CHAPTER-5

1971 Kata
"Bukankah kau lupa segalanya?" Kami berada di manssion Ana dan Richard. Sebelumnya aku sudah memberitahu mereka tentang amnesia palsuku. Aku harap Gadis tidak curiga karena tiba-tiba aku mengajaknya ke manssion Rich. "Damian memberitahuku tentang Richard dan Ana. Dia bilang mereka keluargaku." "Dia tidak memberitahu kalau aku tunanganmu?" "Tidak." "Dasar b******k! Awas kau, Dam." Aku menahan tawaku. Ah, lucu sekali melihatnya cemberut seperti itu. Aku menginginkan bibir ranun itu. "Kau bilang kau sedang hamil." "Benar. Aku hamil anakmu." katanya tegas. "Jangan mengumpat! Tidak baik jika anakmu mendengar umpatanmu!" "Anakmu!" "Terserah!" Aku merindukannya. Dia miliku. Gadisku. Mana mungkin aku melupakannya? Entah sejak kapan aku memuja wanita ini. Senyumnya, bibirnya, suaranya, apa pun yang ada pada dirinya aku suka. "Eh," Rachel berlari menghampiriku. Anak kecil itu sama sekali tidak pangling meskipun sekarang aku sangat berbeda dengan aku yang dulu. Aku mengelus lembut puncak kepalanya. Gadis melihatku sinis, seperti mencari kebohongan yang kusembunyikan. "Hay," sapaku pada Rachel. "Am...ma...ma...." Rachel mulai berceloteh. Aku hanya tertawa mendengarnya. Lucu. Jika anakku perempuan, Rachel akan menjadi teman yang baik sepertinya. Puas bermain dengan Rachel, aku memutuskan melihat anak kedua Richard dan Ana. Laki-laki, tegas seperti ayahnya. Usianya hanya terpaut beberapa bulan dengan anakku nanti. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin menggendong bayiku sendiri. Gadis terus menerus mengawasi tingkahku. Curiga dengan apa saja yang kukerjakan. Bola matanya bergerak sesuai pergerakanku. Dari sisi yang lain, Ana dan Richard terus ikut mengawasi tingkah laku Gadis. "Gadis," panggil Ana tiba-tiba. "Ya?" Gadis menoleh pada Ana dengan berat. Tidak mau aktifitasnya mengawasiku terganggu. "Bisa tolong ambilkan minum di luar?" Gadis menyerngit. "Bukankah di sini ada kulkas?" "Aku memesan jus pada pelayan. Bisa tolong ambilkan?" "Aku bisa menyuruh mereka kemari, An," "Mereka sedang sibuk mempersiapkan jamuan makan malam untuk merayakan kembalinya Dewa. Kumohon." Bagaimana pun juga, Gadis tetaplah Gadis. Aku tahu dia tidak bisa berpura-pura baik di depan orang lain. Dia memperlihatkan kejengkelannya pada Ana saat berkata, "Sekali ini saja, An. Aku bukan pembantumu." Lalu ia pun pergi meninggalkan kami menuju dapur. Aku menahan tawaku. Tuhan, kau cipatakan dari apa manusia ini? Ana berjalan cepat ke arahku. Wajahnya sinis seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar, "Aku kecewa padamu, Dewa!" "Seharusnya kau memberiku pelukan selamat datang, An!" "Memang. Seharusnya memang begitu. Tapi melihat kau menjahili Gadis seperti itu, aku jadi muak padamu!" Mungkin memang Ana ada benarnya. Tidak seharusnya aku memperlakukan Gadis seperti itu. Tapi kalian tahu, aku melakukan itu semua demi mencari tahu apakah Gadis benar mencintaiku atau hanya sekedar kasihan padaku. Tanpa menunggu lama, aku menarik Ana ke dalam pelukanku. Aku sangat merindukan istri temanku ini. "Selamat atas kelahiran anak keduamu, An." Ana pun membalas pelukanku, aku bisa mendengar dengan jelas isak tangisnya. Juga bahunya yang bergetar hebat, "Jangan tinggalkan kami lagi." "Tidak akan." kataku seraya mengurai pelukan. Rich tak kalah terharu. Ia juga memelukku dan mengucapkan salam kedatangan seolah kami tidak bertemu puluhan tahun. He is my brother from another mom. "Jangan terlalu lama pura-pura amnesia. Kasihan Gadis." "Tidak, Rich. Tidak akan. Aku tidak akan menyiksanya." Beberapa saat kemudian, Gadis datang dengan membawa segelas jus. Bibirnya manyun seperti anak kecil yang kesal pada ibunya karena di suruh mandi. Gadis meletakkan segelas jus di atas nakas lalu menghampiri aku lagi. "Kita pulang." katanya ketus. "Kau duluan saja. Aku masih ingin di sini." "Tidak. Kau tidak boleh kelelahan." "Aku tidak melakukan apapun!" bantahku sengit. "Kita pulang atau ketenggelamkan kau di laut!" Richard dan Ana menahan tawa mereka melihat kelakuan Gadis. Wanita ini, semakin diperhatikan memang semakin menggemaskan. Tunggu, sepertinya aku berlebihan. "Baiklah aku ikut." "Menurutlah! Selama kau amnesia, kau harus tunduk padaku!" Begitu sampai di manssion pribadiku, Gadis memawariku untuk membersihkan diri. Dengan telaten ia mengelap seluruh bagian tubuhku dengan kain basah, membantuku menggosok gigi dan membasuh rambutku. Aku bisa melakukannya sendiri sebenarnya, tapi Gadis melarangku. Entahlah apa yang ada di dalam pikirannya. "Kau bisa menyuruh salah satu pelayanmu untuk melakukan ini." celetukku. "Kau benar. Tapi aku ingin melakukannya sendiri." "Kenapa?" "Tidak ada." "Kau hanya iba kepadaku." "Tidak." "Merasa berhutang budi?" "Tidak juga." dari gerakan tangannya, aku tahu Gadis menyeka air matanya. Ia masih menunduk membersihkan kakiku dan memotong kuku kakiku yang mulai panjang. "Aku hanya ingin kita melewati masa-masa sulit ini bersama." "Tapi aku sama sekali tidak mengingatmu." Gadis menghela napas sekali. Ia berdiri lalu mengembalikan lap bekas dan wadah berisi air ke kamar mandi. Selang beberapa menit wanita itu kembali dengan handuk kering. "Aku tidak peduli kau mengingatku atau tidak." lagi-lagi dengan sabar, Gadis membantuku berbaring di ranjang. Jemarinya lembut mengusap air yang masih menempel di tubuhku. "Aku juga tidak memaksamu untuk mengingatku. Aku hanya ingin bersamamu." "Bagaimana jika aku sama sekali tidak mengingatmu?" "Kau akan mengingatku cepat atau lambat. Terlalu banyak yang kita lewati selama beberapa tahun terakhir ini. Mustahil kau tidak mengingatnya sama sekali." Gadis melenggang pergi dengan handuk basah di tangannya. Bisa kulihat dengan jelas air matanya yang lolos tanpa ia kehendaki. Wajahnya meskipun cantik dan menawan seperti biasa, kini terlihat begitu suram. Malaikat di atas kepalaku mengatakan aku terlalu jahat telah memperlakukan Gadis seperti itu. Sedangkan setan di hatiku bilang memang sepantasnya aku berbuat seperti itu padanya, tujuannya kan baik, agar kita tahu apakah dia mencintaiku atau tidak. Aku berbaring untuk menata hati dan pikiranku. Cinta, sejak jatuh cinta dengannya aku memang sering kali lupa kalau aku adalah manusia. Manusia yang diciptakan Tuhan dengan otak. Otak yang seharusnya kugunakan untuk berpikir. Memikirkan apa saja yang hendak kulakukan. Bukan hanya pelengkap isi kepalaku. Aku lebih sering menggunakan hati. Menang seharusnya seperti itu, bukan? Yang dibutuhkan untuk mencintai adalah hati, bukannya otak. Otak dan hati memiliki peran masing-masing dalam tubuh manusia. Yang seharusnya berjalan selara agar kehidupan menjadi seimbang. Namun, bagaimana jika otak dan hati tidak bisa berjalan beriringan? Apakah kehidupan akan tetap berjalan seimbang? Akan ada banyak sekali konflik jika hati dan otak tidak bisa bekerja sama dengan baik. Dan aku tidak mau hal itu terjadi dalam hidupku yang singkat ini. Sesaat, aku merasakan ada arus listrik bertegangan rendah menyengat tubuhku saat Gadis menggenggam tanganku. Hangatnya membuat hatiku berdesir. Itulah yang selalu kurasakan ketika bersentuhan dengannya. Ya, sejak pertama kali bersentuhan dengannya hingga hari ini perasaan itu selalu sama. Dialah satu-satunya wanita yang selalu bisa membuatku seperti ini. "Aku yakin kelak kau akan ingat bagaimana dulu kau selalu membuatku tak berdaya di atas ranjang." Aku hanya diam. Enggan melihat Gadis menitikkan air mata. "Sampai kapan kau akan bertahan dengan keadaanku yang sekarang?" "Entah. Aku akan pergi saat hatiku lelah. Dan jika kau sudah ingat, kau yang harus mencariku." "Jika aku tidak ingat?" "Tidak masalah. Setidaknya aku pernah bahagia bersamamu dan akan kubawa pergi perasaan bahagia itu bersama anak dalam kandunganku agar aku bisa mengingat masa-masa indah kita." "Bagaimana jika aku meminta anak itu?" "Ambilah. Kau punya hak atas anak ini. Mungkin dengan kehadiran anak ini kau bisa mengingatku lagi." "Kau tidak keberatan?" "Tentu saja tidak." Gadis melepas tanganku, berdiri dan hendak melangkah pergi. "Jangan pergi!" pekikku tertahan. Wanita itu melipat dahinya. "Aku akan berusaha mengingatmu." kataku tanpa menunggunya bicara. Gadis melepas genggaman tangannya dan berkata, "Oh, harus!" Aku menarik tangannya lagi. Seperti ada senyum kemenangan tercetak di wajahnya. "Aku hanya ingin mandi." katanya menahan tawa. "Oh, cepatlah!" kataku datar. Sial! Baru beberapa hari berpura-pura amnesia saja aku sudah hampir kalah darinya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus bisa bertahan lebih lama dari ini. Pesta yang sengaja dirancang Richard dan Ana untung menyambut kedatanganku kembali ke keluarga ini akhirnya benar-benar terealisasikan. Sebelumya, pesta ini pernah hampir terjadi namun harus batal karena saat itu aku koma. Jauh-jauh hari Richard menyiapkan semuanya bersama Damian dan beberapa panglima perang yang berada di bawah naungan kami. Suasana pantai telah ramai oleh musik keras yang didendangkan oleh beberapa staf RRTech yang ternyata memiliki bakat bermusik yang fantastis. Rich, Ana dan Rachel berdiri di bawah tenda besar di salah satu sudut pantai. Mereka sedang menikmati musik sambil sesekali bercengkrama dengan chef yang sedang memanggang sosis untuk Rachel. Lebih dari seribu botol vodka dan minuman sejenisnya di sajikan di sebuah mini bar yang tak jauh dari panggung. Pria dan wanita dengan pakaian kasualnya bernyanyi dan berdansa sesuai iringan musik dari DJ. Beberapa telah ambruk karena pengaruh minuman beralkohol. Yang lainnya masih asyik berdansa dan menikmati hidangan terbaik dari chef-chef RRTech-Island. Tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya memiliki pulau pribadi seperti ini. Banyak sekali uang yang kami keluarkan untuk meneliti tempat ini, membangun infrasutruktur dan mendirikan kerajaan yang tidak diketahui banyak orang ini. Tempat ini, RRT-island memang sengaja disulap menjadi kerajaan oleh Richard. Ayah mertuanya menyumbang miliyaran dolar hanya untuk membangun RRT-island menjadi sebuah kerajaan seperti yang diimpikan putri semata wayangnya. Dan memang, tempat ini adalah tempat paling aman untuk keluargaku dan Rich. Di luar sana, banyak sekali mafia yang menginginkan kematian kami. Kematian pemilik RRTech, yaitu aku. Sekaligus orang  di balik kesuksesan teknologi ciptaan RRTech, yaitu Richard. Dalam bisnis, mereka yang tersingkir bisa buat keji dan melakukan segala cara untuk menyingkirkan lawannya. Pada dasarnya, manusia memang tidak pernah lepas dari hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang akan keluar menjadi pemenang. Begitulah, namun Si Raja Rimba yang bernama Singa itu jauh lebih mulia di bandingkan manusia. Jika singa menang karena kerja kerasnya sendiri, ia tidak akan mengusik musuhnya di lain hari. Namun manusia, mereka punya otak, punya pikiran, bersekutu untuk menjatuhnya musuhnya. Dan di lain hari sekutunya akan menjadi musuhnya. Begitu seterusnya sampai keserakahan itu mengambil nyawanya. Beginilah hidup saat kau punya segalanya. Nyawamu bukanlah milikmu lagi. Namum milik semua orang yang menganggapmu musuh. Duduk berdiam diri di kamar saja banyak yang menginginkan kematianmu. Apalagi keluar  dari zona nyaman, rumahmu. "Kau mau makan? Aku bisa mencari sesuatu untukmu." Aku menarik tangan Gadis yang telah melangkah hendak pergi meninggalkanku. "Tidak. Di sini saja." "Aku haus." "Aku akan mengambilkan untukmu." "Tidak. Aku bisa sendiri. Duduklah di sini!" Sebenarnya, aku ingin sekali menyapa teman dan beberapa stafku. Tapi, berhubung aku sedang berpura-pura amnesia tidak mungkin aku melakukannya. Gadis membawaku ke tempat yang terbilang jauh dari hiruk pikuk pesta. Dia juga melarangku berdiri serta jalan-jalan. Gadis masih memaksaku duduk di kursi roda. Jadi, kemana pun aku pergi harus dengannya juga. "Ron!" suara seorang wanita mengagetkanku saat sedang mengawasi Gadis dari tempatku. "Hey, Ly," Lyn adalah istri salah satu programerku yang berasal dari Jepang. Dia dan suaminya bekerja denganku selama lebih dari lima tahun. Mereka menikah dua tahun lalu dan memiliki seorang anak laki-laki. "Di mana Kitaro?" "Sedang bertemu dengan teman-temannya." Lyn menunjuk suami yang sedang asyik bercengkerama dengan stafku yang lain. "Maaf aku baru bisa datang, Ron "Tidak apa. Aku juga baru saja sadar." Pembicaraan kami mengalir begitu saja. Banyak perusahaan Jepang yang meniru dan memproduksi apa saja yang telah dirilis RRTech. Lyn juga mengatakan plagiat itu tidak bisa membuat seperti aslinya. Tetapi hal itu tetap tidak baik untuk perusahaanku karena mereka menawarkan harga yang sangat rendah. Aku mendesah kecewa. Harus ada inovasi baru untuk perusahaanku. Atau mereka bisa menggulingkan RRTech cepat atau lambat. Gadis datang dengan wajah cemberut. "Kau mengenalnya?" tanyanya padaku. "Maaf, aku tidak bermaksud. Aku hanya menemaninya." sambar Lyn. "Oh, Ronald harus pergi, permisi." Tanpa berkata apa-apa lagi, Gadis mendorong kursi rodaku dengan kesal. Aku hanya bisa melambaikan tangan pada Lyn. Sepertinya dia tahu posisiku. "Dasar genit!" komentarnya makin sengit. "Dia mengenalku." "Kau mengenal semua orang di sini. Ternyata begitu kelakuanmu di belakangku." "Kau keberatan?" "Tidak!" "Marah?" "Tidak! Aku akan membuangmu ke hutan kalau kau melakukannya lagi!" "Aku bisa pulang sendiri." "Aku akan mengirim singa untuk memakanmu. Ingat ya, meskipun kau tidak ingat apa pun tentangku, kau harus selalu ingat kalau kau sudah bertunangan denganku dan aku sedang mengandung anakmu!" Gadis berdiri di depanku dengan kedua tangan terlipat di d**a. Dress merahnya melambai karena tertiup angin. Perutnya sedikit membuncit dan sepatu flat bermotif bunga serta cardigan hitam menyempurnakan penampilannya malam ini. Rambutnya tergerai indah. Tuhan, kau menyempurnakan hidupku dengan mengirim wanita ini. "Aku sedang marah dan kau malah tersenyum! Kau menghinaku!" semprotnya lagi. Dan ternyata beginilah wanitaku saat dengan cemburu. Aku takut. Sekaligus senang melihatnya marah karena cemburu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN