"Assalammualaikum," ucapku dan Bian hampir bersamaan saat memasuki rumah.
"Waalaikum salam, Bian dari mana?" tanya mama menghampiri.
"Dari mal, makan ayam," jawab Bian semringah.
"Sama siapa?"
"Samaaa...." Bian melirikku, aku hanya bisa tersenyum, menyerahkan keputusan sepenuhnya padanya.
"Sama siapa?" tanya mama kembali.
"Sama papa..." jawabnya menunduk. "Uti tidak suka ya, sama papa?"
Mama tidak menjawab pertanyaan Bian. Guratan kecewa tampak nyata di wajahnya.
"Bian, main dulu ya, di kamar. Mama dan Uti mau bicara sebentar," ujarku.
Bian mengangguk, matanya menatapku sayu.
"Maafkan, Nay, Ma... Nay tidak bermaksud berbohong. Nay...." kalimatku terhenti. Rasanya tenggorokanku perih.
"Mama tidak habis pikir sama kamu, Nay! Kenapa kamu masih saja mau berbaikan denga. laki-laki seperti dia! Kenapa kamu tidak menikah saja dengan laki-laki lain."
Aku hanya diam, membiarkan mama menumpahkan unek unek di hatinya.
"Sudahlah! Kita pulang kampung saja! Pindahkan saja sekolah Bian ke sana."
"Tapi Ma... Nay tidak bisa.... Pekerjaan Nay masih banyak di sini."
"Ini sudah menjadi keputusan mama... Mama akan jual rumah ini. Terserah kamu mau ikut ke kampung atau tidak! Lagi pula... Papamu juga lebih sering di kampung sekarang!"
Aku diam mematung. Saat ini rasanya tidak mungkin aku ikut ke kampung. Di kampung sulit mendapat sinyal. Lagi pula aku masih harus sering datang ke lokasi syuting.
"Ma... Sebelum rumah ini terjual, boleh nggak Nay dan Bian tinggal di sini?"
"Terserah kamu, tapi sebaiknya kamu cepat mencari rumah kontrakan. Sebab sejak lama rumah ini sudah ada yang menawar,"
"Baik, ma... Terima kasih,"
Aku menatap punggung mama yang pergi meninggalkanku.
Tidak lama berselang, aku juga beranjak ke kamar menemui Bian.
"Maafkan Bian, Ma... Bian nggak bisa bohong sama Uti." ujar Bian merangkulku melihat aku masuk ke kamar.
"Nggak papa, Sayang. Mama yang salah udah bohong sama Uti. Bian benar karena berkata jujur."
"Mama dimarahin sama Uti?"
"Iya... Karena mama udah bihong sama Uti..." jawabku tersenyum.
"Kalau kita tinggal di rumah yang lebih kecil? Bian mau kan tetap tinggal bersama mama?"
Mata bening itu menatapku sayu, lalu mengangguk.
"Uti mengusir kita dari sini, ya Ma?"
"Tidak sayang, hanya saja... Uti mau pulang dan tinggal di kampung. Jadi rumah ini akan di jual."
Bian mengangguk seolah mengerti apa yang kukatakan.
"Ya sudah... Bian main lagi ya... Mama mau nulis." ujarku dengan suara parau menahan sesak di d**a.
"Iya ma..." jawab Bian tidak banyak protes.
Saat sedang fokus merangkai kata menyekesaikan bab tiga puluh novelku, mama masuk ke kamar dan menghampiri.
"Nay, papa sudah setuju menjual rumah ini.... Dan tadi mama sudah menghubungi orang yang mau membeli rumah ini. Besok dia akan datang menemui papa di kampung untuk melakukan transaksi. Jadi sebaiknya kamu segera cari rumah kontrakan!" ujar mama, wajahnya masih terlihat kesal.
"Bian, mau ikut Kakung dan Uti ke kampung?" tanya mama menoleh pada Bian.
Bian menggeleng, "Bian mau jagain mama, Uti!"
Mama menghela napas, sejenak mata kami beradu. Aku menunduk, menyembunyikan rasa bersalahku. Maafkan anakmu ini, Ma... Harusnya diusia senja kalian, aku bisa membahagiakan kalian. Tapi yang terjadi justru aku menyusahkan dan membuat kalian sedih.
"Nay, nanti malam mama akan mulai mengangkut barang barang. Pilih barang yang kamu butuhkan, mama akan meninggalkannya untuk kamu!"
"Terserah mama saja mau meninggalakan barang apa. Nay akan senang menerimanya."
"Ya sudah, kamu bantu mama mengemasi barang-barang. Nanti malam, Truk akan datang untuk mengangkut barang."
"Baik, Ma..." jawabku sembari beranjak mengikuti mama.
***
"Ma... Uti kemana?" tanya Bian saat bangun pagi dan mendapati rumah lapang tanpa perabotan. Matanya membulat menatap sekeliling.
"Tadi malam, Uti sudah pamit sama Bian... Tapi Biannya nggak dengar karena tidur," jawabku mencoba menjelaskan.
"Uti pulang kampung?"
"Iya, Sayang. Nanti kalau liburan semester, kita jenguk Kakung dan Uti di kampung, ya! "
Bian mengangguk.
"Ya, sudah, sekarang Bian mandi, mama sudah siapkan sarapan."
"Iya, Ma... " jawab Bian beranjak ke kamar mandi.
Usai mandi aku membantu Bian memakai seragamnya lalu kami sarapan bersama.
Usai mengantar Bian ke sekolah, aku mencari rumah kontrakan yang letakknay tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku ingin, Bian bisa pulang sendiri tanpa harus diantar jemput.
Saat berkeliling mencari kontrakan, ponselku berdering. Nama mas Widi tertera di sana.
"Assalammualaikum, iya Mas," sahutku menjawab panghilannya.
"Nay, kamu dimana? Aku sudah di depan rumah kamu!"
"Mas Widi perlu apa datang ke rumah?" jawabku dengan pertanyaan.
"Hari ini kamu jadi kan, ke lokasi syuting?"
"Oh, iya... Jadi, Mas. Tapi nanti setelah Bian pulang sekokah."
"Oh, begitu? ... Kamu dimana sekarang, kelihatannya rumah kamu kosong?"
"Aku lagi diluar, Mas. Nyari kontrakan!"
"Nyari kontrakan? Memangnya rumah kamu yang sekarang kenapa?"
"Sudah dijual sama mama, mama ingin tinggal di kampung,"
"Ow, begitu...."
Sesaat hening.
"Aku punya apartemen, kalau kamu mau, untuk sementara kamu bisa tinggal di sana."
"Terima kasih, Mas Widi. Saya mau cari kontrakan yang dekat sekolah Bian saja. Biar dia bisa pulang pergi sendiri."
"Ya... Terserah kamu, aku hanya ingin membatu... Ya sudah aku tunggu kamu di lokasi syiting ya!"
"Baik, mas. Maaf ya... Sudah merepotkan!"
"Kenapa minta maaf, kamu tidak melakukan kesalahan apa pun."
Hening, aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Ya sudah, kamu hati-hati, ya!"
Ujarnya mengakhiri percakapan.
Aku menarik napas dalam, lalu lanjut berkeliling mencari kontrakan yang sesui dengan bajetku.
Hari ini, Bian pulang lebuh awal. Aku mengajaknya ikut ke lokasi syuting. Tidak mungkin aku meningglakannya sendirian di rumah.
Usai ganti baju dan makan siang, aku memesan taxi.
"Halo, Bian... " Sapa mas Widi menghampiri setibanya di lokasi syuting.
"Halo, Om!" sahut Bian menyambut salam toz dari mas Widi.
Setelah membayar taxi, aku mengikuti mas Widi dan Bian yang masuk ke dalam gedung.
Lokasi syuting cerita novelku berlangsung di rumah tua. Sesuai temanya yang bergenre horor.
Bian mulai sibuk bermain dengan barang barang baru yang ditemuinya. Ia tampak akrab dengan beberapa kru lainnya.
"Keputusan mama kamu pindah ke kampung, apa ada hubungannya dengan pertemuan kita dengan Maya dan Arman saat itu?" tanya Mas Widi saat jam istirahat syuting.
"Nggak juga, Mas. Papa sudah lebih sering tinggal di kampung belakangan ini. Sedangkan mama masih bertahan karena ingin menemaniku.... Dan pada akhirnya mama harus menemani papa di kampung!"
Mas Widi mengangguk anggukkan kepalanya seolah mengerti.
"Saat pernikahan mas Arman dan maya berlangsung, mas Widi hadir di sana?" tanyaku hati-hati.
Mas Widi menoleh, ia terkesiap sepertinya tidak siap mendengar pertanyaanku.
"Orangtua kami sudah tiada. Dan aku anak tertua. Maya datang memintaku menikahkannya."
Hening,
"Jadi mas Widi yang menikahkan mereka berdua?" tanyaku tetap berusaha tenang.
"Maaf, Nay, aku tidak tahu kalau... "
Kalimat mas Widi berhenti, mataku lekat menatapnya, menunggu kalimat berikutnya.