Part 49

2446 Kata
Ayah Malvin : Ander Kakek Malvin : Leo Maaf kalau ketuker, bisa dibedakan melalui sikapnya ke Malvin Part 49 Pulang sekolah, Silma tidak pulang terlebih dahulu sebab dari kemarin mengikuti latihan yel-yel buat tanding basket besok. Tapi Silma selalu tidak bersemangat sebab Alfa ada di sini, padahal dari kemarin tidak mengikuti latihan ini dan ia pikir sebelumnya Alfa punya kesibukkan lain. Hal yang membuat risih sekarang, Alfa masih suka memperhatikannya dan Silma tidak nyaman sekali. Herannya lagi Silvia dan teman-temannya tidak pernah ikut latihan. Mereka hanya melihat dari kejauhan sambil memakan cemilan. Namun para guru yang ada di sini tidak ada yang menegur mereka, mereka seperti hidup bebas di sekolah dan mungkin kalau orang tua Silvia bukan donatur terbesar di sekolah ini pastinya mereka tidak diistimewakan. Silma menyesal sekolah di sini yang dikiranya bagus karena banyak murid berprestasi, tapi tidak bagus terhadap mentalnya dan Silma yang memiliki mental lemah pun merasa hidupnya selalu terancam sekolah di sini. Sebuah kertas meluncur tepar di wajahnya dan Silma terlonjak kaget. Silma yang sedari tadi sibuk melamun, takut dimarahin oleh guru karena tentunya ditatap semua orang di sini dan saat ia celingukkan di sini malah semua orang di sini sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Kemudian Silma agak membungkukkan badannya, melihat kertas berwarna putih yang digulung asal dan terlihat ada tulisan kecil di sana. Silma mengambil kertas itu yang entah siapa dilempar tepat di depan wajahnya. Perlahan Silma membuka kertas itu dan membacanya. 'Meskipun lo dan Alfa telah putus. Tetap saja lo masih bersangkutan dengan Alfa dan tidak ada rasa aman lo di sini. Andai lo gak dekat Alfa, lo tidak akan gue ganggu tapi karena lo bikin muak gue, tunggu saja. Gue bakalan main-main ke lo (Emot tertawa lebar)' Silma meremas kertas itu dan mendongakkan wajahnya. Di sana Silvia bersama teman-temannya memberikan jempol ke bawah kepadanya. Silma menggeram emosi dan sudah menebak siapa dalang yang melemparnya kertas tersebut. Ia yakin pasti salah satu teman Silvia ada di sekitarnya saat ini. Mereka akan terus menganggunya? Salah apa dirinya kepada mereka? "Urusan mereka itu sama Alfa, terus kenapa gue disangkut pautin segala? Kayak kurang kerjaan aja ganggu orang. Lagian gue udah gak mau tau lagi tentang Alfa." Silma menghela napasnya lelah. Setelah latihan yel-yel berakhir, Alfa menghampiri Silma yang berjalan keluar dari gedung indoor basket. Sebab nanti gedung basket itu akan digunakan untuk latihan terakhir anak basket yang akan bertanding besok lagi dan diselenggarakan di SMA Leander. "Silma." "Gue sudah bilang jangan ganggu gue lagi." "Beneran tidak ada kesempatan satu kali lagi buat gue?" tanya Alfa dan Silma sudah bosan mendengar pertanyaan yang serupa. "Gara-gara lo Alfa, gue hidup gak tenang di sini. Gue capek tau gak dan menjauhlah dari kehidupan gue." Suara Silma terdengar frustasi dan Alfa masih saja memaksanya mengajaknya balikan di saat cowok itu sudah dirumorkan balikan bersama Silvia. "Maka dari itu kita backstreet." "Itu mau lo, enggak bagi gue dan sudah cukup gue dicap jelek oleh semua murid di sini, Alfa. Tolong mengertilah," pinta Silma dan ia juga tak sengaja menatap Silvia bersama gengnya memantaunya dari kejauhan. "Tapi Sil---" "Jangan paksa dia!" Seseorang tiba-tiba datang dan menahan tangan Alfa yang akan memegang lengen Silma. Silma menoleh wajahnya cepat dan terkejut melihat sosok lelaki yang berdiri di sampingnya. "Lo siapa hah! Cowok cupu yang berani ganggu hubungan kita." "Cukup Alfa! Dia bukan orang yang menganggu kita!" teriak Silma kesal. "Tapi dia yang selama ini bersama lo setelah hubungan kita berakhir. Dia ornag ketiganya." "Dia teman gue dan lo jangan sembarangan nuduh teman gue kayak gitu! Yang jadi penganggu kita itu bukan Kiky tapi pacar lo tuh yang mau ke sini." Silma menggeret Kiky dan mengajaknya segera pergi saat tau Silvia akan mendekat ke mari. "Haduh sudah kabur duluan, padahal pengen ngajak main bareng." Silvia kini bergelayut manja di lengan Alfa. "Iya kan, Alfa? Kok diam saja?" Silvia menatap Alfa sembari tangannya mengelus dagu kekasihnya tersebut. ... "Lo mau ajak gue kemana?" tanya Salma bingung kepada Malvin. Sebab arah jalan pulangnya bukan ke arah yang tengah dilewati mobil yang dikendarai oleh Malvin. Ternyata Malvin sering membawa mobil mewah milik kakeknya sejak SMP, lelaki itu memang sultan dan sedikit suka semena-mena pula. Meski tadi sempat ditegur oleh Leo, kakeknya karena sebenarnya dilarang membawa mobil mewah di sekolah. Malvin hanya hari ini saja membawa mobil kakeknya karena takutnya tidak diberi uang saku tambahan dari Leo. "Entah." "Gimana sih?" Salma berdecak sebal karena Malvin tidak serius menjawab pertanyaannya. "Gue pengennya sih keliling aja." Malvin seperti merasa waktu berduaan bersama Salma itu sangat penting dan ingin menyimpan memori kebersamaan ini diingatannya. Sungguh menyenangkan hatinya sebab ia jarang keluar rumah untuk sekedar main dan pulang sekolah selalu agak malam dengan alasan latihan basket supaya ayahnya tidak mencurigainya. "Gak jelas banget," cibir Salma. "Emang gue gak jelas sih. Eh ya, lo kan sering ikut tanding futsal dan kenapa lo gak mau ikut eskul futsal lagi di SMA?" tanya Malvin baru ingat dan penasaran alasan dibalik Salma berhenti mengikuti ekstrakulikulernya. "Gue males aja sih," jawab Salma sekedarnya. "Males itu penyakit." "Hmm ya, gue tau." Salma mengangguk saja dan memang ia sudah malas bermain bola. Teringat di SMP, kakinya selalu menjadi sasaran empuk para lawannya dan berulang kali Salma cidera pada kakinya. Akhirnya Zena melarangnya ikut ekstra kulikuler tersebut. Walau jauh dilubuk hatinya masih ingin rasanya bermain bola lagi. "Sayangnya gue gak bisa main sepak bola," ujar Malvin sambil tertawa. "Lo gak bisa main sepak bola?" tanya Salma tercengang dan ia mengira Malvin juga bisa bermain bola. "Gak bisa, gue cuman bisa main basket sama skateboard doang." "Ya sudah sekarang gantian gue yang ngajak main lo sepak bola." Sekarang Salma menemukan ide agar mereka berdua tidak bosan hanya berkeliling saja. "Gue gak punya sepak bola dan gue gak mau antar lo pulang. Ntar keblabasan dan mau balik." "Beli lah." Salma memutar bola matanya saat mendengar ucapan Malvin yang tidak mau dirinya pulang. "Ide yang bagus." Malvin menyunggingkan senyumnya lebar dan kini menuju toko peralatan olahraga yang letaknya juga tidak jauh dari sini. ... "Salma belum pulang ya, Sil?" tanya Kiky setiba dirinya dan Silma di rumah. Rumah Silma nampak sepi, ia tak menyangka bisa ke rumah ini lagi dan rumah mewah si kembar terdapat banyak perubahan. Rumah ini semakin megah saja dan halaman depan rumah juga luas dengan dua gerbang. Gerbang masuk dan keluar. Kiky akui orang tua si kembar semakin sukses dan ia ikut senang mengetahuinya. "Belum kayaknya. Dia jalan sama temannya tadi katanya." Ada rasa tak rela Silma mengajak Kiky ke rumahnya tapi bagaimana lagi, Kiky seringkali menyebut Salma dan ingin menemui adiknya itu. Kiky mengangguk dan mengerti sebab biasanya Silma setelah pulang sekolah mobilnya menuju ke sekolah Salma. Namun karena Silma ada latihan yel-yel setiap pulang sekolah dari kemarin-kemarin akhirnya Salma pulang sendiri entah bareng temannya atau menaiki transportasi umum. "Ya sudah, lo tunggu di sini ya. Gue mau ke kamar dulu, naruh barang-barang gue yang pada berat semua nanti kena omel sama bunda." Silma menyuruh Kiky untuk duduk dulu di ruang tamu sedangkan dirinya tengah berlari kecil menuju kamarnya. Kiky tersenyum memandangi beberapa foto yang terpajang di dinding. Ada foto Salma dan dirinya sewaktu masih SD. Ia yakin Salma juga rindu kepadanya. Terbukti kalau fotonya yang bersamanya masih ada. Selang beberapa menit kemudian, ada seseorang yang datang ke rumah Silma dan ia pikir itu adalah Salma. Ternyata Juna, adik si kembar. Juna menyapanya dan mengajak mengobrol sebentar lalu pergi. Silma sudah kembali dan ada seorang pembantu membawakan minuman berserta cemilan untuknya. "Salma cuman bilang jalan sama temannya setelah pulang sekolah, gitu doang?" "Iya." "Lo gak tau pulangnya jam berapa?" "Enggak, ya tidak biasanya sih dia lama pulangnya. Bentar ya gue chat dia lagi." Silma membuka ponselnya. Sebenarnya Kiky juga memiliki nomer Salma karena baru saja diberikan oleh Silma. Tapi ia tak punya keberanian untuk menghubungi gadis itu sebelum dirinya tau kalau Salma benar-benar merindukannya. Karena ucapan Silma kemarin tentang Salma yamg tidak mau ketemu dengannya itu membuatnya tidak buru-buru untuk menghubungi Salma. "Katanya masih lama sih dan slow respon sekarang karena fokus main." "Oh begitu.," Kiky merasa lesu mendengar penjelasan dari Silma. "Ya tunggu lagi dengan sabar ya." "Sepertinya gak usah, besok aja kan masih ada waktu yang lain. Soalnya gue lagi sibuk les karena mau ikut olimpiade." "Ikut olimpiade?" "Ya setelah ulangan minggu depan." "Mapel apa yang lo ikuti?" "Fisika, doain gue menang ya." "Iya." Silma ikut berdiri begitu melihat Kiky beranjak berdiri. "Oh ya, kayaknya kita gak bisa bareng-bareng kayak biasanya minggu depan." "Ah iya benar, jam berangkat kita beda sama ruang buat ulangan." "Iya ih, jadi gue gak bisa berguru ke lo." "Masih bisa, lo tanya aja ke gue." "Nanti lo merasa terganggu." Silma mengantar Kiky sampai di teras rumahnya. "Enggak kok, ilmu juga harus dibagi. Gue gak suka sih sombong sama kepintaran, karena gue juga ada kok yang gak gue kuasai dan gue lemah dalam bidang non akademik. Siapapun orang yang mau minta gue yang ngajari ya ayo-ayo aja, kecuali kalau mencontek baru deh gue menjauh dan bagi gue itu sikap jelek. Gue gak suka hehe." Kiky menyengir lebar. Setelah itu Silma memanggil sopirnya. Sopirnya tengah bersama sopir pribadi Kiky di halaman belakang rumah dan Silma lewat sisi kiri rumahnya sambil berteriak. "Suara lo cempreng banget kayak ayam." Kiky tertawa meledek Silma yang kelelahan meneriaki sopirnya dan gadis itu sudah kembali ke teras. "Cantik begini dibilang suara ayam." Silma mengibaskan rambut panjangnya karena merasa gerah. "Iya iya cantik." Kiky mengulas senyum tipis sambil menepuk puncuk rambut Silma. Sedangkan di tempat lain... "Kita main bola dimana?" tanya Salma bingung ketika Malvin bari saja selesai membeli bola sepak di toko peralatan olahraga. "Itu ada lapangan." "Gue baru tau di sana ada lapangan." "Iya, karena biasanya tempatnya ditutup. Sekarang dibuka karena banyak anak kecil yang habis pulang dari sekolah selalu ke sana buat main. Mungkin ramai juga." "Oh begitu, terus mobil lo?" "Masuk ke dalam, di sana disediakan tempat parkir." "Itu ada yang punya?" "Yang punya ya daerah ini kok. Aman aja." Kemudian mereka berdua masuk ke mobil dan Malvin mulai menjalankan mobilnya memasuki lapangan yang gerbangnya dalam kondisi terbuka. Mereka berdua menjadi tontonan anak-anak kecil hingga dewasa, mereka hanya menonton mobil mewah berwarna putih tersebut dan mobil itu pula yang menarik perhatian mereka saat ini. Malvin keluar lebih dulu lalu disusul Salma. Untung saja Salma selalu membawa baju ganti dan sempat mengganti pakaiannya lebih dulu. Karena awalnya ia dan teman-temannya berencana ke mall, namun Malvin ingin mengajaknya main akhirnya teman-teman Salma mengerti dan mengundurkan jadwal jalan-jalannya di mall. "Luas banget, gue kira lapangannya kecil." "Emang luas, lo kira kecil karena ada ruko di depan jadinya kayak kelihatan tempat ini kecil." Malvin mulai menendangi bola sepak. Salma mengejar Malvin dan merebut bola dari kaki Malvin begitu mudahnya. "Ayo buat gawang lebih dulu." Mereka mencari tempat yang nyaman untuk bermain bola berdua dan tidak terganggu oleh anak-anak lain yang juga sedang bermain bola. Malvin dan Salma sama-sama membuat gawang dengan meletakkan batu besar di sisi kanan dan kiri. Mereka berdua mengira-ngira sendiri jaraknya lawannya. Sebelum bermain, Malvin dan Salma suit lebih dulu untuk mengetahui siapa yang duluan bermain. Ternyata Malvin yang bermain duluan, segera Salma mengejar Malvin lagi. Keduanya saling berebutan namun Malvin berulang kali gawang buatannya dijebol oleh Salma, Salma mengejek Malvin yang tidak bisa merebut bola darinya. Sekarang gantian, kemarin Malvin yang meledeknya hanya bisa mendribble bola basket saja nah kini Malvin hanya bisa menggiring bola saja. Malvin tidak bisa menendang bola secata lurus, selalu saja bola yang ditendang miring dan tidak bisa sama sekali merebut bola dari Salma yang sangat lincah serta gesit bermain bola. Malvin mengakui bahwa Salma memanglah pandai dan tak salah pula pernah mendapatkan juara di berbagai jenis pertandingan. Setelah satu jam bermain, sekarang Salma mengajari Malvin cara bermain sepak bola dengan benar. Malvin merasa kesulitan karena ingin rasanya tangannya yang bermain bola bahkan tangannya sesekali memegangi bola sepak lalu dipantulkan layaknya dia bermain basket saking geregetan tidak bisa main sepak bola. Salma tidak bisa menghentikkan tawanya dan ada aja tingkah Malvin yang membuatnya sakit perut. Selesai bermain, mereka berdua duduk selonjoran di bawah pohon sambil menikmati es teler yang baru saja Malvin beli di pinggir jalan. "Btw, lo senang gak hari ini gue ajak jalan?" tanya Malvin kepo pasa Salma. "Emm seneng." "Syukurlah, gue juga ikut senang dengarnya." "Gue bahagia sama hal-hal yang sederhana kayak begini sih. Tapi mobil lo iru terlalu sederhana banget," sindir Salma. Malvin tertawa. "Kelihatan menonjol dari yang lain, gak masalah kan beda sendiri." "Lagian waktu itu gue cuman bercanda doang eh beneran lo bawa mobil." Salma menggelengkan kepalanya. "Itu namanya bukti bukan cuman omong doang." "Iya deh percaya." "Jadi lo percaya sama gue?" "Entah." "Halah pasti gitu lagi jawabannya." Malvin mendengus sebal. "Lo dulu kayak gak mau dekat sama gue, sekarang malah pengen ngajak gue main terus," ujar Salma lalu menolehkan wajahnya ke samping. "Gue suka aja ada di dekat lo kayak begini. Lo beda dari cewek lain yang gue deketin," balas Malvin. "Jadi, lo deketin banyak cewek ya?" Dahi Salma berkerut bingung. "Kenapa emang? Cemburu?" Malvin malah menggodanya padahal Salma serius ingin mendengar apakah benar atau tidak Malvin saat ini tengah mendekati banyak cewek lain. "Ngapain gue cemburu? Kayak kurang kerjaan aja." Sewot Salma. 'Padahal gue pengen lo jujur sama perasaan lo sendiri, nyatanya lo tetap gengsi tapi lucu juga sih ekspresi wajahnya ini'---ucap Malvin dalam hatinya. "Sewot banget sih." "Gak usah cubit pipi gue." "Habis lo kalau marah gini gemesin tau gak, pantes bokap lo suka godain lo sampai cubit begini dan wajah lo juga nurun semua dari wakah bokap lo yang ganteng. Eh masih gantengan gua sih." Malvin mengelus dagunya dan tak mau kalah ganteng dari ayahnya Salma. "Bokap gue lebih ganteng dari lo." "Gantengan gue." Malvin mengedipkan kedua matanya bersamaan dan Salma pun tertawa kecil. "Ya sudah, ini udah mau maghrib. Ayo pulang!" "Gue kembalikan mangkuk esnya dulu." "Ya, lo tunggu di sana aja. Gue keluarin mobilnya." Salma mengangguk dan pergi berniat mengembalikan mangkuk es teler yang mereka pesan tadi. Di sisi lain Malvin masuk ke dalam mobil dan tidak sengaja maniknya menatap sesuatu di sampingnya. "Dompetnya Salma." Malvin akan memindahkan dompet Salma ke tempat yang aman malah menemukan selembar foto jatuh dari sela-sela dompet milik Salma tersebut. Malvin mengambilnya dan melihat foto itu. Ia teringat kalau foto ini adalah foto Salma bersama temannya sewaktu SD. Ketika Malvin mengembalikan foto itu, ia juga menyukai sebuah tulisan kecil di belakang foto dan membaca secara teliti tulisan itu. "Rizky Maulana." "Kiky." Tubuh Malvin membeku seketika dan paham siapa pemilik nama seseorang itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik angkatnya. Pikiran Malvin berkecamuk saat tiba-tiba teringat lagi Salma pernah mengatakan kalau temannya itu diadopsi. "Jadi, sahabatnya Salma itu dia?" Perasaannya kini bercampur aduk, cemas dan khawatir mendominasi pikiran berserta hatinya. "Sial!" "Gue gak terima." Malvin memukul kasar stir mobilnya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN