Chu Fei Yang mempercepat pergerakannya, “Yang mulia anda harus melepaskan hanfu permaisuri.”Kaisar Xian terkejut, “Kau! Apa yang akan kau lakukan?”
Chu Fei Yang memutar bola matanya, secara acuh tak acuh ia menjawab, “Ini adalah prosedur pembedahan. Aku akan menunggu, kaisar silahkan lepaskan pakaian permaisuri dan tutupi tubuhnya dengan kain panjang ini. Ah iya, kain yang memiliki lubang di tengah ini di gunakan di bagian punggung.”
Kiasar Xian hanya mendengarkan perintah Chu Fei Yang itu tanpa banyak bicara. Ia sebelumnya tidak pernah melakukan hal tidak senonoh ini pada permaisuri Xianmu. Tapi semakin banyak waktu yang ia gunakan untuk berpikir maka semakin sedikit pula kesempatan permaisuri Xianmu untuk selamat. Maka dengan berhati-hati kaisar Xian mulai menanggalkan lapisan kain yang kini membalut tubuh putih permaisuri Xianmu itu.
Chu Fei Yang yang sedari tadi sudah bersiap mulai kehabisan kesabarannya, “Biaoge, kenapa anda lama sekali? Cepatlah.”
Kaisar Xian hampir selesai melepaskan pakaian permaisuri Xianmu, sekarang hanya sisa lapisan terakhir. Kaisar Xian menjawab Chu Fei Yang, “Fei Fei apakah aku harus melepaskan semuanya?”
Chu Fei Yang ingin segera mengetuk kepala kaisar negeri Han ini, ia kemudian berbicara dengan nada acuh tak acuh, “Aiya, tentu saja. Kaisar jangan khawatir, aku tidak akan melihat apa pun. Ini adalah pekerjaanku, jadi aku akan profesional. Bergegaslah.”
Kaisar Xian mengumpulkan keberaniannya dan ia akhirnya berhasil menanggalkan semua pakaian permaisuri. Wajah kaisar Xian yang mulanya menunjukkan reaksi canggung karena melihat tubuh permaisuri untuk pertama kalinya tiba-tiba berubah, wajahnya menunjukkan kesedihan ketika ia melihat darah yang tidak berhenti mengalir dari punggung permaisuri.
Beberapa saat kemudian Chu Fei Yang telah siap, ia mulai melakukan prosedur operasi pada permaisuri Xianmu. Melihat secara langsung Chu Fei Yang yang tengah menjahit pembuluh darah permaisurinya itu, kaisar Xian tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali ia bertanya pada Chu Fei Yang, “Apakah itu sakit?”
Chu Fei Yang masih fokus, “Tidak, kaisar tenang saja. Permaisuri Xianmu pingsan karena ia sudah tidak bisa menahan rasa sakit akibat tusukan belati itu. Sekarang aku akan menjahit pembuluh darahnya yang putus lalu kemudian menutup lukanya dengan jahitan luar.”
Kaisar Xian penuh dengan kesedihan, hatinya terluka melihat permaisuri yang biasanya ceria kini harus terbaring sakit dan tidak berdaya. Kemarahan bercampur dengan hati yang terluka kini sedang merasuki seluruh jiwa kaisar Xian.
Setelah 2 jam berkutat dengan jarum dan benang, Chu Fei Yang akhirnya selesai. Ia menyeka darah dari sarung tangan plastik yang ia gunakan, “Hamba sudah selesai kaisar. Permaisuri mungkin akan membutuhkan waktu selama 2 hari untuk bisa sadar kembali.”
Kaisar Xian, “Bagaimana keadaannya sekarang? Kenapa lama sekali, 2 hari adalah waktu yang sangat lama.”
Chu Fei Yang, “Keadaan permaisuri Xianmu sudah jauh lebih baik. Yang mulia sudah melewati masa kritisnya. Ah iya, hamba ini adalah seorang tabib dan bukanlah dewa, waktu dua hari ini hanyalah perkiraan. Ini adalah efek obat bius.”
Kaisar Xian untuk sementara ini hanya mengangguk mengerti. Setelah mendengar penjelasan Chu Fei Yang tadi, kaisar Xian tidak lagi banyak bertanya. Sementara itu Chu Fei Yang telah selesai membersihkan peralatan medisnya, ia sekarang duduk di kursi dan terlihat sedang menuliskan sesuatu di atas kertas, “Yang mulia, ini adalah resep obat. Anda bisa meminta departemen kesehatan istana menyiapkannya. Dan ini…”
Chu Fei Yang mengambil sebuah botol porselen kecil dari kotak peralatan medisnya, “Ini adalah salep yang terbuat dari ramuan herbal. Aku mendapatkannya ketika sedang berada di Riben. Ini sangat berharga dan juga….”
Kaisar Xian mulai menatap Chu Fei Yang dengan tatapan menjengkelkan, “Fei Fei
bukankah kau terlalu berbelit-belit? Cepat katakan!!”
“Ah baiklah. Ini adalah salep yang berguna untuk menghilangkan bekas jahitan yang ada di punggung permaisuri. Tapi bekas luka seperti mungkin tidak akan memudar, tapi setidaknya dengan salep ini, bekas luka itu sedikit tersamarkan.” Jawab Chu Fei Yang.
Kaisar Xian memahami betul bagaimana pentingnya kulit yang mulus dan tanpa bekas luka bagi wanita di dinasti Han ini. Sebuah bekas luka walaupun itu hanya sekecil biji kurma pun akan membawa dampak yang besar. Tapi kaisar Xian tidak akan pernah mempermasalahkan hal ini.
“Aku mengerti. Ah, terima kasih Fei Fei karena kau sudah menyelamatkan permaisuriku.” Ujar kaisar Xian dengan tulus,
Chu Fei Yang tersenyum licik dan seketika berbicara, “Hamba akan datang setiap hari untuk memeriksa permaisuri Xianmu. Dan…”
Kaisar Xian, “Dan apa?”
“Hamba menunggu hadiah dari yang mulia Biaoge.” Chu Fei Yang berlari keluar ketika ia mengatakan seputar hadiah ini. Kaisar Liu Xie secara natural tersenyum ketika ia melihat bayangan adik sepupunya itu perlahan menghilang. Tatapannya segera beralih ke wajah permaisuri Xianmu yang pucat.
“Permaisuri harus sembuh. Aku membutuhkanmu.” Ujar kaisar Xian sembari membelai wajah permaisuri dengan lembut.
*/
Berita mengenai kebrutalan bandit jalanan terhadap permaisuri Xianmu dan rombongannya itu telah terdengar sampai ke Cao Fu (Kediaman keluarga Cao). Cao Xiao yang mendengar bahwa adiknya kini tengah terbaring sakit, tidak bisa menahan rasa sedihnya. Ia terus meneteskan air mata khawatir. Sementara itu Cao Hua yang nampak lebih tenang sedang berusaha menenangkan kakak tertuanya itu.
“Kakak pertama, aku tau kakak khawatir. Tapi kita harus bisa tabah dan mendoakan yang mulia permaisuri Xianmu.” Ujar Cao Hua.
Mendengar hal ini, hati Cao Xiao tergugah. Dia sekarang sadar betapa tidak dewasanya dirinya itu, “Maafkan aku Xiao Hua. Kakakmu ini hanya khawatir.”
Cao Hua memberikan sebuah saran pada Cao Xiao, “Kakak, bagaimana kalau kita pergi menjenguk permaisuri Xianmu? Aku akan meminta izin dari ayah.”
Cao Xiao seketika mengangguk, itu adalah keinginan terbesarnya sekarang. Cao Hua tidak bisa membantu, tapi sekarang ia tengah berjalan menuju ruang kerja panglima Cao Cao. Cao Hua mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, hingga selang beberapa detik suara panglima Cao Cao terdengar, “Masuk.”
Cao Hua segera membuka pintu, ia melihat ayahnya tengah duduk dengan tenang sambil menyiram bonsai kesayangannya. Di sebelah kiri panglima Cao Cao ada sosok pemuda tampan yang tidak asing. Pemuda yang tengah berpakaian serba hitam itu adalah Xue Yang. Tatapan Xue Yang juga mengarah ke Cao Hua, ia segera membungkuk, “Salam pada nona ketiga.”
Mendengar Xue Yang kembali membuat keributan dengan bersikap hormat padanya, Cao Hua hanya bisa mengangguk. Panglima Cao Cao seketika menyela, “Apa yang membuat putri bungsu kesayangan ayah ini datang kemari?”
Cao Hua segera berlari ke arah ayahnya, ia dengan manja memeluk lengan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, yang mulia permaisuri Xianmu sedang sakit. Aku dan kakak pertama sangat mengkhawatirkannya. Bisakah kami mengunjunginya? Kakak pertama juga berpikiran yang sama, ia berpikir ini akan membantu proses pemulihan permaisuri.”
Mendengar hal ini panglima Cao Cao tidak bisa membantu, tapi ia bangga dengan kedua putrinya itu. Ia hanya bisa berkata, “Ayah akan mengizinkan kalian pergi ke istana. Tapi dengan satu syarat.”
Cao Hua sudah mengantisipasi hal ini, “Syarat apa ayah?”
“Panglima Xue harus menemani kalian.” Ujar ayah Cao Hua.
Cao Hua mengangguk dan menatap Xue Yang dengan penuh kegembiraan. Ia kemudian menyadari sesuatu yang tidak biasa dari ucapan ayahnya barusan, “Ayah tadi mengatakan apa? Panglima? Bukankah Xue Yang adalah wakil panglima…”
Panglima Cao Cao mengangguk, “Ayahmu ini sekarang bukan lagi panglima perang. Ayah akan pensiun dari dunia militer. Ayah akan masuk dunia politik dan memimpin fraksi barat. Jadi tugas ini akan menjadi milikmu Xiao Xue.”
Xue Yang membungkuk, “Xue Yang siap mengabdi pada tuan dan juga negara.”
Cao Hua tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya, “Selamat Xue Yang. Ah tidak, tidak, maksudku selamat panglima Xue.”
Xue Yang tersenyum tulus, kebahagiaannya bertambah saat Cao Hua memberikannya ucapan selamat, “Nona ketiga terlalu sungkan.”
Sebuah kereta dengan gerbong yang nyaman telah bersiap di halaman Cao Fu. Sementara Xue Yang dan beberapa pengawal rumah keluarga Cao juga terlihat sedang menunggu kedua nona keluar. Tak lama berselang, Cao Xiao dan Cao Hua keluar dari kediaman mereka. Cao Xiao memakai hanfu berwarna merah muda yang di padukan dengan rok berwarna kuning pucat, kupu-kupu yang di sulam di atas roknya itu nampak hidup ketika Cao Xiao bergerak. Penampilannya yang terkesan sederhana namun anggun benar-benar memperlihatkan statusnya sebagai putri bangsawan yang elegan. Sementara itu si bungsu Cao Hua terlihat mengenakan pakaian berwarna hijau cerah dengan rok hijau pucat. Bunga matahari yang di sulam di roknya itu tampak sangat menawan. Di bandingkan dengan pakaian nona tertua, pakaian nona ketiga keluarga Cao ini terlihat begitu berwarna dan cerah. Hal ini tentu saja menggambarkan bahwa usia Cao Hua masih sangatlah muda.
“Ayo kita berangkat.” Ujar Cao Xiao.
Pelayan pribadi Cao Xiao membantu majikannya naik ke atas gerbong. Sementara itu Cao Hua yang lebih terkesan tomboy menaiki gerbong tanpa bantuan siapa pun. Mereka berdua kini telah berada di dalam gerbong, sementara Xue Yang yang memimpin sudah berada di atas kudanya. Xue Yang memberikan aba-aba, “Nona, kita akan segera berangkat menuju istana Weiyang.”
Cao Hua menurunkan tirai gerbongnya dan kepalanya muncul dari balik jendela gerbong, ia berteriak pada Xue Yang, “Siap komandan Xue!”
Xue Yang tersenyum bahagia melihat tingkah laku Cao Hua ini. Tak lama setelah itu kereta pun berangkat menuju istana Weiyang.
Melihat perilaku adiknya yang terkesan melupakan etiket ini Cao Xiao tidak tinggal diam. Dia melirik Cao Hua sebelum akhirnya berbicara, “Xiao Hua, kau adalah gadis muda dari keluarga bangsawan. Bagaiman jika perilakumu tadi di lihat oleh orang? Mereka akan mengira Cao Fu tidak mendidik putri-putri mereka dengan baik. Ini akan sangat merugikan keluarga kita dan juga permaisuri Xianmu.”
Mendengar omelan lembut kakak tertuanya ini, Cao Hua hanya bisa tersenyum manja. Ia mulai bergelantungan di lengan ramping Cao Xiao, “Aiya, kakak tertua jangan marah. Adikmu ini hanya lupa. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”