DEWA's POV
Suara itu, suara seroang wanita yang selalu mengisi dunia yang kuhuni saat ini. Ya, aku tak tahu di mana sekarang tepatnya aku berpijak. Di bumi sebelah mana? Rasanya aku belum pernah menemukan bagian bumi seperti ini.
Kenapa aku berkata demikian? Karena setahuku bumi memiliki dua sisi. Sisi terang dan gelap, yaitu siang dan malam. Dan tempat ini? Tempat macam apa ini? Aku hanya sendirian di tempat ini. Seorang diri duduk di sebuah tempat yang entah berbentuk apa. Tidak ada sudut atau celah apa pun. Di yang ada hanya warna putih dan putih. Lantai putih polos tanpa garis, tidak ada dinding mau pun atap.
Aku benci keramaian. Tapi jika harus terjebak di sini sendirian, lebih baik aku menemani Gadis ke pasar tradisional. Walau pun Gadis tidak pernh ke pasar sebelumnya. Membedakan bawang dan cabai saja sepertinya dia tidak bisa.
Gadis. Ya, suara itu memang suara Gadis. Aku mendengar suaranya, tangisnya dan sesuatu seperti detakan, entah detakan apa itu. Aku merindukan suara itu. Aku mencarinya, dalam terang sinar putih yang menemaniku, aku berlari mengejar suara itu. Hilang.
Dan entah untuk berapa lama kemudian suara itu kembali hadir. Mengganggu sekali. Aku tidak tahan! Aku kembali mencadri. Di manakah kau berada, Gadisku? Wanitaku? Kekasihku? Aku merindukanmu. Aku tidak bisa berpisah terlalu lama darimu. Mungkin saat ini aku berada di dimensi lain. Atau justru engkau yang berada di tempat yang berbeda denganku?
Tidak ada tembok yang memisahkan aku denganmu. Jika tembok itu nyata, aku ingin segera menghancurkannya agar bisa memelukmu lagi. Tidak pernah bosan kuungkapkan pada diriku sendiri bahwa aku merindukanmu. Tidakkah kau mendengarku? Aku membutuhkanmu. Hanya engkau. Jadi datanglah jika kau tahu keberadaanku, jemputlah aku segera. Atau aku akan terbunuh rasa rindu yang begitu besar untukmu.
Aku bisa mendengar suara tangismu, aku bisa merasakanmu, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuhmu? Apakah engkau lelah menemaniku? Aku bosan menunggumu datang. Aku ingin datang padamu. Bukanlah itu yang selalu kulakukan? Datang dan memaksamu untuk ikut denganku meskipun kau sama sekali tidak pernah menginginkanku. Aku selalu menginginkanmu, membutuhkanmu, Gadis, kekasihku.
Tiba-tiba, aku seperti terseret ke sebuah tempat yang sangat berbeda dari tempat sebelumnya. Tempat ini gelap. Tetapi aku tidak takut. Aku merasakan nafasku sendiri. Tubuhku yang tadinya membeku kini menghangat, sentuhan itu makin kentara saat mengenai kulitku. Bahkan bisa kurasakan jemariku bergerak tak beraturan.
Tidak lama setelah itu, sesuatu seperti menyentuh bibirku. Seseorang dengan suara khasnya menangis lagi, meembuatku tidak tahan mendengarnya. Aku bangkit dari kegelapan. Samar-samar kugerakkan jemariku lagi dan kubuka mataku. Sulit memang. Suara itu bahkan telah menghilang. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin mengejarnya dan menghapus air mata itu.
Dunia kembali menyambutku dengan kejamnya. Di depan sana, teriknya matahari menyorot tepat di bola mataku. Silaunya membuatku kembali menutup mata. Butuh beberapa menit lagi untuk beradaptasi dengan cahaya. Dan saat kedua mataku telah siap, kembali kubuka kedua mataku dan mendapati seorang dokter yang telah lama bekerja denganku.
"Jangan bergerak! Tubuhmu belum siap!" peringat Damien.
"A....ir," erangku serak.
Damien mengambil segelas air lalu memberikannya padaku. Segelas air itu kini bersarang di perutku. Lega sekali.
"Di mana Gadis?" tanyaku pada Damien.
"Di manssion Richard. Ana akan melahirkan."
"Oh ya? Kandungannya belum genap sembilan bulan."
"Itu waktu kau tertembak. Kau koma selama enam minggu."
"Enam minggu?" tanyaku tak percaya.
"Benar. Selama itu pula kandungan Ana dan Gadis terus bertambah usia."
Aku lupa. Aku benar-benar melupakan anakku yang sedang dikandung Gadis. Tanpa kusadari, air mataku mengalir. Bagaimana Gadis melewati minggu-minggu pertama kehamilannya tanpa aku? Perasaan bersalah menyelimuti hatiku.
"Gadis dan anakmu baik-baik saja." Damian berkata seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
Lihatlah! Tubuhku kini kering kurus. Hanya tersisa tulang belulang yang terbungkus kulit saja. Tidak kekar dan berotot seperti dulu. Apa Gadis bisa menerimaku? Apa dia akan tetap bersamaku meski aku tidak lagi perkasa seperti dulu?
"Gadis selalu menunggumu kembali, dia tidak pernah menyerah dengan keadaanmu." ucap Damian lagi ketika melihat aku meneliti bagian tubuhku.
Aku mendengus. "Tidak mungkin, Dam." gerutuku.
"Kau bisa pegang ucapanku."
Damian mulai bercerita tentang apa saja yang terjadi padaku selama ini. Raine, sungguh aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal tidak bisa membalas perasaanmu. Dan aku sangat berterima kasih kau telah membiararkanku memakai jantungmu, aku hidup lagi untuk menemani Gadis. Ya, dialah prioritasku. Tidak ada yang lain, yang lebih berarti selain dia.
Damian membantuku memantau proses persalinan Ana lewat sebuah SmartFly yang kukirim ke kamar Richard. Aku mengamati Gadis yang terlihat kuat mendampingi Ana. Richard pingsan, dia memang selalu begitu.
Gadis, oh Tuhan! Melihatmu saja membuatku ingin pingsan lagi. Tidak! Aku tidak boleh pingsan lagi. Aku ingin selalu berada di sampingnya. Wajahnya masih secantik biasanya, senyumnya dan yang paling penting perutnya. Meski belum menonjol tapi setidaknya di sana hidup buah hati kami. Anak yang selama ini kunantikan.
Beberapa saat kemudian, Gadis kembali. Sekarang adalah saat yang tepat untuk membuktikan apakah dia benar-benar mencintaiku atau tidak.
Gadis berlari menghampiriku. Ia lalu memelukku erat, sangat erat hingga aku kesulitan bernapas. Setelah puas memelukku, wanita itu kemudian menciumku. Ah, rasanya aku ingin membalas pelukan dan ciuman itu. Aku tidak tahan! Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk melakukannya. Aku melepas paksa pelukannya, "siapa kau?"
Gadis menyerngit bingung.
"Jangan coba-coba menyentuhku, Nona!"
Karena semakin lama dia menyentuhku semakin tidak tahan aku dengannya. Gadis menoleh pada Damian dan bertanya ada apa denganku. Aku melirik Damian sesaat untuk memberinya kode. Beruntung Damian mengerti.
Damian segera menjelaskan penyebab-penyebab amnesia. Gadis percaya begitu saja membuatku heran bagaimana dia menyelelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang S1?
"Baiklah, aku akan membantumu mengingatku. Kita bertemu di.."
"Tidak perlu." sanggahku cepat.
Aku tidak akan pernah melupakan rangakaian peristiwa yang terjadi di antara kami. Bahkan aku selalu mengingat kapan dan di mana kami bertemu. Gadis tidak mungkin mengingatnya.
Gadis tetap bersikeras menemaniku meskipun aku mengusirnya secara halus. Inilah dia, wanita paling jutek dan keras kepala yang pernah kutemui. Dan satu lagi, kurang pintar. Tunggu! Aku tidak mengatakannya bodoh seperti kebanyakan orang.
Setelah Damian pergi, Gadis duduk di sisi ranjangku.
"Bagaimana bisa kau tidak mengingatku!" gerutunya, "Aku sedang hamil anakmu dan kau tidak mengingatku."
"Jangan ngawur!" kataku cepat. Mendengarnya mengatakan itu, aku ingin sekali membelai perutnya.
Gadis terbelakak, "Kau pikir ini anak siapa!"
"Entah! Kau bisa saja melakukan s*x dengan pria lain." kataku tak kalah keras.
"Kau pikir aku w************n yang bisa dengan mudahnya memberikan tubuhku pada p****************g, ha?!" Gadis mulai naik darah. Wajahnya memerah.
Aku bersiap turun dari ranjang untuk mengambil makanan di luar. Gadis menahanku, "Kau mau kemana?"
"Aku lapar." jawabku datar.
"Aku akan menyiapkan makanan untukmu. Jangan pergi kemana-mana. Kau belum sembuh." Gadis dengan sabar memanggil seseorang untuk menyiapkan makanan untukku. Selang beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang membaw makanan berupa bubur dan jus.
Gadis membantuku duduk, jemari lentiknya mengambil sendok dan menyuapkan ke mulutku. "Berhubung kau sudah sadar, kau harus makan banyak. Lihat, tubuhmu kering kurus seperti orang kurang gizi!"
"Aku tidak suka mendengarmu ceramah terus menerus!"
"Aku sedang tidak ceramah! Aku sedang membantumu pulih!" lagi-lagi wajahnya memerah karena menahan marah.
"Aku tidak butuh bantuanmu." pancingku lagi.
"Terserah! Makanlah dan jangan banyak protes!" teriaknya lagi.
Sepertinya, aku harus bertanya pada Damian apakah boleh membuatnya marah seperti ini atau tidak.
"Aku ingin tidur, kau boleh pergi."
"Heh! Kau pikir aku pembantumu yang bisa kau usir seenaknya!"
"Lalu? Aku harus menganggapmu apa? Kau sendiri yang bilang ingin membantuku. Sekarang tugasmu sudah selesai, kau boleh pergi."
"Tidak! Kau pikir kau siapa?" geramnya.
"Aku? Mana aku tahu."
Tentu saja aku tahu siapa diriku. Pendiri perusahaan RRTech. Pemilik saham terbesar di perusahaan ini. Dan anak dalam kandungan Gadis adalah pewaris tahta RRTech.
"Nah, kau hanya orang yang tidak ingat apa pun tentang dirimu. Maka menurutlah padaku!"
"Hey! Memangnya kau siapa? Mengaturku seenakmu!"
"Aku?" Gadis tertawa. "Dengarkan aku tuan yang terhormat, aku pemilik pulau ini. Aku yang berkuasa di sini. Jadi kau harus menurut padaku!"
Aku menahan tawaku mendengar Gadis mengatakan hal itu. Apa jadinya perusahaan kalau dia pemimpinnya? Dengan Stella saja dia takut.
"Tidurlah! Aku akan keluar."
"Kemana kau?"
"Bukan urusanmu! Sekarang tidurlah! Jangan kemana-mana!"
Kubaringkan tubuhku kembali. Melihat Gadis yang seperti itu, aku kembali teringat dengan pertemuan kedua kami. Ya, sikapnya yang keras padaku membuatku semakin ingin memilikinya. Dia selalu menolakku. Jika bukan karena keteledoran Bastian, mungkin saat ini aku belum memilikinya. Mungkin saat ini masih dalam bayang-bayang Matthew.
Beberapa saat kemudian, Gadis kembali dengan membawa dua botol infuse water. Aku pura-pura tidur saat dia memasukkan dua botol itu ke dalam kulkas.
Gadis menghampiriku dan ikut berbaring. Memang sekarang adalah waktunya tidur siang, aku akan berhenti menjahilinya, membiarkan dia dan anakku beristirahat.
"Kupikir kita akan menikah setelah kau sadar." Gadis berbaring di sisiku, memulai berceloteh, aku mendengarnya dengan gemas.
"Sejak kecil aku tidak mengimpikan pernikahan-pernikahan seperti putri raja atau orang-orang kaya. Pernikahan yang kuinginkan adalah pernikahan sederhana. Aku sebagai pengantin wanita dan calon suamiku memegang tanganku dengan sayang. Disaksikan ibu, Kayla, Rizal, Axel, Fero, dan Gadis. Tapi rasanya tidak mungkin Gadis dan Axel datang. Mereka sudah terpisah lama."
Wanitaku, oh Gadis! Lagi-lagi dia memelukku erat. Sangat erat. Meskipun staminaku tidak seperti dulu, bagaimana pun juga aku lekaki. Dan Gadis adalah wanita yang satu-satunya yang ingin kutiduri. Jadi, bagaimana mungkin juniorku tidak bangun dalam posisi seperti ini?
"Dewa, kapan kau akan mengingatku lagi? Apa kau akan tetap menikahiku? Aku takut kandunganku semakin membesar. Aku takut kalau kau kembali mengingatku, usia kandunganku sudah besar da kita batal menikah."
Tidak akan, Sayang. Aku akan tetap menikahimu. Aku hanya ingin tahu apa aku benar-benar mencintaiku atau tidak.
"Dewa," katanya lagi, "Kau tahu, anak kita selalu bergerak hebat saat didekatmu. Kau harus mengingatku dan membelainya, mengajaknya bicara banyak hal agar dia pintar sepertimu. Aku takut dia akan tumbuh menjadi anak yang bodoh sepertiku."
Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kau tidak bodoh. Hanya kurang pintar.
"Kau harus mengingatku. Kau harus sembuh. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu."
Gadis menguap. Setelah itu, aku tidak lagi mendengar suaranya. Sepertinya dia tertidur.
Saat itulah, aku kembali duduk. Wajahnya terlihat lelah. Tubuhnya tidak sekurus dulu, kontras sekali dengan tubuhku yang kini hanya tinggal tulang belulang.
Kubelai wajah cantiknya dan kucium berkali-kali. Aku merindukanmu, Sayang. Sungguh! Aku akan segera membawamu ke pelaminan. Sabarlah.
Gadis benar. Begitu kuletakkan tanganku di atas perutnya, sesuatu di dalam sana bergerak hebat. Aku tersentak dibuatnya. Gerakannya cepat dan konstan. Dadaku berdebar seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Ah, iya. Aku sedang jatuh cinta pada anakku. Meski aku belum pernah melihatnya, mendengarnya dan bahkan kami belum bertemu, tapi dia sukses membuatku jatuh cinta pada sentuhan pertama.
Tanpa kusadari, air mataku mengalir begitu saja. Tanganku bergetar hebat. Sebentar lagi, ya sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Ayah dari anak-anakku sendiri. Akan kudidik mereka menjadi pemimpin dan akan kubuat perusahaan ini semakin besar demi anak cucuku kelak.
Gadis menggeliat pelan, sepertinya, gerakan anak kami menganggu tidurnya. Suhu ruangan stabil, tapi beberapa bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Aku menyekanya sekaligus mengecup keningnya. Kubisikkan kata-kata cinta sebelum menyusulnya ke alam mimpi.
"Aku mencintaimu, Sayang."
"Kau mau kemana?" Gadis yang melihatku turun dari ranjang segera berlari menghampiriku.
"Jalan-jalan. Aku bosan berada di kamar ini. Katanya kau hamil, kenapa kau berlari?"
Itu bukan pertanyaan. Aku tidak mau Gadis membahayakan kandungannya.
"Kau yang membuatku seperti ini. Lain kali kalau kau ingin sesuatu katakkan padaku! tangan kanannya meraih kakiku dan meletakkannya kembali ke ranjang.
"Tunggu di sini, aku akan mencari kursi roda untukmu."
"Aku bisa berjalan sendiri. Tidak perlu kursi roda."
"Diamlah! Kau ini berisik sekali!"
"Aku harus melatih otot kakik agar tidak kaku saat berjalan nanti."
"Tidak sekarang!"
"Tapi...."
"Diam atau kulempar tubuh kerempengmu ke laut!"