"Ma... Lain kali saja ya, Nay mencoba usaha ketringnya. Sekarang, Nay benar benar sedang sibuk."
"Terserah kamu, tapi kesempatan tidak akan datang dua kali, Nay!" ujar mama kesel sembari beranjak keluar.
Aku tertegun menatap punggung mama. Aku tidak enak sama mama karena menolak keinginannya. Tapi sungguh, aku sudah lelah untuk memulai usaha baru.
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku, fokus pada layar laptop.
"Nay, kamu nggak jemput Bian?" ujar Mama kembali menghampiri.
"Iya, Ma... Sebentar lagi."
"Sudah hampir jam dua belas, mau jam berapa lagi kau menjemputnya?"
"Sebentar lagi, Ma. Bian ada tambahan les di sekolahnya."
"Ya sudah, kamu tolong bersihkan dapur dulu. Mama mau ada arisan." ujar mama sembari pergi.
Aneh, tidak biasanya mama bersikap seperti ini. Dia tidak pernah mengagguku jika sedang fokus di depan laptop. Tapi karena sedang fokus, aku kembali lanjut mengetik. Niatku, setelah pulang menjemput Bian dari sekolah nanti, aku akan mengerjakan perintah mama.
Saat jam dinding sudah menunjuk pukul dua belas kebih, buru-buru aku pergi menjemput Bian ke sekolah.
Langkahku terhenti melihat mas Arman sudah menunggu di depan gerbang.
"Kamu kenapa tidak bilang kalau hari ini Bian ada les tambahan?" tanyanya mendekat.
"Mas kenapa tidak bertanya?" jawabku acuh.
"Harusnya apa pun yang menyangkut Bian, kamu bilang sama aku!"
"Kenapa mas marah sama aku, mas tinggal minta masukkan nomer telphon ke grup wali kelas. Semua info tentang jadwal kegiatan Bian di share di sana."
"Memangnya kamu tidak bisa meneruskan pesannya ke nomerku?"
"Maaf, Mas, aku tidak sempat, aku banyak urusan!"
"Oh, jadi kamu mau bilang kalau urusanku tidak penting?"
Dahiku berkerut mendengar pertanyaan Mas Arman. Aneh. Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku memilih duduk di motorku sembari membuca sosial mediaku. Aku tidak ingin membuang waktu percuma. Aku menggunakan waktu senggang itu dengan mempromosikan n****+-novelku.
"Nay! Kamu dengar tidak, sih pertanyaanku?"
"Dengar," jawabku tanpa menoleh.
Sekilas aku melihat mas Arman menatapku tajam, ragangnya mengeras.
"Begini sikap kamu pada ...." kalimatnya terputus. "Ah! Sudahlah! Kamu memang bukan Nayla yang dulu!"
Aku bergeming, mataku fokus menatap layar kaca di tanganku. Entah sikap seperti apa yang diinginkannya dariku?
Sesaat hening. Jam di ponselku menunjuk pukul dua belas lebih lima belas menit. Kutoleh ke dalam gedung sekolah, pintu kelasnya sudah terbuka. Aku pun bersiap menyambut Bian, anak kesayanganku.
"Aku tidak mau kamu dekat dengan Mas Widi. Nggak lucu!" ujar mas Arman sesaat sebelum Bian menghampiri.
Aku tak bergeming. Siapa dia boleh mengaturku?
"Mama...." teriak Bian.
"Assalammualaikum, jagoan mama!"
"Waalaikum salam, mama." sahut Bian mencium punggung tanganku lalu memelukku erat.
"Salim sama papa..." ujarku.
Bian segera menjulurkan tangan pada mas Arman.
"Bian ikut papa ya. Papa mau ajak Bian makan siang."
"Sama mama juga?" tanyanya polos.
Mas Arman melirikku, "Boleh kalau mama sedang tidak sibuk," ujar mas Arman.
"Mama... Kita makan siang sama papa, ya!"
"Tapi eyang uti sudah masak di rumah, nanti mubajir makanannya." dalihku.
"Nay, ayolah. Kasihan Bian. Mungkin dia ingin sejenak berkumpul bersama. Sudah lama kita tidak makan bertiga."
"Maaf, mas! Aku tidak bisa." uajrku lirih menoleh padanya. Sesaat kemudian aku menatap Bian.
"Kalau Bian mau makan sama papa... Nggak papa, Bian aja berdua sama papa. Mama makan di rumah saja. Kasian Uti, makanannya tidak ada yang makan."
"Kalau begitu, Bian juga makan di rumah sama mama. Masakan Uti juga enak," jawab Bian meletakkan tasnya di motor lalu naik.
"Bian tidak kangen makan sama papa?" tanya Mas Arman mencoba membujuk.
Sesaat Bian tertegun, mata bening itu beralih menatapku lekat.
"Nggak!" jawabnya menggeleng.
"Nay, apa ini yang kamu mau? Apa kamu ingin menjauhkan Bian dari aku?"
"Mas jangan nuduh sembarangan, aku tidak pernah punya niat seperti itu!"
"Kalau begitu, kenapa menolak menemaninya makan bersamaku? Apa karena mas Widi?"
"Apaan sih, Mas? Kenapa bawa-bawa Mas Widi?"
"Lalu apa Nay?.... Ini tidak lucu! Pokoknya aku tidak suka kamu dekat dengan mas Widi. Dia kakak iparku! Dan aku tidak mau kamu jadi iparku juga!"
Sejenak aku terhenyak dengan kalimat yang diucapkannya. Ah, tidak! Aku juga tidak mau ipar-iparan dengannya. Apalagi menjadi kakak ipar wanita yang sudah merebut suamiku! Tidak akan!
"Siapa yang mau menikah dengan Mas Widi?" jawabku dengan wajah bertekuk.
"Baguslah! Apa kata dunia kalau kita menjadi ipar-iparan!"
Aku melirik mas Arman, wajahnya gundah. Sebegitu takutkah dia? Dasar egois!
"Ayo, Bian kita pulang!" ajakku. Bian bergeser ke belakang, aku segera naik bersiap menyalakan motor.
"Nay! Sekali ini saja, Aku rindu makan bersama kalian." ujarnya mengiba.
Aku bergeming. Kunyalakan motor metikku, tanpa pamit aku meninggalkan mas Arman. Aku tidak ingin menggali kuburanku sendiri karena kembali berharap padanya. Aku tidak mau cinta itu kembali hadir dan menyakitiku.
"Ma, Kasihan papa..." ujar Bian menatap papanya dari kaca spion.
Darahku berdesir, ada sesak yang menghimpit hatiku. Entah nengapa aku tidak tega melihatnya mematung sendiri di gerbang sekolah itu.
Aku meminggirkan motorku.
"Bian mau makan siang bareng papa?"
Bian menunduk, wajahnya murung. Sungguh aku tidak tega melihatnya. Diusianya yang masih sangat kecil, harus ikut merasakan akibat dari perceraian orangtuanya.
"Bian mau makan bareng papa dan mama..." ujarnya sedih.
Sejenak aku menarik napas dalam, ada sembilu yang menyayat hatiku mendengar suaranya.
"Bian, sama papa naik mobil, yuk!" ajak Mas Arman mendekat. Seolah dia tahu aku berubah pikiran.
"Nggak, Pa! Bian sama mama saja naik motor." tolaknya.
"Bian... Nggak papa sama papa naik mobil, mama ikut dari belakang."
"Bian mau jagain mama naik motor!" jawab Bian berkeras tidak mau pindah.
Aku menoleh pada mas Arman, sejenak mata kami saling beradu.
"Mas naik mobil sendiri saja, aku dan Bian naik motor. Nanti setelah sampai di mal, aku akan menghubungi." ujarku. Tanpa menunggu persetujuannya, aku melaju motorku meninggalkannya yang masih terpaku.
***
Aku dan Bian berjalan bergandengan tangan menuju restoran favorit Bian. Sudah lama aku tidak mengajaknya ke sana. Aku selalu sibuk dengan urusanku sampai tidak punya waktu untuk membawanya jalan-jalan.
Saat memasuki restoran cepat saji itu, mataku tertuju pada mas Arman yang sudah mengantri.
"Ma, Bian sama papa, ya!" ujarnya meminta izin.
"Iya, sayang," jawabku tersenyum.
Bian berlari mendekati mas Arman, mas Arman segera mengulurkan tangan menyambutnya.
Aku memilih meja untuk kami bertiga, tak lama kemudian mas Arman dan Bian datang mendekat membawa nampan yang berisi ayam dan eskrim.
"Sini, papa yang ambil sausnya," ujar mas Arman beranjak.
Setelah mas Arman kembali membawa saus, ponselku berdering. Tertulis nama mama di layar kaca.
"Iya, ma!" jawabku mengangkat telphon.
"Nay, kamu dimana, kok belum pulang!"
"Nay,.... Ee.... Sedang ada acara, Ma..." jawabku panik. Aku tidak menduga mama akan menelohon.
"Acara apa?"
"Ini, acara sekolahannya Bian, temannya ada yang ulang tahun." dustaku. Tidak mungkin aku jujur pada mama, dia pasti marah jika tahu aku sedang bersama mas Arman.
"Kenapa kamu tidak tutup dulu makanan yang di meja sebelum berangkat jemput Bian? Habis ikannya dimakan kucing!" ujar mama sembari mematikan telphon.
"Mama kenapa bohong sama Eyang uti?" tanya Bian menatapku lekat.
Aku kikuk, jujur aku panik. Aku sangat takut Bian cerita sama mama tentang hari ini. Mama pasti benar benar marah jika tahu aku dan mas Arman bertemu di sini.
"Bian, jangan bilang Eyang uti ya, kalau kita makan sama papa di sini... Kalau Eyang Uti nanya, bilang aja, temen Bian ulang tahun." bisikku
"Tapi teman Bian nggak ada yang ulang tahu, Ma.... Bian nggak mau bohong, bohong itu kan, dosa!" jawab Bian polos.
Aku menghela napas dalam. Aku melirik mas Arman dengan kesal.
"Harusnya mama tidak ikut campur urusan kita." celetuk mas Arman. Wajahnya tampak gusar.