Part 30

2034 Kata
Part 30 "Malu kan lo?" "Dikit." Malvin menggaruk rambutnya dan merasa dirinya hanga cowok sendiri di antara banyaknya siswi di sini. "Kapan tangan lo sembuhnya?" tanya Salma penasaran. Mereka berdua berdiri bersebelahan dan dekat dengan pinggir jalan raya. "Enggak tau." "Oh." "Gue boleh minta tolong lo bawain tas gue?" pinta Malvin pada Salma. "Sebentar doang kok." Malvin mulai melepas tasnya dan diberikan kepada Salma. Salma diam saja menerima tas dari Malvin dan menatap laki-laki itu heran yang kini mulai membuka resleting tasnya lalu mengambil hoodie berwarna merah polos. Setelah itu Malvin perlahan memakai hoodienya dengan satu tangan. Namun di tengah itu malah kesulitan dan membuatnya pengap karena kepalanya sudah masuk ke dalam. "Eh eh tolongin gue!" Malvin panik. "Astaga." Salma berdecak kesal dan membantu Malvin hingga Malvin sudah rapih mengenakan hoodienya. "Cieee cieee." Mereka berdua mendapat sorakan dari beberapa siswi di sini terutama teman-teman Salma yang paling semangat berteriak Salma langsung menundukkan wajahnya sedangkan Malvin menyuruh mereka diam. "Husst diam!" Malvin melototi mereka satu per satu dan dibalas cekikikan dari mereka semua. Malvin kembali menghadap ke Salma dan meraih tasnya yang dipegang gadis itu. "Terima kasih," ucap Malvin seraya menyampirkan tasnya ke sebelah pundaknya. Salma mengangguk saja. "Dulu lo punya teman cowok nggak?" tanya Malvin kepo. "Punya." Salma kembali mengingat teman masa kecilnya yang pergi tiba-tiba tanpa pamit dan sangat dirinya rindukan. "Berapa? Banyak kah?" Malvin tak menyangka ternyata Salma memiliki teman cowok padahal sikap Salma begitu acuh pada lelaki yang ditemuinya bahkan terkadang ada yang mengajak berteman pula ditolak oleh Salma. Malvin merasa beruntung saja bisa diterima Salma meski ia tau pasti Salma risih kepadanya dan menahan karena merasa bersalah kepadanya. "Satu," jawab Salma jujur. "Satu doang? Gue kira banyak banyak maksud gue punya geng begitu." Malvin menarik napasnyanya. "Itupun dia sudah pergi dan gak ada kabarnya sampai sekarang." "Ah begitu syukurlah pergi." "Kok lo malah bilang begitu?" "Lupakan, gue salah ucap aja. Maksud gue, kok bisa pergi gitu?" 'Karena gue gak percaya pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Gue seneng karena gak ada saingan dapetin lo dan kalau begini kan gue tenang haha'--ucap Malvin disertai tawa menyenangkan di dalam hatinya. "Mungkin dia diadopsi." "Diadopsi?" "Ah gue gak mau cerita soal teman gue ke orang lain. Gue sudah punya janji ke dia." Salma enggan menceritakan tentang temannya sebab ia sangat menjaga rahasia temannya. "Oh begitu." Mendadak muncul perasaan aneh pada diri Malvin. Apalagi mendengar kata 'adopsi' yang membuatnya mengingat keluarganya. Salma melirik Malvin yang tiba-tiba diam dan pandangannya lurus ke depan. Kedua tangan Malvin nampak terkepal kuat dan sepertinya Malvin memikirkan sesuatu yang membuatnya marah. 'Dia kenapa ya? Kayak nahan emosi. Apa ada hubungannya sama gue?'--Pikiran Salma bertanya-tanya. Beberapa menit kemudian sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depan mereka. Tentu saja mobil mewah itu menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitar ini dan tidak kaget lagi kalau itu adalah jemputan untuk Malvin. "Ah itu jemputan gue. Gue pulang dulu ya." Malvin mengulas senyumnya tipis sembari menepuk pundak Salma. "Iya hati-hati." Salma memandang mobil itu yang kian menjauh dari tempat ini. 'Memang keluarganya kenapa sih? Eh kok gue malah kepo sama kehidupannya. Enggak deh'--batin Salma. ... "Sudah baikan sama pacar lo?" tanya Salma dengan dahi berkerut menatap Silma yang tersenyum lebar memasuki mobil mereka. Setelah itu mobil berjalan dengan kecepatan sedang. "Sudah dong hihi, dia minta maaf dan semuanya jadi selesai." Silma menghela napasnya. "Lo juga enggak minta maaf?" "Enggak lah, gue gak salah kok. Lagian gue lebih seneng kalau dia yang minta maaf duluan dan gue gak pernah salah. Dia mulu sih yang buat salah," jawab Silma santai. "Egois deh pengen dingertiin ya lo?" "Tujuan gue pacaran ya buat senang-senang. Lebih enak aja begitu daripada cari teman dan senang-senang sama teman nanti ujung-ujungnya gak ada yang mengalah. Gue ego begini butuh perhatian dari Alfa karena perhatian dari Alfa lebih suka aja sih." "Haus kasih sayang." "Tidak masalah, gue lebih senang diperhatikan kan sudah gue bilang dari awal pacaran buat gue senang dibanding yang lain." "Iya dah iya, pacaran buat lo senang. Ntar kalau patah hati kayak kemarin juga nangis-nangis ke gue dan semua orang lo lampiasin. Gue gak suka ya sama sikap begini." Salma mendengus sebal. "Ya ya gue gak gitu lagi, namanya juga gue pms dan suasana hati gue emang gak mau diganggu dan ingin menyendiri buay nenangin diri." "Iya ya." Sepulang dari sekolah, mereka tidak langsung menuju ke kamar seperti biasanya melainkan ke ruang keluarga sebab mendengar suara bundanya memanggil nama mereka di sana. "Silma Salma ke ruang keluarga sini!" "Iya Bun!" jawab mereka kompak. "Kalian berdua duduk di depan bunda!" suruh Zena pada mereka setelah tiba di ruang keluarga. "Ada apa, Bun?" tanya si kembar yang kebingunan. "Silma, Salma. Tadi ayah pesan ke bunda, kalian berdua nanti setelah mandi ke toko sepatu. Jadi kalian diminta ayah buat datang ke sana, buat lihat-lihat gitu. Kalian bisa enggak? Nanti juga bunda nyusul ke sana, nunggu Juna pulang dari eskul futsalnya ini." "Wah nanti juga ada makan-makan luar ini." Salma memekik kegirangan sedangkan Silma masih diam saja dan tidak ada respon sama sekali dari kakaknya Salma ini. "Iya nanti bareng-bareng sama karyawan-karyawan baru ayah, kan gantian gitu sih nah mumpung besok mendekati weekend jadi ayah milih malam ini biar nanti weekend ayah bisa istirahat." "Tapi jauh ya, Bun?" tanya Salma kepo. "Iya, lumayan sih. Besok kalian ada PR tidak?" tanya Zena balik dan menatap si kembar bergantian. "Enggak kok, Bun." Salma memggeleng. "Kalau Silma?" "Sudah aku kerjakan di sekolah jadi besok tinggal numpuk saja," jawab Silma seraya beranjak berdiri dan pamit ke kamar duluan. "Ya sudah kalian siap-siap dulu ya, ayah tadi sih sempat pulang buat mandi sama ganti baju." "Lho di kantor kan ada kamar mandi juga." "Rusak, entah rusak yang apa. Ayahmu juga bisa ceroboh meski pintar kayak anak-anaknya." Zena tertawa pelan. "Haha iya, Bun." "Silma tadi wajahnya sekilas terlihat pucat." "Katanya pusing, Bun." "Pusing? Tapi sekarang masih pusing nggak?" "Enggak. Tenang aja bun, Silma itu pms jadi ya suasana hatinya berubah-ubah." "Oh iya. Ya sudah kamu mandi ya, nanti saran aja Silma suruh pakai jaket." "Pasti." ... Sesuai permintaan ayahnya, si kembar sudah datang ke toko sepatu milik usaha ayahnya yang cabangnya kali ini juga letaknya lumayan jauh dari rumah mereka. Untung saja di dalam perjalanan tidak terlalu padat arah jalan menuju ke sana, karena sang sopir juga melewati jalan tikus dan si kembar merasa nyaman saja mobil yang mereka tumpangi tidak terkena mancet. "Waw toko sepatu cabang yang di sini lebih kekinian ya." Salma berdecak kagum setelah keluar dari mobil dan bertepuk tangan seperti anak kecil. "Bagus ini, kan emang ada produk baru dan di sini juga emang buat anak milenial. Keren banget lah." Silma mengomentari toko sepatu milik ayahnya yang berbeda dari yang lainnya. "Tempatnya luas juga." Mereka berdua berjalan gontai masuk ke dalam toko sepatu merk Zizac. "Hmm ayah kita makin sukses aja, gue juga harus lebih sukses dari ayah." Silma dan Salma melihat-lihat sepatu yang terpajang. Karyawan-karyawan baru ayahnya tampak ramah kepada pengunjung berbagai kalangan, namun mereka belum mengenali Silma dan Salma. "Sepatu gue udah banyak, tapi pengen," gumam Silma yang tengah asyik memegangi sepatu kets berbagai warna yang membuatnya tertarik ingin dimilikinya. "Bilang dulu ke ayah, kata bunda harus bunda harus jaga sikap dan tidak boleh semena-mena karena ini milik ayah bukan kita." Peringat Salma supaya Silma mengerti. "Iya nih, gereget deh pengen punya semua." "Gundulmu, bisa bangkrut." "Haishh orang gak bisa diajak bercanda dikit elah." Silma merangkul adiknya tapi Salma merasa kakaknya mencekiknya. "Aww sakit b**o!" "Jaga ucapan!" Ganti Silma menegur adiknya seraya melepaskan rangkulannya. "Selamat malam, ada yang bisa dibantu?" Seorang karyawati datang menghampiri mereka berdua yang tengah asyik memandangi sepatu-sepatu di toko ini. "Mau lihat-lihat dulu, Mbak," jawab Silma yang tersenyum ramah. Karyawati itu juga menawarkan sepatu-sepatu lainnya kepada mereka. Silma dan Salma nurut saja sembari mengangguk sebagai responnya. Mereka berdua juga mencoba beberapa sepatu yang dipilih. Karena mereka hanya ingin melihat-lihat saja, karyawati tersebut pergi karena ada yang memanggilnya untuk melayani seaeorang yang akan membeli sepatu. Toko sepatu ini begitu ramai sekali yang berkunjung dan juga ada memborong hingga semua pegawai toko ini sibuk semua. Karena baru buka seminggu kemarin, di toko sepatu yang letaknya dekat mall besar kota ini banyak diskonan dibeberapa sepatu pilihan bahkan membeli tiga sepasang sepatu atau lebih akan dikenakan potongan harga juga. "Ayah kemana ya? Kok belum turun juga sih." Silma merengek dan mulai bosan karena dirinya juga ingin sepatu yang sudah dipilih. "Sabar, mungkin ayah lagi ada tamu. Di sini kantornya juga gue kagak tau, kalau kita cari ke ruangan sana juga dikira lancang atau mau maling. Kan kita juga harus ada ayah." Salma memilih duduk saja sedangkan Silma yang paling tidak sabaran. "Lo cariin keberadaan ayah dong, Sal. Atau telpon deh." "Lo telepon sendiri aja, kan bawa hp." "Hp gue habis batrenya, lupa tadi belum ngisi jadi males pegang hp." "Aih lo ini." Salma beranjak berdiri seraya merogoh sakunya, mengambil ponselnya di sana. "Gue keluar dulu deh, di sini rame banget." Salma menekan tombol hijau di kontak ayahnya. "Baiklah, gue tunggu di sini." Silma mengangguk dan memerhatikan Salma yang berjalan keluar dari toko sepatu ini. Seketika Silma menyunggingkan senyumnya lebar melihat sepatu pilihannya yang dipegang sedari tadi. Gadis itu pun duduk dan memakainya lagi. "Cantik banget warnanya dan modelnya juga tidak sama seperti yang di rumah." Silma memandangi kakinya yang tambah cantik mengenakan sepatu kets yang belum pernah warnaya dimiliki di rumah. "Semoga aja dibolehin sama ayah ambil yang ini. Soalnya tidak ada pilihan lain, ini kayak sepatu satu-satunya model begini." "Ah gue suka banget." Silma tak rela melepas sepatu itu. "Eh nanti dilihati sama karyawan di sini kan jadi gak enak." Silma pun melepas sepatu pilihannya dan beranjak berdiri dari tempat duduknya. "Wow kita ketemu di sini? Haha." Silma tersentak kaget mendengar suara gelak tawa seseorang di belakangnya dan ia membalikkan tubuh. Betapa terkejutnya dirinya bertemu sosok yang tak diharapkan kehadirannya di tempat ini. "Silvia." "Iya? Kaget? Kayak ketemu artis kan?" Seorang gadis berpakaian dress abu-abu itu bersedekap d**a, ia menatap Silma dari bawah ke atas lalu menggeleng. Silvia, gadis itu juga tidak sendirian dan ada tiga temannya yang selalu setia di belakangnya. Silvia melirik temannya dan memberi kode lewat dagu. "Sepatu gue ini!" sentak Silma saat sepatunya akan direbut paksa oleh salah satu teman Silvia. "Oh sepatu lo? Sudah beli?" Silvia tertawa dan menyuruh teman-temannya yang lain untuk merebut sepatu yang tengah dibawa Silma saat ini. "Gue mau beli ini, lepasin!" Silma menggenggam erat sepatu pilihannya. "Gue bisa beli cast sekarang!" "Lepasin!" teriak Silma kesal dan mereka menjadi tontonan banyak orang do toko sepatu ini. "Eh kalian berhenti!" tegur seorang karyawan tapi tidak diindahkan oleh mereka. Tentu Silvia tidak tinggal diam dan tak butuh waktu yang lama, tangannya mendorong kuat bahu Silma hingga gadis itu terjatuh dan rak sepatu di belakangnya juga ikut terjatuh dan berserakan. "Aarghh!" jerit Silma kesakitan dan bertepatan dengan itu juga suara bentakan keras dari arah belakang. "Apa yang kalian lakukan!" Seorang lelaki yang masih muda meski anaknya sudah terbilang remaja itu panik melihat Silma terjatuh di atas rak dab anaknya itu tengah dibantu berdiri oleh para karyawannya. Dialah Pandu, kedua tangannya terkepal kuat dan gertakan dari giginua terdengar jelas. Pandu akan menghampiri Silma namun di sana Silma menggelengkan kepalanya cepat dan seolah memberitahu kepadanya untuk tidak menghampirinya. "Silvia, kamu yang dorong dia!" Seorang pria paruh baya yang datang bersama Pandu langsung berjalan cepat mendekati Silvia. "Lagian mau ambil sepatu pilihanku, Dad." "Pulang! Malu-maluin!" Pria itu menggeret tangan Silvia paksa keluar dari toko ini. Ia melewati Pandu dan memohon maaf kepada teman bisnisnya itu karena sikap anaknya yang kurang ajar dan berbuat onar di toko sepatu Pandu. Pandu menatap orang itu datar dan mengangguk saja. Mereka telah pergi dan semuanya melanjutkan aktivitasnya masing-masing. "Ayah." Mata Silma berkaca-kaca kemudian Pandu menggendongnya. Semua karyawan tercengang yang baru tau kalau gadis itu adalah putrinya Pandu setelah mendengar suara Silma baru saja. Dari arah luar toko sana, Salma melihat jelas apa yang baru saja terjadi pada kakaknya tapi ia tak bisa ke sana dikarenakan masih sibuk memberi arahan sang sopir yang membawa ibu dan adiknya tersesat di jalan. Untunglah kejadian itu tidak berlangsung lama sebab ayahnya sudah datang. "Ck, mereka siapa sih? Gue harus tanya ini ke Silma." Salma kembali mengangkat telepon dari bundannya. Ia merasa khawatir keadaan bunda dan adiknya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN