Part 35

2063 Kata
Part 35 "Salma." Silma memekik kegirangan saat masuk ke dalam mobil dan memeluk Salma. "Apa sih." Salma merasa risih dan melepaskan pelukan dari kakaknya. "Gue habis couplean ini. Katanya sih, kalau pakai gelang hitam begini tandanya sudah punya pacar. Ah senengnya gue malam ini." Silma menunjukkan gelang berwarna hitam yang melingkar indah dipergelangan tangannya. "Hmm." Salma berdehem saja merespon ucapan kakaknya. "Lo mah gak asyik, Sal. Gue lagi seneng begini harusnya lo ikut seneng dong." Silma menggerutu dan berdecak sebal mengetahui Salma mengabaikannya. "Tolong ngertiin gue juga Silma, gue lagi mood malam ini." "Ck, mikirin apa sih? Malam minggu begini malah gak mood." Silma mendengus lalu bersedekap d**a. Mereka pulang dengan selamat dan benar kata Pandu, pria yang masih nampak muda meski sudah memiliki tiga anak itu tengah menunggu si kembar di teras rumah. "Ayah!" Silma menghampiri ayahnya dan memeluknya. Ayahnya lebih menyenangkan daripada ibunya yang menurutnya terlalu tegas. "Bunda mana, Yah?" tanya Salma saat dirasa bundanya tidak di sini. "Bunda sudah tidur duluan, capek katanya. Ayo masuk ke rumah, anginnya kenceng banget!" titah Pandu pada dua putrinya dan dialah yang menutup pintu rumahnya setelah memastikan anaknya semua sudah berada di dalam rumah. "Untunglah bunda tidur, kalau gak ya ngomel-ngomel. Lebih suka ada ayah aja di rumah dan bunda bikin gak betah, berisik juga." Dumel Silma mengeluh karena bundanya tak seperti ayahnya yang santai-santai saja. "Silma jaga bicaramu! Jangan berkata seperti itu ke bunda kalau bunda tau, bunda akan sedih mendengarnya." Pandu menegur ucapan Silma yang menurutnya kurang ajar kepada Zena. Salma menghela napasnya pelan mendengar ucapan Silma yang keterlaluan. "Wajar bundamu begitu karena peduli ke kamu, Silma. Secapek-capeknya bunda tetaplah memberi perhatian ke anak-anaknya bahkan sakit pun anak-anaknya tidak ada yang tau kondisinya." Pandu menahan emosinya dan berusaha berkata lembut kepada putrinya. "Tapi bunda berlebihan. Sampai-sampai melarang anaknya berpacaran!" sergah Silma yang marah dan mengeluarkan unek-uneknya. "Jadi kamu punya pacar kalau begitu?" "Sil." Salma menepuk pundak Silma, bagaimana pun dirinya juga mengingatkan kakaknya. Silma seketika memegang bibirnya dan sadar ucapannya tadi sama "Siapa yang punya pacar?" Lebih mengejutkannya lagi seseorang yang mereka bicara berjalan menghampiri mereka. "Bunda," ucap Salma kaget melihat Zena yang tengah mengenakan pakaian tidur kini melangkah gontai ke mereka. "Salma atau Silma? Sudah bunda bilang jangan berpacaran ternyata kalian menyembunyikan sesuatu dari bunda dan ayah ya?" Zena menatap serius ke putrinya yang tengah berdiri di depannya. "Enggak, gak ada yang pacaran, Bun." Pandu membela si kembar dan yakin kalau mereka hanya asal bicara saja. Mata Silma memerah dan terlihat seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang menyesakkan dadanya saat ini. "Jangan urusin aku!" Setelah mengatakan itu Silma pergi berlalu dari harapan mereka dengab berlari. "Silma! Bunda belum selesai bicara! Yang sopan kamu!" teriak Zena yang berharap anaknya itu menurutinya. Tapi kenyataan tidak, Silma tetap menuju kamarnya tanpa mendengar lebih dulu ucapannya. "Silma." Suara Zena merendah membuat Pandu pun merangkulnya. "Bunda, nanti aku yang bilangin ke Silma ya." Salma menarik tangan bundannya pelan dan digenggam erat. "Ah iya, Sayang . Bilangin juga ke Silma kalau bunda tidak marah, bunda hanya ingin kalian mendengar ucap bunda dan tidak memotong pembicaraan orang tua." Zena membelai rambut Salma dan menyuruh anaknya itu untuk segera beristirahat. Salma mengangguk mengerti dan berlari kecil menuju kamarnya. Sebelum masuk ke dalam kamar, ia melirik kamar sebelahnya yakni kamar kakaknya yang sudah terkunci. "Dia berubah." ... Tarrr tarrr Suara keras berasal dari seorang lelaki remaja yang tengah berjongkok dan bertelanjang d**a. Di belakang ada seorang pria paruh baya sedang memecut punggung putranya tersebut. Tidak memerdulika betapa perihnya apa yang dilakukan kepada lelaki remaja yang sedari tadi mengeluarkan suara ringisan dan menangis tanpa suara. "Sudah dua puluh lima pecutan, Tuan." Seseorang datang mendekati pria paruh baya itu dan pria itu menghentikkan aksinya yang keji tadi. "Berdiri!" bentak pria itu pada lelaki remaja yang rasanya sulit untuk berdiri. "Argh, sakit." Suara lelaki remaja itu bergetar dan berdiri agak membungkukkan badannya. Ruangan gelap ini hanya diterangi lampu remang-remang saja. Tidak ada barang apapun di sini. "Sudah kubilang jangan kabur dari rumah, ini akibatnya kamu melanggarnya dan jika kamu ulangi lagi, hukuman akan bertambah." Sosok pria keji terhadap anaknya sendiri itu bernama Ander Malvano dan putranya yaitu Malvin. "Mengerti!" Malvin mengangguk saja sebagai jawaban dan wajahnya menunduk. "Sana keluar!" usir Ander pada Malvin. Malvin keluar dari ruangan yang selalu menjadi mimpi buruknya setiap akan melakukan kesalahan atau melanggar aturan dari ayahnya. Di ambang pintu, Malvin menerima bajunya dari suruhan ayahnya lalu dipakai dan pergi ke kamarnya. Di tangga, ia bertemu mama tirinya bersama adik angkatnya. Celine---masih ingatkah kalian wanita yang menyebabkan Pandu dan Zena bersama di dalam cerita Because Of You? "Malvin, sudah pulang, Nak?" Malvin menghentikan langkahnya dan menatap datar ke Celine. Lalu pandangannya beralih pada seseorang yang berdiri di sebelahnya Celine dan seumuran dengannya. "Urus saja anak kesayanganmu!" "Malvin," lirih Celine saat melihat Malvin meninggalkannya setelah membentaknya. "Sudah, Mom. Aku mau ke kamar dulu." "Iya, Ky. Momy masih mengurus kepindahan sekolahmu." Rizky Maulana atau yang kerap dipanggil Kiky. Masih ingatkah kalian Kiky itu siapa? Jelas yang pernah membaca Because Of You pasti mengenal Kiky. "Mom, boleh nggak aku minta tidak satu sekolah sama Malvin?" "Kenapa? Kamu takut sama Malvin? Tidak usah takut, ada mommy yang siap melindungimu." "Emm iya, Mom. Memang aku tidak mau satu sekolahan sama Malvin." "Oke, nanti mommy yang akan bilang ke daddy." ... Besok paginya, Silma merasakan tidak enak di bagian perutnya saat bangun tidur dan setelah minum air putih secukupnya, segera beranjak pergi ke kamar mandi. Itu pun tidak hanya satu kali ke kamar mandi dan tubuh Silma makin melemas. Selain melemas, tubuhnya juga merasa terbakar bagian tubuhnya tempat keluarnya kotornya terasa panas sekali. "Sakit banget." Silma merintih di bawah lantai sambil memegangi perutnya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya serta namanya dipanggil berulang kali. "Silma ayo bangun! Sudah bangun belum?" tanya Zena, bundanya khawatir karena kamar anaknya masih tertutup sedangkan anak-anaknya yang lain sudah rapih semua dan akan sarapan pagi ini. "Sudah." Cicit Silma. "Kenapa suaramu begitu, Sil? Kamu kenapa?" Kekhawatiran Zena makin bertambah mendengar suara putrinya seperti tengah kesakitan. "Coba pintunya dibuka," lanjut Zena. "Ayolah Silma, bunda khawatir banget lho." Silma tidak kunjung menjawab membuat Zena makin mengeraskan suaranya dan memohon pada putrinya untuk segera membuka pintu kamarnya. Akhirnya Silma mau membukakan pintu tapi begitu bundanya masuk, Silma jatuh lagi ke lantai sambil tetap memegangi perutnya. "Ya ampun, Nak. Kamu sakit?" Zena panik dan membantu Silma berdiri. Wajah Silma pucat dan juga tubuhnya panas setelah diperiksa oleh Zena. "Kamu kok bisa begini, Nak?" Kini Silma meringkuk di atas kasur dan merintih kesakitan. Zena pun menelpon suaminya untuk segera datang ke kamar Silma. Beberapa menit kemudian... "Nona Silma terkena diare akut tapi tenang, masih bisa ditangani karena belum sampai parah sekali jadi nanti saya resepkan obat. Nona Silma mengalami gangguan pada pencernaan, saya sarankan untuk makan makanan sejat rendah serat, hindari makanan yang membuat diare semakin parah dan perbanyak minum air karena tubuh Nona Silma terus mengeluar cairan sehingga tubuh menjadi lemah sekarang," ucap seorang dokter pribadi keluarga Pandu tersebut menjelaskan kondisi Silma saat ini. "Diare," gumam Salma. "Astaga, Nak. Kamu habis makan apa sih?" Zena sudah duduk di sebelah putrinya sembari membelai rambut Silma sedangkan Silma menutup wajahnya dengan guling dan meremas gulingnya yang digunakan melampiaskan rasa sakit perutnya. Seorang pembantu mengantarkan dokter tersebut pergi setelah perbincang sebentar dengan Pandu. "Kemarin makan apa?" tanya Pandu kepada Salma, si adik. "Emm makan pedas intinya," jawab Salma asal tapi dipastikan itu benar sebab Silma masih merintih kesakitan. "Sudab tau kalau makan makanan pedas itu harusnya dibatasi, tapi kamu tidak baik-baik saja kan, Sal?" tanya Zena mencemaskan kondisi kesehatan si kembar. "Aku baik-baik saja kok, Silma yang makan paling banyak." "Oh gitu, lain kali makannya dijaga ya biar tidak keulang lagi." Pandu menepuk bahu Salma. "Kalian makan dulu ya, bunda masih ingin di sini." Zena menyuruh Pandu, Salma dan Juna sarapan lebih dulu. "Nanti setelah sarapan, aku langsung berangkat." Pandu mencium kening Zena lalu keluar dari kamar Silma di susul Salma dan Juna di belakangnya. "Iya, Ayah. Hati-hati." Zena mengangguk lalu mencium tangan Pandu. "Sehat anak ayah." Setelah mereka pergi, kini Zena menyuruh putrinya untuk tidak menutup wajahnya. "Tidak usah ditutup, nanti gak bisa napas kan jadi sesak," ucap Zena berbicara lembut. Tidak peduli apa yang Silma lakukan kemarin kepadanya. "Bunda bisa pergi gak? Aku ingjn sendirian di kamar." "Bunda tidak bisa tenang kalau anak bunda ada yang sakit." "Bunda kerja aja sana, jangan urusin aku!" Silma mendorong tangan bundanya yang menyentuh kepalanya bermaksud mengusir Zena. "Kerja itu bisa nanti yang terpenting memastikan dirimu sudah tidak separah tadi." "Aku tidak suka ada bunda di sini." Silma menggerutu kesal lalu membelakangi bundanya. "Silma." "Aku tidak mau mendengar suara bunda." Silma menggelengkan kepalanya dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Zena memandang sendu pada putrinya, rasanya ingin marah mengetahui sikap Silma yang makin berani kepadanya tapi di sisi lain dirinya tidak mau marah besar kepada putrinya. Ia hanya merindukan masa-masa kecil anak-anaknya. Akan tetapi, ia harus sadar bahwa anaknya telah tumbuh remaja dan ujiannya juga bertambah berat, merasakan emosi labilnya si kembar di masa-masa remaja mereka sekarang. "Jujur saja, kamu punya pacar kan? Jadi kemarin kamu bersama pacarmu bukan dengan Salma? Salma tampaknya baik-baik saja." "Aku tidak mau menjawab, itu privasiku." "Sil--" "Bunda aku mohon keluarlah, aku tidak mau mendengar omelan dan aku sedang sakit. Aku butuh ketenangan dan bukan gangguan!" Zena mengusap dadanya lalu beranjak berdiri dan meninggalkan kamarnya. Hati orang tua mana yang tidak terluka mendengar suara keras dari anaknya kepadanya. "Nak, asal kamu tau. Perjuangan bunda ke kalian dulu sungguh berat. Tapi mengapa bunda dibalas seperti ini? Apa yang salah dari bunda? Bunda hanya mengkhawatirkanmu dan sayang banget ke kamu serta anak-anak bunda yang lain." ... "Dia tidak masuk kah?" Salma melihat bangku sebelahnya yang masih kosong dan bunyi bel masuk sekolah sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. "Atau telar?" Tanpa sadar, Salma merasa penasaran pada sosok lelaki itu sebab kemarin Malvin nampak baik-baik saja walau masib menjanggal dihatinya saat Malvin digeret paksa oleh beberapa orang berseragam hitam. "Apa kemarin malam dia diculik?" Salma masih berbicara sendiri dan membekap mulutnya. Salma langsung bersikap biasa ketika guru mata pelajarannya jam ini sudah masuk ke dalam kelas. Sebelum pelajaran seperti biasa yakni berdoa, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan terakhir adalah absen. Ketika nama Malvin dipanggil, seseorang menyahut kalau Malvin sedang sakit lantas saja Salma menoleh dan orang itu adalah ketua kelas yang duduknya pula di seberangnya Malvin. "Dia sakit?" gumamnya lagi. Tak terasa waktu kian berlalu, sudah tiga hari Malvin masih saja belum masuk ke sekolah. "Dia sakit apa ya? Kok tiba-tiba gak masuk beberapa hari ini." Salma makin merasa cemas saja dan berencana pulang sekolah nanti, mampir ke rumah Malvin sebentar. "Gue takut, gue terakhir ketemu dia dalam kondisi yang menjanggal." ... "Sayang, maafin aku. Aku yang buat kamu jadi sakit begini." Suara seseorang dari seberang sana dan nampak wajah mengkhawatirkan di layar ponselnya. Ya, Silma sedang melakukan video call bersama kekasihnya di kamarnya. "Dari kemarin minta maaf mulu. Itu kan salahku sendiri yang ngajak kita makan pedes-pedes hehe." Silma terkekeh pelan meski dirinya masih merasa lemas ditubuhnya. Silma memposisikan tubuhnya tengkurap dab ada bantakan di dadanya menjadi tumpuannya saat sedang video call sekarang bersama Alfa. Alfa berada di ruang kelas dan kondisinya juga ramai yang sepertinya dilanda jam kosong. Senangnya Silma, tidak ada Silvia di sebelah Alfa sebab kata Alfa sendiri jika Silvia disibukkan dengan lomba yang akan diikutinya mendatang. "Aku kepikiran terus sama kamu, Sil. Cepat sembuh ya biar ada yang nemenin aku istirahat." "Ciee gak bisa ditinggal sendirian." Silma tertawa dan meledek muka masam Alfa terpampang jelas di layar ponselnya. "Kangen kamu jadi pengen ke rumahmu." "Jangan dong! Besok aku masuk sekolah kok. "Beneran? Kok gak bilang dari tadi sih?" Alfa antusias mendengar ucapan Silma yang katanya besok kembali masuk ke sekolah. "Hehe sengaja aku bilang akhir-akhir. Buat kejutan sebenarnya tapi kamu sedih begitu jadi gak tega kalau mau kasih kejutan." "Hilih bilang aja baru kepikiran besok sekolah." "Enggak kok." "Kalau masih sakit jangan dipaksa masuk, kondisi tubuhmu yang harus diutamakan." Alfa khawatir sekali dengan keadaan Silma. Ia meruntuki dirinya sendiri yang membuat Silma sakit meski gadis itu sudah mengatakan jika bukan salahnya. "Iya, Alfa. Aku sudah tau. Kamu juga jaga kesehatan ya." "Iya, ya sudah aku matikan dulu ya." "Sudah ada gurunya kah?" "Iya, kamu dengar kan tadi?" Silma mengangguk samar. Alfa menutup teleponnya secara sepihak. Silma kembali merebahkan tubuhnya. "Sampai kapan aku harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Ini melelahkan sekali." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN