"Nggak usah dikenalin, Mas. Kami udah saling kenal. Dia Nayla, mantan istri mas Arman." ujar Maya menatapku sinis.
Aku menarik napas dalam sekadar melonggarkan d**a yang terasa sesak. Pandanganku kualihkan ke jendela kaca menembus jauh keluar sana. Jika bisa memilih, aku ingin pergi saja meninggalkan tempat ini.
Tapi tidak mungkin, aku harus menghargai mas Widi. Setidaknya aku harus bisa bersikap profesional, memisahkan antara masalah pribadi dan pekerjaan. Kupejamkan mata sesaat menetralkan detak jantung yang berdentuman cepat. Aku tidak ingin terlihat konyol di depan mas Widi, berkelahi dengan istri mantan suamiku. Memalukan!
Mas Widi menatapku lekat, keningnya berkerut.
"Ow," ujarnya. Sepertinya dia juga terkejut mengetahui aku mantan istri adik iparnya.
"Mas, aku tidak mau makan di sini, kita makan ditempat lain saja!" ujar Maya menarik lengan mas Arman.
Sejenak Mas Arman melirikku, mata itu penuh curiga. Persetan! Memangnya siapa dia? Aku bukan lagi istrinya. Aku tidak melakukan kesalahan apapun padanya. Aku tidak sedang selingkuh!
Mas Widi tidak menahan langkah Maya, ia membiarkan saja merka pergi. Sejenak suasana menjadi kaku.
Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kutoleh mama yang masih tegang melihat kehadiran Mas Arman dan Maya dibrestoran itu.
Dari tatapan mama, aku tahu mama ingin pergi dari tempat itu. Aku memberi kode pada mama agar bersabar. Urusanku dengan mas Widi belum selesai.
"E ... Bagaimana, Mas? Apa bisa kita lanjutkan membicarakan proyek kita?" tanyaku mencairkan suasana.
"Ya... Tentu saja!" jawab mas Widi.
Kami lanjut membicarakan novelku yang akan di filmkan.
"Bian, mau naik kereta gantung?" tanya mas Widi disela sela diskusi kami.
"Mau, Om!" teraik Bian kegirangan.
Lelaki itu selalu saja berhasil menarik perhatian Bian.
"Bilang sama mama," ujarnya melirikku.
"Ma... Bian mau naik kereta gantung sama om Widi. Boleh ya, Ma?"
Sejenak aku tertegun lalu menoleh pada mama, meminta pertimbangan darinya. Mama hanya diam, wajahnya tidak lagi seceria tadi. Kehadiran Maya dan mas Arman telah merusak suasana hatinya.
"Lain kali saja ya, Sayang. Mama masih ada urusan yang lain."
Sejenak Bian cemberut, tapi tidak berlangsung lama. Mama mengajaknya bercanda, Bian lupa pada ajakan mas Widi.
"Jika diskusinya sudah selesai, mama ingin pulang." ujar mama meraih tas nya di meja.
kutoleh mas Widi, ia tersenyum dan mengangguk. Semoga dia bisa mengerti dengan situasi ini.
"Ayo Bian, kita ke mobil." ajak mas Widi mengulurkan tangan.
Bian segera meraih tangan mas Widi. Keduanya pergi ke kasir. Aku dan mama berjalan duluan menuju parkiran.
***
"Nay, mama kok jadi ilfeel ya sama Nak Widi?" ungkap mama saat aku membantunya memasak di dapur.
"Ilfeel kenapa, Ma?"
"Ck... Ya malas saja kalau berurusan dengan keluarganya si Maya itu."
"Mama.... Yang mau urususan sama keluarganya Maya siapa? Aku sama mas Widi itu tidak punya hubungan apa pun kecuali urusan pekerjaan."
"Hm, baguslah... Mama juga tidak rela kamu menikah denganya. Masak kita ketemu lagi sama Arman dan Maya."
"Ma... Sampai kapan pun, kita pasti bertemu dengan Mas Araman, sebab Dia ayah Bian."
Mama cemberut, sejak perceraian kami, mama tidak pernah mau lagi bertemu dengan mas Arman.
Usai memasak, aku kembali ke kamar, melanjutkan tulisanku yang belum selesai.
Ponselku berdering, nama Mas Widi tertera di layar ponselku.
"Halo, iya mas Widi..."
"Halo, Nay.... Lagi sibuk?"
"Nggak, Mas... Lagi nyicil bab untuk novelku yang akan segera rilis.... Ada apa, Mass?"
"Mm, Aku mau minta tolong, itu pun kalau kamu tudak keberatan."
"Minta tolong apa, Mas? Jika saya bisa pasti saya lakukan."
"Alhamdulillah, terima kasih.... nanti malam ada acara keluarga... Bisa tolong temani aku?"
"He?"
Sejenak aku membisu. Acara keluarga? Itu artinya aku akan bertemu dengan Mas Arman dan Maya. Ah, tidak. Aku malas berurusan dengan mereka berdua.
"Halo, bagaimana Nay, kamu bisa?"
"E... Maaf, mas... Bukan aku tidak mau, hanya saja..." kalimatku terputus, rasanya lidahku kelu untuk mengungkapkan isi hatiku.
"Kenapa, Nay? Apa karena Maya dan Arman?"
Aku diam tidak nenyahut, aku rasa mas Widi sudah tahu jawabannya.
"Aku tahu ini sulit untuk kamu. Tapi mau sampai kapan kamu akan terus menghindar? Acuhkan saja mereka, aku yang mengundang kamu di acara itu. Jadi tidak ada hubungannya dengan Arman dan Maya."
"Maaf, Mas, aku tidak bisa!"
"Nay ... Aku minta tolong sekali ini saja! Aku tidak tahu harus mengajak siapa lagi. Sebab sejak awal bertemu dengan kamu, aku memang sudah berniat mengajak kamu ke acara ini."
"Tapi, Mas...."
"Nay, plis..."
Aku sangat bingung, tapi karena mas Widi sangat memaksa, akhirnya aku bersedia.
"Baiklah, mas ...."
"Terima kasih, Nay.... Sampai bertemu nanti malam." ujar mas Widi mengakhiri parcakapan.
Aku menghela napas sesaat, lalu meletakkan ponselku.
Aku sengaja tidak meminta pertimbangan mama soal rencanaku menemani mas Widi ke acara keluarganya. Lagi pula, mungkin hanya sekali ini saja aku melakukan ini. Karena aku juga malas sering bertemu dengan mas Arman dan Maya.
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku fokus pada layar laptop. Baru beberapa paragraf aku mengetikkan kata, mama masuk kekamarku.
"Nay, mama mau bicara sama kamu!"
"Bicara apa, apa?"
"Apa kamu nggak sedih usaha restoran yang kamu rintis diambil alih oleh Arman?"
"Ya, mau bagaimana lagi, ma... Semua kepemilikan izin usaha itu atas nama mas Arman."
"Kamu, sih.... Nggak pikir panjang!"
"Siapa yang mau mikir akan bercerai ma.... Kalau melihata sikap mas Arman dulu, rasanya tidak mungkin dia tergoda wanita lain....Ah, sudahlah,... Di sesali juga sudah tidak ada artinya." jawabku sesal.
Aku kembali menatap layar laptopku, baru saja aku akan mulai menuliskan kata, mama kembali bicara.
"Nay, kenapa nggak mulai jualan lagi, siapa tahu kali ini usaha kamu berhasil?"
"Ma... Aku kan sudah mencobanya, bahkan semua uangku sudah habis tersedot. Tapi usaha restorannya tetap saja bangkrut."
"Begini, Nay, teman mama lagi nyari ketring untuk kantornya. Coba deh, siapa tahu rezeki kamu."
"Ma... Aku sudah memutuskan menulis saja. Lagi pula hasilnya juga lumayan."
"Tapi, Nay.... Waktu kamu habis di depan laptop. Lihat Bian.... Dia nggak ke urusan. Kalau kamu sibuk ngurusin Bian, tulisan kamu terbengkalai.... Mama rasa kamu harus cari usaha lain.... Tidak apa-apa kamu menulis, tapi hanya untuk tambahan dan menyalurkan hobi saja. Kasihan Bian Nay..."
Sejenak aku tertegun. Benar kata mama, sejak menulis, waktuku sangat sedikit untuk Bian. Pernah aku mencoba menulis saat malam hari agar siang bisa meluangkan waktu bersama Bian, tapi aku tidak sanggup begadang. Aku jatuh sakit. Akhirnya aku menulis di siang hari.
"Baiklah ma, akan aku coba..."
"Kalau begitu, pergilah ke pasar untuk belanja."
"Sekarang?"
"Iya, sekarang! Hari ini terakhir seleksi rasa.... Kamu diminta memberi sampel makanan pada teman mama itu."
"Tapi.... " kalimatku tertahan sejenak. Aku khawatir tidak bisa membagi waktu, sebab saat ini aku sedang sibuk merilis n****+ baru dan juga aku harus sering ke lokasi syutung. Mas Widi ingin aku ikut melihat proses pembuatan filmnya.
"Tapi apa lagi, Nay?"
"Ma ... Bagaimana kalau aku selesaikan dulu semua proyek yang sedang berjalan ini, aku takut malah jadi terbengkalai semua ma..."
"Tapi mama nggak suka kamu dekat dekat dengan Widi!" jawab mama ketus. Wajahnya terlihat gusar.
Aku hanya bisa menghela napas, sudah bisa kutebak, sebenarnya mama ingin aku berhenti menulis agar tidak dekat dekat dengan mas Widi.
Tapi rasanya tidak mungkin berhenti sekarang. Tapi, aku juga tidak sanggup jika mengerjakan semuanya di saat yang bersamaan.