Part 33

1533 Kata
Tetap baca terus cerita ini Menjelang konflik dan semakin seru Kalian tidak akan sia-sia baca cerita karyaku ini^^ Part 33 "Lo ngapain Sal?" tanya Silma heran saat dirinya akan masuk ke mobil tapi adiknya malah celingukkan seperti mencari sesuatu. "Enggak papa, masuk!" Akhirnya Silma bisa masuk mobil karena tidak terhalang Salma tadi. Mobil mulai berjalan dan Salma masih saja celingukkan. "Lo kayak lagi cari sesuatu? Cari apa sih?" "Enggak papa ih." "Gue curiga jadinya." Silma memincingkan matanya menatap tingkah aneh adiknya. Akhirnya Salma duduk biasa dan tidak lagi celingukkan seperti tadi. Ia meneguk air mineralnya lalu bersendawa. "Curiga apanya?" "Ada yang lo sembunyiin dari gue deh." "Jangan bilang begitu ckck!" Salma terkekeh pelan menoleh ke kakaknya. "Benar kan?" "Iya benar, lo juga sembunyiin sesuatu dari gue. Gue juga bisa sembunyiin sesuatu dari lo." "Kok sekarang jadi main rahasia-rahasiaan sih kan lo selalu bilang apa adanya ke gue." Silma menatap tak suka ke adiknya. "Emang lo juga?" tanya Salma kurang yakin. "Iyalah. Gue selalu bilang apapun masalah gue ke lo, masak sih bisa lupa?" "Ingat kok." Salma mengangguk. "Lha iya terus kenapa lo rahasiain sesuatu dari gue? Kita kembar dan gue rasain perasaan lo sekarang." "Gue juga, bisa rasain apa yang lo rasain," balas Salma. "Lha makanya itu jangan main rahasia-rahasiaan. Kita juga jaga rahasia satu sama lain dari dulu. Gue gak mau ada yang disembunyikan dari kita. Jadi kita harus sama-sama mengerti satu sama lain," ucap Silma penuh yakin. Namun ia tidak sadar bahwa dirinya lah telah menyembunyikan rahasia besar pada Salma tentang pembullyan yang dialaminya selama ini tapi ia malah menasehati adiknya supaya mau mengatakan sesuatu kepadanya tanpa menyembunyikannya juga. "Lo gak ngaca kah?" "Maksud lo apa, Sal?" "Lo sendiri yang sembunyiin sesuatu ke gue eh malah menasehati gue. Padahal apa-apa gue selalu cerita ke lo dan lo masih nyalahin gue?" Salma tidak habis pikir terhadap kakaknya kali ini. "Apa sih? Kan yang gue omongin itu benar. Gue gak pernah kok sembunyiin rahasia gue dari lo dan gue selalu cerita ke lo. Buktinya, ketika gue ada masalah sama Alfa kan gue selalu apa-apa minta saran ke lo meski saran lo itu buat gue gak puas." Silma menghembuskan napasnya kasar dan bersedekap d**a. "Soal pembullyan, lo ngalamin itu tapi gak mau cerita ke gue." Deg' "Engg-enggak kok." Silma mati kutu dan gugup sekarang mendapat skakmat dari adiknya. "Bilang aja, katanya lo gak mau sembunyiin rahasia dari gue dan kita harus saling terbuka, bukan?" tanya Salma seraya tersenyum miring dan sepertinya dugaannya itu benar. Dilihat dari gelagat kakaknya yang mencurigakan menurutnya. "Ya gue pernah mengalaminya," jawab Silma dengan satu tarikan napasnya. "Akhirnya ngaku juga. Kemarin itu mereka kan orang yang bully lo?" "Iya, benar. Tapi sekarang gue sudah tidak dibully lagi." "Bohong." "Beneran, Sal. Yang mengatasi semuanya itu Alfa." "Jadi apa yang lo alami seperti guyuran kotoran itu? Dari mereka?" "I-iya benar." Seketika emosi Salma kian meluap dan gadis itu berusaha menahannya. Mendengar langsung dari mulut Silma soal bullying, rasa tak terima kakaknya diperlakukan buruk menguar dan kepalan kedua tangannya makin erat. "Sal." Silma memegang pundak Salma tapi adiknya malah menepis tangannya. "Diamlah." Silma menatap adiknya yang menahan emosi karena dirinya. Tetaplah ia tidak bisa lama-lama membohongi adiknya apalagi mereka berdua itu kembar dan terikat oleh firasat yang kuat. Mereka terlahir bersama dan tumbuh dari kecil bersama. ... Sejak Silma mengaku berbohong kepada Salma. Salma mendiamkan kakaknya selama berhari-hari sampai di malam minggu tiba, Silma memohon pada adiknya untuk mau membantunya kencan malam ini bersama Alfa. "Lucu memang, siapa yang lo butuhkan di saat begini? Dan lo tega bohongi gue." Salma bersedekap d**a dan berada di ambang pintu kamarnya sendiri. Di depan kamarnya, ada kakaknya yang sedang memohon-mohon kepadanya. "Sal, kita itu sudah janji lho dan lo yang bikin ide ini. Gue mohon sama lo buat tepati janji kita kemarin." Pinta Silma dan nadanya terdengar penuh harap. "Gak, gue gak mau." "Sal, tolong jangan begini." Silma menarik tangan Salma saat adiknya akan masuk ke kamar dan menutup pintu. "Maafin gue. Tolong." Suara Silma bergetar dan menahan untuk tidak menangis tapi setetes air matanya sudah berjatuhan dipipinya. Salma menoleh dan menatap kakaknya yang tengah menangis tanpa suara. Silma takut orang tuanya mendengar dirinya menangis di kamar Salma. "Lo suka bikin gue marah, Sil. Lo egois dari dulu. Lo cuman mikirin perasaan lo sendiri. Apa peduli lo ke gue? Lo hanya ngerjain tugas gue doang padahal yang lebih penting dari itu sama-sama saling mengerti. Kita itu saudara, Silma. Kita dilahirkan untuk saling melindungi satu sama lain, lo sembunyiin rahasia dari malah bikin gue sakit hati." "Gue sembunyiin semuanya karena gue takut lo bisa nekat ke mereka. Gue enggak papa kok." "Lo disiksa sama orang terus gue merasa tidak apa-apa? Lo pikir gue gak punya perasaan. Gue hancur dan sakit hati mengetahui lo dibully. Gue susah payah dari dulu buat jagain lo karena lo begini sifatnya, sulit sekali mengerti orang lain dan hanya mikirin diri sendiri. Gue sakit, hati gue benci sama lo." "Salma, maafin gue. Gue janji gue gak berbohong lagi." "Basi. Lo bakal bohongin gue lagi." Salma menghempaskan tangan kakaknya yang memegangnya. "Enggak, gue emang gak bisa bohong ke lo lama-lama." Silma akhirnya memeluk adiknya dan mengucapkan kata maag berulang kali. "Gue kecewa sama lo, lo kayak gak menghargai gue yang selalu peduli ke lo dan apa-apa gue bantu saat lo minta tolong ke gue. Bahkan bohongin orang tua pun demi lo, gue lakuin meskipun dirundung ketakutan besar kalau suatu saat nanti orang tua kita tau kita berbohong seperti ini." Salma melepaskan pelukan dari kakaknya. "Gue gak mau mereka tau dan gue masih ingin merasakan pacaran. Gue penarasan rasanya pacaran dari dulu seperti apa. Lagian orang tua kita tidak mikirin kita yang suka penasaran ke hal-hal apapun termasuk pacaran. Mereka lihat kita itu bayi padahal kita itu sudah remaja. Sudah pantasnya kita merasakan apa yang namanya pacaran, mereka melarang berpacaran tapi gue akan tetap melakukannya diam-diam. Andai mereka tidak melarang kita berpacaran pasti deh, gue gak akan sembunyi-sembunyi begini dan gue sama kayak lo, gue juga takut sama orang tua kita kalau sampai tau. Tapi mau gimana lagi? Gue ingin banget." Silma menghembuskan napasnya berat. "Ayolah Sal, bantuin gue. Ini kencan pertama gue lho. Gue gak mau batalin dan sudah jam setengah delapan. Pasti Alfa lagi nungguin gue di tempat biasanya." Silma menarik tangan Salma dan mencium punggung tangan adiknya. "Hih apa-apaan sih lo, cium-cium tangan gue segala." Salma merasa risih dan menjauh dari kakaknya. "Please ya please." Tangan Silma tidak bisa diam dan kini berganti menangkup wajah adiknya lalu digoyangkan ke kanan dan ke kiri. "Salma ya," ucap Silma lagi saat adiknya hanya diam saja dan belum meresponnya. "Iya deh iya," balas Salma mengalah. "Yeay akhirnya!" teriak Silma senang lalu keluar dari kamar adiknya dan akan berganti baju untuk berkencan malam ini bersama Alfa. Salma menutup pintu kamarnya dan ia juga harus berganti baju. Agar Pandu dan Zena tidak mencurigai mereka berdua jika salah satu dari mereka hanya memakai pakaian biasa dan satunya pakaian untuk jalan keluar. Salma memilih pakaian simple, celama jeans, tanktop dan jaket denim sudah melekat di tubuhnya. Ia menguncir rambutnya dan memakai topi. Namun baru saja dirinya meraih tas, Silma datang ke kamarnya sambil membawa sebuaj tas kecil yang berisikan alat-alat make upnya. "Gue dandanin lo biar gak kuncel." "Gue maunya pake bedak doang." Salma menggeleng dan enggan wajahnya dirias. "Eitsss enggak, masih kurang." "Gue gak mau aneh-aneh." "Cuman pakai liptint sama maskara biar muka lo tidak pucat." Silma menarik Salma agar duduk di kasur sedangkan dirinya tetap berdiri. "Biar cantik juga." Lanjut Silma dan Salma hanya bisa pasrah saja. "Lo pakai kutek?" tanya Salma bingung melihat kakaknya memakai kutek padahal masih anak sekolah. "Lha kenapa? Bagus kok." "Lo masih anak sekolah, jangan aneh-aneh deh!" Salma menegur kakaknya. "Aneh apaan sih, lagian bisa dihapus kok kan pakai kutek waktu pergi kayak malam ini doang." "Bisa dihapus?" "Iya, Salma. Jangan norak deh!" "Hapus pakai minyak goreng atau minyak kayu putih? Sudah lo siapin alat hapusnya." "Ihh ganti lo yang b**o. Ya pakai cairan khusus dan memang buat hapus kutek. Ih gereget deh masak pakai minyak goreng?" "Ya biasanya gituan kan pakai minyak goreng buat ngilanginnya." "Hadeh." Setelah selesai semuanya, barulah mereka turun dari lantai dua dan menuju orang tua mereka yang tengah berada di lantai satu. "Ayah, bunda." Salma maju duluan karena Silma tiba-tiba menjadi gugup dan takut apa yang dikatakannya salah. "Wah kalian berdua mau kemana?" tanya Zena saat menolehkan wajahnya ke belakang lalu ia beranjak berdiri dan menghampiri si kembar. "Sudah cantik, pakaian bagus. Kemana?" Pandu juga menyusul istrinya dari belakang. "Lagi pengen jalan-jalan, kan besok hari minggu, Bunda," jawab Salma sembari mengulum senyumnya. "Iya, Bunda tau sih. Tumben aja keluar malam minggu." "Kita lagi suntuk aja di rumah, ingin refeshing begitu." Salma menggaruk tekuknya yang tak gatal. "Sudah, Bun. Biarin mereka jalan-jalan, mereka juga ingin merasakan udara malam." Pandu merangkul istrinya yang mencemaskan dua putri mereka. "Sebenarnya bunda berat mengizinkan kalian tapi dasarnya kalian itu wanita jadi bunda takut kenapa-napa." "Kita berusaha jaga diri kita, Bunda." "Jangan pulang malam-malam! Jam sepuluh harus sudah ada di rumah. Papa akan tidur kalau kalian berdua sudah pulang." Peringat Pandu pada Salma dan Silma yang tengah mencium tangannya untuk berpamitan. "Iya, Ayah. Kita usahakan pulang tidal sampai jama sepuluh." "Hati-hati ya!" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN