Part 34
Silma dan Salma pergi menaiki mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi mereka. Tidak lama mobil itu berhenti tidak jauh dari area perumahan yakni tempat biasa Silma dan Alfa bertemu. Di sana sudah ada Alfa yang menunggu kedatangan Silma sedari tadi.
Hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat Alfa berdiri, buru-buru Silma keluar setelah memeluk Salma
"Maaf ya, kita berpisah sampai di sini dan nanti gue bakal kirim pesan ke lo kalau sudah kembali di sini."
"Iya ya."
"Lo pergi kemana gitu atau ngajak temen lo entah kemana. Yang penting hp aktif ya."
"Ya ya gue udah tau, sana keluar!" usir Salma kepada kakaknya.
"He eh." Silma keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menghampiri kekasihnya yang tengah berdiri di sana sambil melambaikan tangannya.
"Jalan, Pak!" suruh Salma pada sopirnya.
"Nona mau pergi kemana?" tanya sang sopir bingung.
"Muter-muter aja deh, habisin bensin."
"Haha bensin aja baru beli, Non."
"Ih bapak, pokoknya muter-muter gitu lho."
"Siap, Non." Sopirnya mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Di sisi lain...
"Cantik sekali malam ini." Alfa memuji penampilan Silma malam ini yang ternyata juga mengenal fashion. Ia mengira tampilan Silma bakalan seculun di sekolah, Alfa menggelengkan kepalanya saat sadar dirinya juga mengomentari penampilan Silma di sekolah.
"Emang aku biasanya jelek ya? Tuh kamu geleng-geleng juga kenapa?" tanya Silma penasaran.
"Enggak begitu maksduku, kamu tampil begini malah lebih-lebih cantik begitu. Kan kita belum pernah jalan berdua malam ini dan aku kayak tidak mengenalimu tadi hehe. Makanya geleng-geleng tadi saking gak percayanya kita akhirnya bisa jalan berdua setelah kemarin-kemarin aku sibuk sama kegiatan OSIS." Alfa memasangkan helm ke kekasihnya yang sengaja dirinya bawakan untuk Silma. Alfa memang memiliki dua helm dengan bentuk yang sama.
"Kamu gak capek ya? Kemarin juga ada kegiatan sampai menginap di sekolah?" tanya Silma khawatir.
"Enggak, ketemu kamu rasa lelahku menghilang."
"Sekarang suka menggombal ih. Eh kan kamu mantan playboy jadi suka begini kan?"
"Kamu gak suka ya aku gombalin?"
"Suka-suka aja kok. Ih ngambek ih." Silma mengetuk helm Alfa saat menaiki motor kekasihnya tersebut.
Brumm
"Alfa! Jangan kencang-kencang!" pekik Silma tatkala Alfa menjalankan motornya dalam kecepatan tinggi tapi kemudian berjalan normal karena juga tau dirinya harus menjaga anak orang.
Alfa tertawa lalu tangan sebelahnya meraih tangan Silma dan melingkarkan tangan kekasihnya itu ke perutnya. Terkahir, Alfa mengusap tangan Silma dan sempat-sempatnya tadi menciumnya.
Sikap manis Alfa itu membuat Silma tersenyum samar lalu memeluk erat pinggang lelaki itu yang selalu saja tingkahnya menghangatkan hatinya.
"Kemana dulu, Sayang?" tanya Alfa sedikit berteriak supaya Silma mendengar suaranya.
"Aku lapar, pengen makan bakso beranak."
"Oke."
Silma menyunggingkan senyumnya lebar, malam ini sangatlah indah sekali bisa menghabiskan waktu berdua bersama Alfa. Meski telah mengecewakan adiknya juga, tak membuatnya gagal kencan di malam minggu.
Setiba di rumah makan, mereka berdua memesan makanan terlebih dahulu kemudian menuju salah satu bangku yang tidak ditempati orang.
Sambil menunggu, mereka berdua berselfi ria dan membuat video.
"Nanti yang habis duluan menang ya. Aku buat video ini." Silma ingin membuat video kebersamaannya dengan Alfa.
"Pengen jadi youtuber kah?" Alfa terkekeh pelan melihat tingkah Silma yang niat sekali membuat video.
"Enggak kok, buat kenang-kenang, kan ini kencan pertama kita." Silma menyengir kuda dan bertepatan dengan itu pesanann mereka sudah diantarkan.
Mereka mulai melahap bakso beranak, Alfa melahap makanannya begitu santai dan sengaja mengalah karena ingin dirinya yang membayar makanan ini.
"Kamu makan kok gak ikat rambut dulu." Alfa menali rambut Silma sebisanya dan Silma tidak akan terganggu ketika sedang makan.
Silma hanya tersenyum saja dan berusaha ingin menghabsikan lebih dulu makanannya.
"Pedes." Silma menangis dan hidungnya memeleh rasanya.
Alfa mengambil tisu dan mengelap wajah Silma yang penuh keringat.
"Kuat gak? Kalau gak kuat tidak usah dilanjutkan."
"Kuat kok, aku suka pedas."
Silma mengangguk yakin.
Selesai makan, tentu Alfa yang membayar. Cara taruhan tadi, sengaja Silma lakukan sebab lebih menghargai Alfa yang dari awal suka sekali membayar apa yang dibelinya. Di sisi lain Silma serjng merasa tidak enak akhirnya menemukan ide taruhan tadi.
"Suda selesai?"
"Hmm harusnya waktu pulang nanti makannya, sekarang berantakkan."
"Kalau lapar ya yang didahulukan makan biar tidak masuk angin dan aku sebagai laki-laki harus tanggung jawab menjagamu."
"Tapi aku jadi berantakkan."
"Berantakkan atau tidak. Tetaplah kamu cantik di mataku." Alfa membantu Silma memaksa helm.
"Aku gak usah pujian bohong nih."
"Beneran. Lagian aku suka kamu gak mandang dari fisik, aku nyaman aja dan suka gitu sih. Kamu anaknya juga gak aneh-aneh dan nakal."
"Aneh-aneh gimana?"
"Suka cari masalah ke orang. Tapi kamu baik dan pendiam. Aku lebih tenang saja."
"Aku gak baper." Silma menutup wajahnya yang dipastikan memerah tomat, dipuji terus menerus oleh Alfa.
"Bilang aja."
...
Salma sudah mulai merasa jengah, selama setengah jam berada di dalam mobil dan akhirnya menyuruh sopirnya berhenti di pinggir jalan saja.
"Bapak ngopi aja sana, nanti saya telepon."
"Siap, Non!" Sang sopir mulai mencari tempat parkir dan daerah ini banyak tempat nongkrong. Dia menunggu anak majikannya di salah satu cafe di pinggir jalan sekitar ini.
Salma berjalan gontai menyelusuri jalanan kota yang lengang. Lama berjalan juga membuat lelah dan kini mencari tempat duduk di sekitar taman yang baru saja dilewati.
"Ada tempat kosong." Salma mendekati bangku yang tidak ada orang menempatinya, namun ketika maniknya memandang ke arah lain dan tidak sengaja melihat seseorang yang dikenalinya tengah duduk di skatepark. Taman ini juga terdapat skatepark dan biasanya malah paling sering malam-malam begini dibuat sepedahan oleh anak-anak kecilnya. Saat ini tidak terlalu banyak orang dewasa yang bermain skateboard.
"Itu Malvin," gunam Salma dan seakan ada magnet di kakinya yang langsung mendekati lelaki itu yang tengah duduk sendiri di bangku taman sambil kakinya menggoyangkan skateboard kesukaannya.
Salma duduk di sebelah Malvin tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.
Malvin menoleh cepat dan akan memarahi orang yang berani duduk di sebelahnya sebab sudah terdapat kertas di sana yang bertuliskan ingin duduk sendirian tanpa diganggu siapapun. Namun saat tau itu adalah seseorang yang disukainya membuat dirinya kikuk dan salah tingkah.
"Eh Salma, gue kira siapa." Malvin menggaruk rambutnya dan tersenyum samar mengetahui Salma yang mendekatinya ke sini.
"Gue bukan dekatin lo ya, gue numpang duduk di sini. Lagjan ini tempat umum, siapa pun boleh duduk di sini." Salma mengambil kertas yang bertuliskan tadi dan meremasnya lalu berakhir kertas tersebut di tong sampah yang terletak tak jauh darinya. Salma sudah menebak saja apa yang dipikirkan Malvin sekarang setelah tau dirinya tiba-tiba duduk di sini.
"Tau aja sih sama pikiran gue, lo ngintip otak gue ya?" Malvin mencolek lengan Salma.
"Gak usah modus pegang-pegang gue!" Salma duduk agak jauh jaraknya dari Malvin.
"Gemes lama-lama gue sama lo." Malvin terkekeh pelan.
"Gue baru sadar ada bola basket di bawah tempat duduk ini," ungkap Salma.
"Oh bola ini, ya emang punya gue." Malvin menyunggingkan senyumnya lebar.
"Oub begitu."
Keduanya sama-sama terdiam sesaat. Salma melirik Malvin yang diam-diam kakinya mengapit bola basket itu dan memandang sendu ke arah bola basketnya.
'Dia lagi sedih kah?'
"Lo beneran gak ikut tanding bulan depan?"
"Ya enggaklah, tangan gue masih sakit dan ini aja suka linu jadi gue sering bawa ke klinik buat diperiksa."
"Lo ingin main bisa basket lagi?"
"Sebenarnya sih iya, itu pasti. Halah gue masih bisa kok pakai tangan kiri cuman agak imbang bagi gue." Malvin menoleh sekilas ke Salma.
"Gue dari dulu pengen bisa maen basket sih, tapi semenjak suka sepak bola jadi gue jarang main basket padahal gue punya lapangan basket di rumah."
"Wah punya lapangan basket? Gue juga punya tapi kayaknya sekarang terbengkalai."
"Maksud lo?" tanya Salma tak paham.
"Ah bukan apa-apa kok. Oh ya, lo mau main basket? Ini bolanya, mumpung anak-anak kecil pada pulang dan gak ada yang ganggu." Malvin meraih bola basketnya lalu disodorkan di hadapan Salma.
"Gue gak bisa, malu-maluin deh." Salma menggeleng.
"Lo bisa malu juga?"
"Cih." Salma berdecih sinis.
"Gue ajarin." Malvin beranjak berdiri dan mulai mendribble bola basketnya. Dribbling dalam bola basket adalah upaya menguasai bola dengan cara memantulkan bola ke lantai lapangan dengan diiringi oleh gerakan kaki dan tangan yang seirama untuk mempertahankan dan membawa bola dari satu spot ke spot lainnya.
Salma ikut berdiri dan menghela napasnya melihat Malvin yang begitu lincah sekali mendribble bola dengan satu tangan kirinya saja.
"Nih cobain dulu!" suruh Malvin dan melempar bola basket itu pelan ke Salma.
Salma menangkap bola basket itu dan mencoba mendribble bola. Nyatanya tak semudah melihat Malvjn tadi, berulang kali bola itu menggelinding entah terkena sepatunya sendiri, makin lama makin ke depan dan Salma frustasi padahal bermain basket dulunya semasa kecil menjadi favoritnya juga.
"Sulit." Salma sudah menyerah duluan. Malvin tetap memaksanya.
"Mudah, lihat trik ini."
Malvin mengajari Salma dengan penuh kesabaran esktra karena Salma yang memarahinya jika bola yang sedang dipantulkan malah menggelinding entah kemana arahnya. Lelaki itu mengelus dadanya mendengar teriakan kesal dari mulut Salma beberapa kali.
Saking capeknya bermain, Salma merentangkan kedua tangannya tapi tidak sengaja mengenai luka ditangan Malvin.
"Aw." Malvin meringis dan memegangi tangannya yang sebelahnya terluka.
"Eh?" Salma membulatkan matanya dan reflek ikut memegang tangan Malvin.
Salma meniup pelan telapak tangan Malvin sambil diusap lembut tepat di sisi perban yang melilit tangan Malvin. Malvin bukannya fokus ke tangannya kini memandangi wajah Salma yang sangat dekat jaraknya dengannya.
'Gue merasa senang dipedulikan begini sama dia'---ucap Malvin di dalam hati.
"Sudah tidak sakit kan?" Salma mendongakkan wajahnya dan seketika tetapan mereka bertemu serta saling beradu.
Seberapa detik, Salma sudah sadar dan melepaskan tangannya menggenggam tangan Malvin tadi.
'Ah apa ini?' ---Salma memegangi dadanya yang berdebar kencnag tak karuan setelah memandang dekat wajah Malvin baru saja.
Tidak hanya Salma saja yang merasakan debaran itu, Malvin juga merasakannya dan sudah berteriak kegirangan di dalam hatinya.
'Benar ya, mendekati gadis yang cuek harus dengan cara yang pelan dan tidak agresif. Ada pepatah yakni perlahan tapi pasti. Ya, pasti gue akan mendapatkan hatinya dan gue gak bakal menyerah begitu saja'---ucap Malvin sangat yakin dalam hatinya.
Suasana menjadi canggung, Salma duduk kembali begitupula dengan Malvin.
"Gue mau nanya."
"Apa?" tanya Malvin balik.
"Jujur saja selain lo pintar dalam bidang non akademik begini, lo pintar akuntasi kan?" tebak Salma. Meskipun nampak cuek, Salma selalu memerhatikan hal-hal yang dirasa mencurigakan.
"Emm iya."
"Terus kenapa lo diam aja waktu gue dapat nilai jelek? Lo gak ketawain gue seperti yang lain. Padahal di saat itu lo masih suka banget bikin gue kesal."
"Gue bukan orang begitu. Karena gue sadar pintarnya orang itu beda-beda. Lo pasti punya kepintaran sendiri."
"Hmm iya sih. Gue kira waktu itu, lo nyontek ke temen sebelah bangku lo ternyata mulut lo gak bisa diam, ceriwis mulu."
"Haha iya tuh, gue emang gak bisa diam." Malvin tertawa pelan, Salma memuji sekaligus meledek dirinya.
"Ah benar sih, pintarnya orang beda-beda tapi gue merasa diri gue itu bodoh."
"Enggak kok."
"Gue buruk."
"Enggak."
"Gue jelek."
"Heh, siapa yang bilang gitu ke lo?" tanya Malvin yang makin tinggi suaranya karena tidak terima Salma dibilang jelek.
"Hihi biasa ae lah." Salma tertawa.
Malvin tersenyum melihat Salma yang kelihatannya sudah nyaman di sisinya, malam ini gadis itu banyak tertawa dan tersenyum lebar ke arahnya. Gini kah rasanya jatuh cinta terhadap seseorang? Rasanya sungguh menyenangkan padahal di sjsi dirinya tengah terpuruk di sini.
"Gue mau bilang."
Salma menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung ke Malvin.
"Terima kasih untuk malam ini, lo datang di waktu yang tepat. Ada lo di sini sangat menghibur gue."
"Emang lo kenapa?"
"Enggak papa sih cuman mau bilang terima kasih saja. Gue pinjam tangan lo bentar, boleh nggak?" Tangan Malvin mengadah di depan Salma.
Salma makin bingung.
"Kalau emang gak boleh juga enggak papa kok." Malvin kembali menurunkan tangannya dan tidak memaksa Salma jika gadis itu tidak mau.
Tidak lama kemudian, datanglah segerombolan baju hitam datang di taman ini. Salma langsung berdiri dan was-was saat tau segerombolan orang itu menghampiri mereka.
"Kalian siapa?" tanya Salma to the point ke mereka.
"Malvin, pulang!" bentak salah satu dari mereka. Sayangnya Salma tidak bisa melihat wajah mereka karena semuanya memakai penutup wajah dan hanya memperlihatkan mata dan mulutnya saja. Pakaian yang dikenakan pula seperti perampok.
Beberapa dari mereka menggeret Malvin secara paksa, Malvin meringis sebab tangannya yang terluka itu terkena pukulan dari mereka.
"Jangan culik Malvin! Sini maju lo!" teriak Salma panik.
"Jangan lawan mereka Salma! Gue baik-baik saja kok." Malvin masih sempat-sempatnya tersenyum mengarah le Salma padahal terlihat jelas bahwa lelaki itu kesakitan digeret paksa oleh mereka.
"Mereka siapa?" gumam Salma yang diam di tempat dan Malvin tetap melarangnya saat dirinya ingin menghentikan aksi mereka.
...