," ucap Malvin tak mau kalah dan menjetikkan jarinya.
"Gue gak mau pacaran sama lo, mending jadi musuh lagian gue gak suka sama lo. Lihat lo aja bikin emosi terus."
"Cinta datang karena terbiasa. Lama-lama terbiasa sama kehadiran gue dan emosi itu jadi bucin."
"Ih jijik gue, bucin-bucin kayak gak ada kerjaan lain."
"Namanya juga kalau sudah cinta banget ke seseorang bakalan bucin."
"Kata pepatah yang gue pernah denger, jangan cinta berlebihan ke manusia dan sejatinya Tuhan bisa membolak-balikan hati kita. Lo cinta ke dia tapi cinta lo bisa berubah ke orang lain. Gue gak percaya sama apa yang namanya kesetian."
"Ya karena lo belum menemukan orang yang tepat jadi berkata begitu. Nanti kalau lo menemukan laki-laki yang tepat buat lo, kata-kata lo tadi lo musnahin sendiri. Karena gue percaya kesetiaan itu ada dan tergantung diri sendiri bisa mempertahankan kesetiaan atau tidak. Cinta awet karena bisa dipertahankan kalau gak bisa ya patah jadinya."
"Ya deh yang paling paham soal cinta-cintaan, gue mah malea mikir ke situ dan gue pengen seneng-seneng. Gue mau merasakan cinta karena cinta bisa bikin hati gue terluka nantinya."
"Jangan berpikir seperti itu, semua yang terjadi di dunia ini tidaklah mulus lus pasti ada rintangan di dalamnya."
"Iya gue tau."
"Orang bisa awet pacaran karena sudah punya komitmen, mereka juga pernah melewati masa-masa sulitnya mempertahankan sebuah hubungan. Belum lagi kalau sudah menikah dan masalah itu semakin berat aja. Kuncinya ya harus dewasa dalam menyelesaikan sebuah masalah sedangkan kalau semua dilakukan buru-buru jadinya morat-marit dan berakhir bubar."
"Lo masih sekolah aja mikirnya sudah ke sana."
"Karena gue sering dapat ceramah dari kakek tapi emang, gue ingjn kayak kakek. Walau kakek kaya dan sudah ditinggal tiada oleh nenek. Kakek gue setia sekali dan dingat-ingat juga kakek dulu yang merawat nenek gue. Mereka itu pasangan romantis bagi gue dan gue ingin kayak mereka suatu saat nanti." Malvin mendongakkan wajahnya sedikit dan membayangkan kakek neneknya yang dulu sangat romantis sekali.
"Apa bisa? Lo aja mantannya banyak kan kata lo dulu? Jadi lo iru playboy dan jangan berharap bisa langgeng kayak kakek sama mendiang nenek lo."
"Gue enggak playboy lah, mantan gue banyak ya emang gue akui banyak. Cuman kalau playboy kan pacar banyak. Gue jalani pacaran sama satu orang eh tau gak cocok ya sudah kita putus sama saat ini gue ingin sendiri eh enggak deh pengen sama lo." Malvin tertawa pelan.
"Ujung-ujung pengen sama gue. Gak lucu bercandanya." Salma melirik sinis ke Malvin.
"Siapa yang bilang bercanda? Gue serius kok. Gue pengen deket lo terus dan kalau bisa lebih dari teman."
"Sorry, gue gak suka."
"Iya ya, gue gak maksa lo suka balik ke gue. Gue cuman mau bilang sejujurnya aja ke lo soal perasaan gue." Malvin mengangguk mengerti dan tidak ada sedikit pun niat memaksa. Perasaan dipaksa itu tidak enak dan lebih memilih waktu yang menjawab semuanya.
...
"Sal!"
"Oi." Salma mendongak saat dipanggil temannya yang kini memasuki kelasnya.
"Lo tumben gak ke kantin?" Cindy duduk di bangku milik Cerry dan menghadapkan diri ke belakang.
Cerry dan Cika sudah berada di kantin sejak bel istirahat berdering. Seperti biasa mereka berdua suka cari perhatian ke cowok ganteng meskipun diabaikan.
"Lagi nggak mood aja."
"Lo ada masalah?" tanya Cindy heran dan melihat perubahan di raut wajah Salma yang sepertinya tengah memikirkan sesuatu.
"Gue kemarin ke toko sepatu cabang baru milik ayah. Gue dateng ke sana berdua sama Silma. Waktu gue tinggal sebentar, Silma sudah jatuh di atas rak sepatu dan ada empat orang kalau gak salah itu teriak-teriak di sana. Gue rasa Silma punya masalah sama mereka tapi kakak gue itu gak mau cerita dan bilang mereka emang suka mencari masalah ke siapapun."
"Bentar-bentar jadi kakak lo itu dibully?"
"Bully?"
"Emm ya bisa jadi sih namanya bully dan si pembully kan suka berbuat onar ke siapapun yang dianggap lemah."
"Ah gue gak percaya Silma lemah, apalagi dibully seperti itu pasti bakal cerita ke gue. Kata Silma, mereka ingin sepatu yang dipegang Silma dan mencoba merebut paksa. Gue kesal sendiri deh ingat kejadian kemarin malam. Mereka kayak sok-sokan begitu, hih gereget banget pengen jites mereka satu per satu." Salma meremas buku tulisnya sendiri sebagai luapan amarahnya saat ini.
"Mereka satu sekolah sama Silma?"
"Iya."
"Jadi kalau satu sekolah, bukannya sering ketemu? Di luar aja kakak lo digituin apalagi di sekolahannya. Secara sekolahan Silma itu bebas banget dan tertutup juga."
"Gue tau kalau yang bebas itu tapi masak ada yang berbuat onar gak dikasih hukuman? Apalagi menyakiti fisik orang sampai segitunya?"
"Semua bakal kalah sama uang, Salma. Di sana itu anak orang kaya paling disegani dan anak dari kalangan bawah itu ditindas."
"Kok lo tau semua itu? Dari mana?"
"Gue punya teman yang sekolah di sana dan dia emang dari keluarga bukan kalangan biasa. Jadi dia bisa tenang di sana karena embel-embel belakangnya anak direktur perusahaan besar juga."
"Apa mungkin Silma mengalami dibully oleh mereka? Kok gue jadi cemas banget, Cin. Gue takut kakak gue kenapa-napa di sekolahannya."
"Soalnya Cerry juga pernah cerita kemarin sih, mau di sekolahkan di sana tapi dilarang keras sama kakaknya karena takutnya Cerry dibully."
"Tapi reputasi sekolah itu bagus lho, Cin. Bahkan sekolah kita masih peringkat dua, di bawahnya sekolah Louwis yang rata-rata muridnya itu pintarnya imbang antara akademik dan non akademik. Sekolah kita masih non akademik yang unggul dibanding akademik."
"Iya benar, walau begitu si pembully bisa jadi kan murid berprestasi. Di sana juga kalau gak punya bakat apa-apa bakalan dicaci maki. Gue beruntung sekolah di sini sih meski ketat peraturannya tapi aman karena kakek Malvin baik banget ke semua murid bahkan suka bantu muridnya yang terkena musibah." Cindy menghela napasnya lega dan bersyukur namanya tercantum di sekolah ini. Ia tak bisa membayangkan nasibnya di sekolah Louwis akan seperti apa nantinya.
"Gue gak terima kalau Silma dibully, gue yang akan maju paling depan buat bales semua apa yang mereka lakukan ke Silma kalau sampai itu benar terjadi."
"Lo harus cari tau sendiri kalau Silma tetap tidak mau cerita ke lo."
"Pastinya." Salma mengangguk mantap.
Tidak lama kemudian datanglah Malvin membawa dua teh kotak dan berjalan gontai menuju bangkunya.
"Buat gue?"
"Ya ini satu buat lo dan ini buat Salma." Malvin duduk di sebelah Salma dan memberikan teh kotak kepada Salma serta Cindy. Ia merasa tidak enak pada Cindy yang pernah membantunya supaya bisa dekat dengan Salma.
"Makasih, Malvin," ucap Cindy yang langsung meminum teh kotak pemberian dari Malvin.
"Sama-sama."
"Sal, diminum gih!" titah Malvin pada Salma yang diam saja.
"Gue lagi gak mood aja."
"Dihargai atuh udah dikasih lho." Celetuk Cindy agar temannya itu bergerak dan tidak lemas saja.
"Gue gak maksa kok, Cin. Kalau emang gak mau ya sudah gak papa. Tapi jangan nolak pemberian teh kotak ini ya. Gue mau ke temen gue." Malvin beranjak berdiri dan akan pergi lagi.
"Btw, lo absen dong sama pertandingan bulan depan?" tanya Cindy penasaran pada Malvin.
"Iya, kan tangan gue masih sakit," balas Malvin tersenyum kecil.
"Duh sayang banget itu lo udah latihan tiap hari dan jadi kapten." Cindy menggelengkan kepalanya.
"Tidak masalah, bakal ada pertandingan lain kok jadi gue santai aja." Malvin melangkah keluar dari kelas setelah mengatakan hal tersebut.
"Lo kok gitu sih ke Malvin, cuek mulu." Gerutu Cindy.
"Padahal gue sudah berusaha tidak cuek lagi, buktinya gue terima dia ingin jadi teman gue," ujar Salma dan meminum teh kotak pemberian dari Malvin.
"Ya bukan masalah itu. Setidaknya lo hibur dia sih, kan tangan dia terluka karena melindungi lo dari bahaya. Lo harusnya balas budi."
"Masih kurang kah?"
"Lo tadi nggak amatin raut wajah Malvin saat tanyakan soal pertandingan. Dia lagi sedih karena enggak bisa ikut pertandingan. Bayangi lo sendiri deh yang pernah ngalami itu dulu, waktu gak ikut tanding futsal karena kaki lo cidera dan lo nangis mulu di kelas. Lo gak ingat kah?"
"Iya ingat, haduh itu malu-maluin gue banget." Salma menepuk jidatnya dan menertawai dirinya sendiri waktu SMP menangis histeris gara-gara kakinya cidera akhirnya tidak ikut tanding futsal.
"Nah itu perasaan yang dialami Malvin sekarang. Lo peka deh elah."
"Gue kan lebih mikirin soal kakak gue."
"Bisa di rumah, Sal. Malah lebih tenang di kamar begitu kan ini di sekolah ya mikir di sekolah aja. Soal Malvin." Cindy menaik turunkan alisnya dan menyengir kuda. Memancing Salma supaya lebih peka terhadap perasaan Malvin sekarang.
...
"Aku kok jadi ingin olahraga." Silma memandang ke arah lapangan, dimana ada murid yang sedang olahraga.
"Ya sudah aku ajak minggu besok gimana?" tawar Alfa.
"Tapi malam minggu, kita jadi jalan kan?
"Iya dong. Dua hari bersamamu." Alfa merangkul pinggang Silma dan merapatkan tubuhnya lebih dekat dengan tubuh kekasihnya.
"Aku senang banget dengernya." Silma memeluk Alfa dari sampingnya.
Mereka tampak mesra tanpa menyadari ada seseorang yang selalu memerhatikan mereka dari kejauhan.
"Senin depan pengumuman hasil voting ketua OSIS kan?"
"Iya."
"Nanti kamu bakalan sibuk dong sampai beberapa hari kedepan?" tanya Silma khawatir.
"Iya tapi kan setelah sibuk juga kita jalan, tidak usah khawatir."
"Katanya ketua OSIS SMA kerjanya lebih sibuk dibanding SMP. Aku khawatir waktu luang bersama kita malah tersita." Silma mencebikkan bibirnya kesal membayangkan betapa sibuknya Alfa nanti kalau sampai menjadi ketua OSIS.
"Aku usahain membagi waktu semuanya. Menjadi ketua OSIS sudah keinginanku dari dulu, Silma. Mohon mengertilah, oke?"
"Iya deh." Silma mengangguk malas.
"Mukanya jangan gitu dong. Jelek ih." Alfa menoel pipi Silma.
"Aku kan emang jelek. Ngapain kamu suka sama aku?"
"Aku suka sama kamu karena sudah dipilih dari hatiku." Alfa meletakkan tangan Silma ke dadanya.
"Gombal."
"Beneran kok, malah dibilang gombal." Bibir Alfa cemberut membuat Silma menamparnya pelan.
"Oh ya mungkin kalau memang beneran aku jadi ketua OSIS, aku ajak kamu saja ketemuan sama teman-temanku soalnya aku traktir mereka. Mau kan?" tanya Alfa.
"Iya aku mau dan senang aja, aku merasa kamu menganggapku penting." Silma mengangguk cepat dan tersenyum lebar.
'Apakah aku penting bagimu, Silma?'---Pikiran Alfa bertanya-tanya dan rasanya ingin menanyai balik juga. Namun teringat dulu pernah bertanya seperti itu membuatnya mengurungkan diri.
"Sebenarnya mau ngajak minggu tapi kamu ingin olahraga juga diundur aja."
"Hehe aku ingin banget." Silma mengalun manja dilengan Alfa.
"Nanti belum apa-apa minta istirahat, kuat gak lari-larian?"
"Entah tapi kamu jangan ninggalin aku."
"Hehe siapa juga yang mau ninggalin kamu?"
"Iya siapa tau, kamu mau ninggalin aku." Silma mendadak muncul firasat aneh. Merasakan ucapannya itu bakalan menjadi kenyataan yang menakutkan baginya.
"Hus, jangan bilang begitu. Aku tidak suka," ucap Alfa dan menggelengkan kepalanya.
"Iya. Oh ya, kamu mau ikut eskul apa?"
"Babminton mungkin," jawab Alfa.
"Gak ingin semacam basket atau sepak bola gitu?" tanya Silma lagi.
"Hemm pasti kamu suka cowok main dua eskul itu kan?"
"Ya bagiku keren aja, Alfa." Silma mengulum senyumannya.
"Aku gak keren dong karena gak main basket sama sepak bola?" Alfa mendengus sebal.
"Ih kok kamu berpikir begitu, kamu tetap keren dimataku apalagi mau jadi ketua OSIS." Silma memeluk Alfa.
"Katanya kamu gak suka aku jadi ketua OSIS?"
"Suka kok cuman lebih cemas aja kalau kamu mengabaikanku. Setidaknya beri kabar itu lebih penting."
"Pasti dong, Sayang."
...