Part 36

1807 Kata
Part 36 "Berhenti di sini saja, Pak!" Perintah Salma kepada sang sopir untuk menghentikkan mobilnya di depan rumah sebelah rumah Malvin. Salma keluar dari mobil dan berdecak kagum memandang rumah Malvin yang begitu mewah sekali. Ia tidak kaget lagi karena Malvin juga bukan orang biasa sekali, anak dari pengusaha tambang dan juga kakek memiliki beberapa bisnis selain mengajar di sekolah. Kepintaran Malvin pasti menurun dari keluarga ayahnya sendiri sedangkan ketampanannya menurun dari wajah mendiang mamanya. Salma tau semua berkat Cerry yang dirinya suruh mencari tau tentang Malvin. Kehidupan keluarga Malvin pun juga tidak pernah diperlihatkan ke publik dan sangat privasi sekali. Satu langkah, Salma melangkah namun malah mundur kali dan itu berulang kali dilakukannya. Rasa gengsinya tiba-tiba datang membuat pikiran dan hati tidak sejalan. Sehingga Salma memilih kembali ke mobil dengan degub jantungnya kian berdebar. "Gak jadi, Non?" tanya sopirnya. "Enggak deh, Pak. Kita balik aja." Salma menggeleng. Ketika mobilnya mulai berjalan, Salma menoleh ke arah samping dan ada sebuah mobil lewat menarik perhatiannya, seseorang di dalam mobil itu sekilas mirip seseorang yang pernah bersamanya di masa lalu. "Apa itu Kiky?" Salma tetap mengikuti mobil itu sampai mobil itu terparkir di dalam rumah, rumah yang diketahui tempat tinggalnya Malvin. "Ah mungkin temannya Malvin itu." Salma menghembuskan napasnya seraya mengangguk pelan. Setiba di rumah, Salma melihat kakaknya yang tengah sendirian di ruang meja makan. Salma yang haus memang menuju ke dapur duluan sebelum ke kamarnya. "Lo belum makan kah?" tanya Salma heran melihat kakaknya yang sedang makan seperti tidak pernah makan selama setahun. Benar-benar nampak rakus. "Belum makan siang aja." "Gak mungkin deh, pasti baru turun kan lo? Karena bunda gak ada di rumah." Salma duduk setelah mengisi air ke dalam gelas kaca yang dipegangnya. Salma meneguk perlahan air putih itu yang langsujg menyegarkan tenggorokan yang sudah kering sedari tadi. Gara-gara botol minumnya sudah habis saat di sekolah. "Gue males aja ada bunda. Gue ingin menghindarinya dan tidak mau mendengar suaranya." "Lo durhaka banget deh jadi anak." "Terserah lo bilang apa, Sal. Karena lo gak diposisi gue jadi lo gak tau apa gue rasain." Silma mendengus sebal lalu meneguk air putih setelah menyelesaikan makan siangnya. 'Silma emang kalau lagi gak waras ya begini'---batin Salma yang menyayangkan sikap Silma makin berubah menjadi lebih buruk saja. "Lo kenapa sih jadi begini? Kayak orang sok banget deh." Salma menatap tidak suka ke kakaknya. "Gue emang gak di posisi lo tapi gue cuman minta, tolong hormati bunda. Ya gue tau, bunda melarang kita pacaran tapi di sisi lain bunda itu khawatir anaknya kenapa-napa karena jaman sekarang juga tidak seperti dulu. Bunda cemas saja tapi kalau lo mau berterus terang dan tidak menghindarinya, pasti deh bunda bakalan ngerti kok. Sebenarnya apa sih yang kurang dari bunda? Bunda sudah perhatian penuh ke anaknya, apa masih kurang?" "Bunda gak ngertin gue." "Ck ck Silma, kenapa lo itu selalu bilang begitu ke tiap orang? Kalau lo mau dimengerti, lo harusnya mengerti orang itu balik. Egois lo makin parah aja semenjak masuk SMA. Apa jangan-jangan karena pacar lo itu?" "Jangan sangkut pautin dia, Salma! Dia itu baik dan suka kasih aku perhatian. Mengalah dan pemaaf duluan." "Iya karena masih bucin ke lo. Nanti kalau sudah enggak betah, lo bakalan ditinggal kan mampus." "Lo bikin gue muak Sal! Sana lo pergi!" "Lo mau jadi si pembully kan? Sok semena-mena ke orang lain." "Iya! Gue pengen semua orang tau kalau gue ini anak orang kaya biar gak ada yang bully gue lagi dan gue bakalan punya banyak teman. Gue capek sembunyiin identitas gue, Sal!" teriak Silma menggema di ruang makan. Sampai seorang pembantu datang menghampirinya, namun saat tau mereka bertengkar akhirnya pembantu itu pamit pergi sebab tidak mau ikut campur urusan anak majikannya. "Ya sudah sana, pamerin sana! Lo punya harta banyak, lo punya segalanya. Sana pamerin aja! Cari teman bakalan mudah dan jadi anak populer di seluruh kota ini atau bisa luar kota? Silakan. Gue gak masalah, asal lo tau ya dengar ucapan lo ini bikin gue emosi. Tapi gue tahan, pikiran gue masih sehat dan belum labil sekali kayak lo. Ingat saja, kita masih dalam proses pertumbuhan jadi rasa labil dari diri kita akan keluar dan ini terjadi ke lo." "Gue terserah ke lo aja, Sil. Emang lo masih dibully? Enggak kan? Katanya Alfa bisa lindungi lo? Jadi gak usah takut lagi. Gunanya ada pacar itu siap melindungi juga kan? Silma pun terdiam dan mengingat sikap Alfa yang terlalu lemah melindunginya. Bayang-bayang bullying masih terputar jelas diingatannya. Tentu Silma merasa was-was mendapat bully lagi dari mereka lagi. "Sekarang malam diam. Dasar aneh." Salma tersenyum miring lalu pergi meninggalkan kakaknya yang masih termenung di ruang makan. 'Lo pendam sendiri, dibilang begitu juga enggak mau. Susah sendiri kan jadinya'---ucap Salma dalam hatinya. Salma yang sudah tidak di sini lantas Silma mengacak-acak rambutnya dan berteriak kesal. Selang beberapa menit, Silma mendapt pesan dari seseorang. 'Lo tidak akan aman sebelum lo benar-benar ninggalin Alfa. Gue jauhin kali ini karena gue beri waktu buat lo' .. Silma kembali masuk sekolah. Di sepanjang koridor seperti biasa, beberapa siswi secara terang-terangan menatapnya sinis. Ia tau mengapa mereka begitu semua, mereka tidak menyukainya bersama Alfa yang menjadi murid populer. Ingin rasanya Silma memiliki sikap tidak peduli seperti adiknya, tapi tidak bisa dan sulit melakukannya. Rasanya sakit hatinya dipandang seperti itu dan seakan-akan dirinya adalah sosok penjahat di muka bumi ini. Itulah mengapa Silma sering menundukkan kepalanya dan berani mendongakkan wajahnya jika saat bersama Alfa saja. "Silma. Sudah sembuh?" tanya Sofi, satu-satunya teman yang dimilikinya. Namun sayangnya Silma tak selalu bisa bersama Sofa terus sebab gadis itu memiliki kesibukan lain. Entah sibuk apa. "Sudah." "Kamu habis kencan kemarin malam setelah itu sakit besoknya." "Emm kamu kok tau?" tanya Silma bingung. "Kemarin sih Alfa up di IGnya tapi tiba-tiba dihapus." "Enggak, Alfa gak up di sana sama sekali kok. Cuman di WA aja." "Ini aku sempat ss sih, mau kutanya kemarin tapi kamu lagi sakit. Jadi baru sekarang kuberitahu." Sofi menunjukkan ponselnya pada Alfa. "Itu bukan ig Alfa, followersnya lebih banyak ig ini." Silma mengernyit dahinya heran saat melihat ig yang ditunjukkan Sofi. "Ini ignya." Silma juga menunjukkan ig milik Alfa. "Iya aku tau yang ini. Jadi kamu gak tau Alfa punya ig lain?" "Enggak. Mana coba aku lihat isinya." Silma meraih ponsel milik Sofi dan melihat seluruh feed ig Alfa yang tidak diketahuinya. "Ini Silvia kan?" Suara Silma bergetar, ketika menemukan foto selfi Alfa bersama Silvia di pinggir kolam renang. Di mana Silvia mengenakan bikini sedangkan Alfa yang hanya memakai celana pendek. Posisi mereka nampak berciuman dan mesra. "Iya, itu waktu SMP sih dan Silvia yang sedang merayakan ultahnya. Mereka pacara sudah lama dan ya memang terlalu v****r kalau pacaran. Itu yang bikin Alfa betah sih macarin Silvia." Sofia segera menutup ponselnya setelah mengetahui Silma sedang marah dan sorot matanya sudah terlihat kilatan amarah. Silma langsung keluar dari kelasnya dan berlari menuju kelas Alfa. Tidak memerdulikan bahwa nantinya akan diadakan ulangan di kelasnya dan menurutnya yang paling penting adalah penjelasan daei Alfa. Sesampainya di kelas Alfa, Silma masuk ke dalam meski ditatap aneh seluruh murid di dalam kelas tersebut. Pandangan Silma tertuju pada Alfa dan segera menarik tangan kekasihnya itu lalu keluar dari kelas. "Sil kamu ajak aku kemana?" Alfa kebingungan karena Silma berjalan begitu cepat dan menarik tangannya secara kuat. Ingin rasanya Alfa menghentikan aksi Silma yang tiba-tiba begjni namun melihat aura emosional dari diri Silma membuatnya pasrah saja sekarang. Ternyata Silma membawanya di halaman belakang sekolah yang suasananya nampak sepi dan para tukang kebun sedang membersihkan di tempat lain. "Alfa, aku mohon kamu jujur lagi." "Jujur apa, Sil?" tanya Alfa bingung "Lihat ini." Silma menunjukkan ponselnya di hadapan Alfa. Alfa melototkan matanya dan napasnya tercekat begitu tau Silma telah mengetahuinya. "Katakan saja kalau kamu berpacaran selama bertahun-tahun sama Silvia dari sejak SMP sampai akan masuk SMA. Foto menjijikan ini, kamu v****r sekali berpacaran sama dia atau kamu memang menyukai hal-hal berbau dewasa iya?" Napas Silma menggebu-gebu saat ini. "Iya, Sil. Memang aku pacaran sama dia bertahun-tahun sejak SMP kelas satu." Alfa pun mengakuinya, daripada Silma makin marah kepadanya padahal Alfa sudah mengabaikan tentang Silvia. "Jadi kamu selingkuh darinya? Mantanmu banyak, aku juga tau semuanya." "Iya, Sil. Aku memang selingkuh darinya." "Karena kamu gak betah pacaran kalau tidak sampai seintim ini kan?" Silma mulai paham secara perlahan soal masa lalu Alfa dan Silvia. "Itu dulu, Sil. Aku hanya nafsu saja tapi sekarang enggak. Kita jalanin dengan pacaran yang sehat dan tidak berlebihan." "Ini yang membuat Silvia marah ke aku dan kamu. Kamu sama saja menghancurkannya." "Dia emang cewek murahan, abaikan saja." Alfa menarik tangan Silma tapi Silma menepisnya dan memandangnya sinis. "Jangan sentuh aku, kamu belum membersihkan dirimu. Kamu menghina dia sama saja merendahkan seorang wanita. Aku yakin Silvia begini itu karenamu, coba saja kamu berpisah baik-baik dan tidak membuatnya sakit hati pasti kita bisa tenang menjalani pacaran." "Aku sudah berpisah sama dia, jangan ungkit-ungkit tentang dia!" pinta Alfa. "Aku mengungkit ini karena aku rasa kamu harus menyelesaikan dulu masa lalumu dengan Silvia." "Sudah tidak bisa, Sil." Alfa menggeleng. "Kamu jahat, Alfa. Aku kira kamu hanya playboy saja, kenyataannya gaya pacaranmu begini dan pantas saja mantan-mantanmu sering mengganggumu. Kenapa sih aku tidak mengenal kamu dari SMP secara lebih jelas? Kalau tau begini aku menyesal, aku menyesal mengenalmu." Silma menangis kemudian dan tidak menyangka Alfa benar-benar lelaki yang tidak bisa menghormati seorang wanita. "Mereka itu para cewek nakal yang aku pacari. Tolong mengertilah." "Enggak, Silvia bukan cewek nakal dan dia begitu karena perlakuanmu dulu kepadanya." "Kamu tau dari mana sih?" "Kamu bodoh juga ya, Alfa. Jelas semuanya dari medsos yang tidak kuketahui." "Itu dulu, aku rencananya mau hapus akun itu kok. Cuman lagi males saja." "Biar bisa memandangi masa lalumu bersama Silvia. Apalagi ada orang yang bilang padaku, kamu gak betah kalau pacaran gak sampai intim begini kan?" "Itu dulu." "Bisa jadi sekarang iya." "Enggak, Sil." "Kamu bilang aja kalau kamu gak betah sama aku, aku bisa lakuin kayak Silvia dulu ke kamu." Silma teringat ucapan adiknya kemarin, kalimat tidak betah itu sungguh membuatnya takut sekali. "Enggak bakal, Sil. Sudah ya, jangan bahas kayak tadi. Aku mencintaimu, aku betah kok sama kamu." "Tetap saja aku tidak tenang, aku bisa kok lepas---" "Sil sudah." "Aku takut kamu nanti ninggalin aku." Alfa menarik Silma ke dalam dekapannya saat gadis itu kini menangis. ... "Kamu kasih dinilai nol sama Bu Indah." "Biarin." "Silma, itu ulangan lho bukan tugas harian tapi tetap sama pentingnya sih." "Aku tidak memikirkan itu lagi." Silma hanya fokus pada ponselnya saja. "Nanti ada ulangan juga, kamu gak belajar?" tanya Sofi lagi. "Males, aku lagi bete aja." "Nilai kamu akhir-akhir ini mulai menurun, tidak seperti awal kamu masuk kelas ini sih." Komentar Sofi yang sudah hafal betul sosok Silma dari semenjak satu bangku hingga sekarang. "Aku males dibilang kok." "Iya deh, tapi jangan terus males terus ya. Pelajaran juga dipikir, kalau bisa bagi waktu." "Iya ya bawel deh kayak bunda sama adik gue." Sarkas Silma. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN