Part 40

1458 Kata
Maaf kalau masih ada typo ya ^^ Part 40 "Kurang tiga hari lagi." "Lo beneran gak mau ikut pertandingan? Tangan lo juga kelihatannya sudah membaik." Salma menatap Malvin yang memandangi kalender diponselnya sedari tadi. "Membaik sih tapi gue ingin istirahat aja lagian ada lagi kok pertandingan yang lain." Malvin meletakkan ponselnya dan menatap Salma balik. Ia mengulas senyumnya membuat Salma salah tingkah. 'Setelah gue ada rasa suka sama dia, tiap liat dia malah malu sendiri. Haduh'--Salma memekik dalam hatinya. "Aha, lo pasti ingin lihat gue tanding kan?" Malvin menaik turunkan alisnya. Ia tau kalau Salma mulai menyukainya juga, hanya saja gadis itu terlihat gengsi mengakuinya dan Malvin memang sudah mengenal betul gerak-gerik sosok perempuan yang sedang jatuh cinta kepada seorang laki-laki. "Enggak, nanya doang. Gak boleh?" "Boleh dong, gue suka kalau lo mau diajak ngobrol daripada kayak kemarin-kemarin sulit sekali ngajak ngobrol begini," jawab Malvin sembari mengangguk mantap. "Sesulit itu? Aslinya gue juga bisa cerewet dan tergantung siapa orang yang gue ajak ngobrol juga. Gue diam waktu itu kan karena lo bikin gue marah terus dan gue gak suka. Gue lelah kalau gue dibikin marah," balas Salma. "Kalau sama gue terus nantinya gak bakalan gue bikin lo marah terus, malahan bakalan nyaman deh dan gue seneng aja bisa denger suara lo yang enggak ketus kayak kemarin-kemarin." "Suara gue ketus karena gue gak nyaman sama lo." "Sekarang nyaman jadinya?" tanya Malvin dengan suaranya yang terdengar tengil dan memancing Salma. Ia ingin sekali saja Salma mengatakan sejujurnya tentang perasaannya. "Tetap enggak, gue gak suka sama lo." "Haish gengsi amat." Malvin menjulurkan lidahnya sebentar. Jam mata pelajaran saat ini agak melonggar karena pada guru sedang rapat, merapatkan soal lomba mendatang yang akan diselenggarakan di sekolah ini dan rapat itu juga diikuti perwakilan dari sekolah lain. Totalnya ada 8 sekolah yang mengikuti pertandingan basket di SMA Leander termasuk sekolah Louwis juga akan mengikutinya. "Lo terpilih jadi supporter pertandingan basket nanti di SMA Leander." Seseorang memasuki kelas 10 IPA 5 dan tujuannya menghampiri bangku sosok gadis yang sedang senyum-senyum sendiri menatap ponselnya. Seketika Silma membulatkan matanya dan menerima sebuah tiket pertandingan dari salah satu anggota OSIS yang mengurus pertandingan tersebut. "Eh? Gue ikut jadi supporter?" tanya Silma lagi yang masih belum percaya. Tentu saja dirinya senang dan bisa bersama Alda nantinya. "Iya, lo mau gak?" tanya balik gadis bernama Janeta, seorang anggota OSIS kelas 10. "Jelas mau." Silma mengangguk dan tersenyum lebar. "Lo pacarnya Alfa kan?" Janeta menaikkan sebelah alisnya. "Iya, ada apa?" "Ya sudah, gue suruh dia aja yang masukin lo ke grub. Soalnya pulang sekolah nanti latihan yel-yel. Ada hadiah buat supporter kalau yel-yelnya kompak dan keras suaranya." "Iya, gue sanggup. Lagian gak ada waktu setelah pulang sekolah kok." "Hmm okelah." Janeta keluar dari kelas dan berlanjut berkeliling menghampiri beberapa murid yang dipilih acak untuk menjadi supporter. Itupun nanti akan ditanyai dulu dan jika mau akan diikut sertakan sedangkan kalau tidak akan digantikan oleh yang lain. "Yey. Seneng gue tuh." Silma kegirangan. Tak lama Sofi datang kembali masuk ke kelas. Sofi mengernyit heran melihat Silma yang senyum-senyum sendiri menatap tiket bukan ponsel seperti biasanya. "Apa itu Sil?" "Eh Sofi. Ini lho tiket pertandingan basket tiga hari lagi." Silma sampai tidak sadar ada Sofi di sebelahnya lalu menunjukkan tiket pertandingan basket tersebut kepada temannya yang penasaran. "Ouh ini." Sofi mengangguk paham. "Eh iya, kamu sering dipanggil sama gengnya Silvia. Kamu lagi dibully sama mereka?" "Tidak." "Terus?" "Aku hanya membantu mereka mengerjakan tugas." "Jadi kalian saling mengenal?" "SMP, aku sati sekolahan dengan Silvia. Dia aslinya baik kok tapi entah gimana bisa berubah menjadi kejam dan suka bully orang. Apa mungkin karena orang tuanya saling selingkuh ya." Sofi mengusap dagunya dengan jari telunjuknya sambil berpikir keras. "Pantesan kamu tau betul sama Silvia ya. Sudah kenal lama rupanya. Tapi apa tadi katamu Silvia baik?" "Iya baik, anak polos dan lugu. Tapi semenjak pacaran Alfa jadi berubah nakal dan setelah putus telar juga orang tuanya gak akur rumornya sih tambah menjadi-jadi nakalnya." "Kok tambah nakal sih?" "Ya itu terpengaruh pergaulan dan stress juga sih, dia gak kuat sama cobaan hidup yang sedang dialaminya. Jadi pelampiasannya ya berbuat nakal begitu. Andai Alfa tidak menyakitinya mungkin Silvia tidak semakin parah. Soalnya Alfa mutusin Silvia waktu Silvia sedang mengalami masalah sama orang tuanya." "Tega banget sih Alfa. Tapi orang tua Silvia tidak bercerai?" tanya Silma bingung. "Tidak, orang tua Silvia bertahan hanya demi harta warisan saja dan mungkin kalau neneknya-orang tua dari papanya Silvia telah tiada, barulah mereka akan bercerai. Ya jadi Silvia kayak gak ada yang merhatiin karena orang tuanya dua-dua punya selingkuhan masing-masing dan katanya sih jarang di rumah orang tuanya Silvia. Silvia pun merasa bebas dan liar nakalnya." "Malah lebih rumit ya orang tuanya." Silma menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Iya benar dan papanya malah suka sama pembantunya yang habis keluar dari penjara. Dulu sih pembantunya itu pernah masuk berita, berita belasan tahun lalu sih dan pembantunya mantan narapidana. Pernah mau bunuh orang,"ujar Sofi menjelaskan. "Makin ke sana makin belibet ceritanya, udah deh jangan ceritain yang selingkuh-selingkuhan. Aku merinding tau dan tidak suka mendengarnya." Silma bergidik dan merasa tidak nyaman saja. "Ah iya." Sofi terkekeh pelan. 'Hmm pantas saja Silvia begitu, Alfa saja terlalu menyakitinya'---ucap Silma dalam hati. ... "Mas, ke sini?" Zena tersenyum manja menatap suaminya yang datang ke kantornya. "Aku ingin makan berdua bersamamu, aku rindu aja makan berdua sama kamu." Pandu memberikan satu kantong plastik berwarna hitam kepada Zena. Zena pun menyiapkan makan siang untuk mereka berdua sedangkan Pandu duduk di sofa, menunggu istrinya yang menata semuanya. Setelah selesai barulah Zena kembali dan menata makanan serta minuman di atas meja. "Suapin dong, tanganku capek tadi habis tanda tangani banyak kertas." "Aih, mas mulai manja." Zena menepuk lengan Pandu. "Kamu juga sering manja ke aku." Pandu mencium sekilas pipi istrinya dan sedikit menggigitnya. "Aw sakit mas!" Zena memukuli lengan suaminya lagi. Zena mengusap pipi yang sedikit merasa sakit akibat digigit gemas oleh suaminya yang lagi kurang belaian darinya. "Kamu awet muda sekali, aku udah banyak ubannya padahal umur kita sama hanya beberapa bulan saja sih bedanya." Pandu membelai rambut Zena yang baru saja kemarin potong pendek seleher. "Kamu orangnya kan gak bisa diajak becanda sama orang. Kalau mau awet muda harus bahagia." "Jadi kamu bahagia sama aku kan?" "Iya, Mas." "Meski aku pernah menyakitimu bahkan mencekikmu hampir--" "Sudah, Mas. Jangan cerita itu lagi dan tidak usah mengungkit masa lalu. Aku memaafkanmu apalagi mas Pandu juga berubah banyak dan selalu mengalah, menyakitiku saja tidak pernah kan? Sampai anak kita sudab besar-besar dan kita tetao bertahan sejauh ini." Zena tersenyum lalu tangannya mulai menyuapi Pandu dan Pandu sangat suka makan dari tangan Zena langsung dibanding sendok. Itulah mengapa Pandu membawakan menu lalapan di makan siang hari ini di kantor istrinya. "Aku terlalu mudah mendapatkan maaf darimu, Zena. Tetanggamu memakimu wanita bodoh karena kamu masih memaafkanku." "Aku menghiraukan ucapan-ucapan orang yang memakiku karena kita kembali bersama. Lagian aku bahagia kok sama mas, aku percaya mas Pandu bisa berubah dan oleh karena itu, aku memberikan satu kesempatan. Satu kesempatan itu pula yang sekarang merubah mas menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya." "Tapi aku tidak terima sih, kamu itu bukan wanita bodoh melainkan wanita yang pintar. Ah aku tidak suka mendengar ucapan mereka itu." Pandu memeluk Zena dari samping. "Sudahlah mas, abaikan saja. Ini hidup kita, kita menjalani dan mereka hanya bisa berkomentar tanpa tau hidup kita seperti apa. Makan siang dulu, Sayang." Kemudian mereka berdua makan siang dengan segala keromantisan mereka. Tak peduli banyak orang yang tidak suka akhir cerita mereka, padahal akhir cerita mereka itu akhir yang bahagia. Selesai makan siang, Pandu mendapat pesan dari temannya dan langsung membuatnya mematung di tempat. "Kenapa, Mas?" Zena yang tengah menghabiskan es jeruknya, menatap bingung ke suaminya. "Aku baru tau sesuatu, Zena." "Apa? Aku jadi makin penasaran ini." Zena tidak sabaran ingin mengetahui apa yang membuatnya Pandu mematung saat ini. "Kamu masih ingat Cala?" "Iya, masih ingat dan dia mantan pacar Mas Pandu." "Ternyata teman bisnisku sudah lama berpacaran dengan Cala." "Terus? Ya sudah biarin saja, itu kan hidup mereka." Zena sebenarnya sudah tidak mau berurusan dengan orang-orang yang bermasalah di masa lalunya. "Iya, Zena.. Aku mengerti maksudmu. Tapi yang buat aku heran dan kaget adalah teman bisnisku ini masih punya istri sah dan dia mau nikahi siti si Cala ini." "Nikah siri?" "Aku malah baru tau lho dia pacaran sama Cala. Soalnya tiap cerita ke aku, dia merahasiakannya dan sekarang memberitahuku." "Ouh begitu." Zena mengangguk dan mulai mengerti. "Dan lagi, teman bisnisku pernah cerita kalau pacaran sama pembantunya dan ternyata itu ya Cala. Emm bukan pacaran deh lebih tepatnya selingkuh, bertahun-tahun pula sama Cala." Pandu bergumam. "Ah semoga Cala itu berubah baik ya." Zena mengkhawatirkan sesuatu tapi ia berusaha berpikir yang positif agar mendapat hal baik. "Semoga saja." ... Hayoloh Cala kembali Dia sekarang baik atau tidak ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN