Dia datang. Kedatangannya membuatku semakin muak. Dewa memperkenalkan calon istrinya pada semua orang di RRT-Island. Dia juga meminta agar kami bisa bekerja sama dengannya, menghormati dia seperti kami menghormati Dewa. Sungguh menjijikkan!
Jika ditilik dari wajahnya, aku yakin dia bukan pribumi Indonesia. Mungkin blasteran dengan Eropa atau Amerika. Tapi yang kudengar mereka bertemu di Indonesia. Dan wanita itu memang orang Indonesia.
Dewa dan Gadis akan segera menikah. Resepsi di adakan di tiga tempat, London, Bali dan di sini, RRT-Island. Lagi-lagi kabar itu membuat kelapaku hampir pecah.
Bagaimana bisa aku melihat orang yang sangat kucintai menikah dengan orang lain?
Terbesit di benakku tentang rencana yang sudah kususun rapi untuk mereka.
Terutama untuk Dewa.
Jika aku tidak bisa memilikinya, maka tidak ada yang boleh memiliki Dewa selain Lorraine.
Lorraine Campelo.
Lagi-lagi, aku melihat jemari Dewa bergerak. Sejak hari itu, sejak ia menggerakkan jari untuk pertama kalinya, Dewa selalu melakukan itu setiap hari. Damien mengatakan itu adalah pertanda baik. Dewa akan segera sadar.
Aku tidak pernah mengeluh lagi. Bagaimana pun keadaan Dewa, aku akan selalu siap menerimanya. Juga selalu setia menunggunya bangun.
"Dewa, usia kandunganku dua bulan sekarang. Minggu-minggu ini juga Ana akan melahiran. Ana selalu bilang melahirkan adalah sesuatu yang sangat menyakirkan. Ah, aku tidak tahu lagi bagaimana nanti harus mengahadapi persalinan sebelum kau bangun. Aku ingin kita melewati persalinan bersama. Aku ingin kau melihat proses lahirnya keturunan Herlambang. Kau mau menemaniku, kan?"
Jemari Dewa bergerak lambat. Tandanya, dia sudah mulai merespon apa yang aku katakan. Air mataku lolos begitu saja. "Aku tahu kau akan bangun," kataku serak, "Terima kasih." Kukecup bibirnya lama. Meski dia tidak menyambut bibirku, setidaknya harapan akan kesadarannya sudah mulai kurasakan.
Tanganku masih memegang buku harian tebal milik Raine, atau Lorraine Campelo. Enam minggu lamanya, selama Dewa koma buku inilah yang menemaniku. Buku harian yang berisi tentang kekaguman seorang perempuan bernama Raine pada teman sekampusnya, Dewa. Yang tak lain adalah tunanganku.
Tinggal satu lembar lagi. Lembar terakhir yang isinya benar-benar membuatku tercengang.
Aku kehabisan kata. Aku kehabisan energi untuk sekedar memandangnya dengan Gadis. Dan sebentar lagi aku akan kehabisan seluruh hidupku karena sebenarnya aku memang telah mati sejak kehilangan harapan bersamanya.
Orang bilang jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi kenapa hal-hal menyenangkan ini harus berakhir saat aku belum benar-benar bisa menyentuhnya? Apalagi memilikinya.
Aku cemburu melihat Dewa menatap Gadis dengan tatapan penuh cinta seolah tidak ada yang menarik di dunia ini selain wanita itu. Aku cemburu melihat bagaimana pria yang kucintai menggandeng wanita lain. Aku cemburu dengan semua yang Dewa lakukan untuk Gadis.
Hari ini, perasaan itu akan abadi bersamanya. Aku tidak mau lagi melihat Dewa bersama wanita mana pun. Jika aku tidak bisa memilikinya, maka tidak ada yang boleh memilikinya.
Salah satu cara untuk membuat Dewa menjadi milikku adalah dengan menyingkirkan Gadis. Tetapi mustahil rasanya menyingkirkan wanita itu. Yang ada Dewa justru akan membenciku.
Maka, kuputuskan untuk membunuh perasaan ini dengan membunuhnya. Membunuh Dewa. Aku tidak mau lagi melihatnya dengan wanita lain. Dan lebih baik Dewa mati dari pada bersanding dengan Gadis atau yang lainnya.
Diam-diam aku mengambil sebuah pistol dari gudang penyimpanan senjata. Senjata inilah yang nanti aku akan kugunakan untuk membunuh Dewa. Dengan timah panas ini juga aku akan mengakhiri hidupku dan hidup abadi bersama Dewa di alam lain.
Aku tidak akan melukai Gadis sedikit pun. Biarlah wanita itu terluka melihat orang yang dicintai mati di hadapannya. Biar dia tahu bagaimana rasanya mencintai orang yang telah mati. Biarlah dia mencintai batu nisan Dewa. Aku ingin menyiksanya dengan perasaanya sendiri. Sama sepertiku, yang tersiksa karena mencintai Dewa.
Lorraine Campelo.
Raine mengakhiri catatannya dengan sebuah tanda tangan abstrak. Aku meremas lembaran itu dengan d**a berdegup kencang. Seperti yang telah Richard katakan, pembunuhan Dewa memang sudah direncanakan oleh Raine.
"Kau salah, Raine! Aku dan Dewa tidak akan terspisah dengah mudah. Kami akan bertahan menghadapi apa pun. Aku akan mengusir malaikat maut jika dia berani mendekati keluargaku! Aku tidak akan kalah hanya karena ulah wanita ular sepertimu!" gumamku pada diri sendiri.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara dentingan keras tiga kali. Pertanda seseorang ingin masuk. Aku menekan remot dan pintu segera terbuka. Damien datang dengan setelan hitam dan rambut sedikit acak-acakan. Ia berjalan mendekat ke arahku.
"Kau tidak ingin melihat Ana?"
Aku mengerutkan dahi. "Ana?"
"Ana hampir melahirkan." Damien berkata serius.
"Kau bercanda, Dam?"
"Tidak. Aku serius. Ana mengalami kontraksi sejak semalam. Beberapa jam lagi mungkin Ana akan melahirkan."
"Aku ingin kesana, Dam," aku menoleh ke arah Dewa.
Damien yang sepertinya mengerti maksudku berkata, "Pergilah! Aku akan menjaga Dewa."
"Terima kasih."
Aku mengecup kening Dewa kemudian pergi ke manssion Richard dan Ana. Dua orang pengawal menemaniku hingga ke manssion mereka.
Di dalam kamar Ana yang luas dan mewah, beberapa suster dan dokter telah siaga membantu persalinan Ana. Richard terlihat mondar-mandir dengan peluh yang mengalir di pelipisnya. Ana berbaring di ranjang ditemani seorang pria paruh baya. Rachel bermain di box bayinya.
"Rich?" sapaku begitu jarakku dengan Rich hanya beberapa centi.
Richard diam. Sama sekali tidak menanggapi aku. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.
"Richard?" kataku lagi.
Richard tampak kaget. Tergagap menjawab sapaanku, "Gadis? Sejak kapan kau di sini?"
"Baru saja. Sejak kapan Ana mengalami kontraksi?"
"Semalam kira-kira jam sebelas."
Aku melirik jam. Sudah hampir dua belas jam Ana kontrasksi dan belum juga melahirkan. Pandanganku beralih pada Ana yang menggeram menahan sakit di bagian pinggul serta perutnya. Dua orang suster memijit pinggul Ana dengan sabar.
"Rich, apa Ana akan baik-baik saja?" Aku melirik Ana sekilas. Tidak tega melihatnya seperti itu. Bibirnya pucat, keringat membanjiri leher dan wajahnya. Tangannya menggenggam erat sprei. Sesekali ia menggigit bibirnya sendiri seraya merancau yang tidak-tidak.
"Kenapa tidak melalui operasi caesar saja?"
"Ana tidak mau, Gadis."
Seorang dokter perempuan berjalan mendekati Ana. Dokter itu membuka s**********n Ana kemudian memasukkan tangannya ke bagian intim Ana. Ralat, jarinya.
"Arghtt!" Ana kembali mendesah. Wanita itu terlihat kesakitan. Sesekali ia memanggil nama suaminya
"Dad, di mana Richard?" keluh Ana
Richard yang mendengar keluhan Ana segera berjalan mendekati istrinya. Aku mengekornya dari belakang.
"Honey..." Richard mencium kening istrinya.
Tangan kanan Ana menggenngam tangan Richard dan tangan kirinya menggenggam tangan ayahnya. Dua pria yang sangat berarti bagi berada di sisinya untuk melewati proses persalinan.
"Aarrghhtttt!" lagi-lagi Ana mendesah tak keruan.
"Hampir tiba saatnya." seorang dokter berkata masih dengan nada datar.
"Rich?" Ana menggamit lengan suaminya. "Kau mau Anak berapa?"
"Dua anak cukup, Sayang."
"Katanya kau mau lima belas anak?"
"Aku tidak tega melihatmu seperti ini, An."
"Aku baik-baik saja, Rich." Ana menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang tak tertahankan.
Dokter meminta ayah Ana untuk menyingkir. Ia menyiapkan beberapa peralatan untuk proses persalinan pasiennya. Dua orang dokter perempuan berjaga di depan kaki Ana. Salah satu dari mereka sibuk memeriksa organ intim Ana. Yang lainnya memberi instruksi.
Kedua suster juga terlihat sudah bersiap di tempatnya. Masing-masing di antara mereka membawa alat-alat yang tak kuketui namanya.
Bugh.
Richard tersungkur ke lantai. Baik Ana mau pun ayahnya sepertinya tidak heran melihat pemandangan itu. Ayah Ana memanggil dua orang pria yang berjaga di luar untuk membawa menantunya keluar dari ruangan itu.
"An?" Aku mengusap pelipis Ana yang berkeringat dengan tissue.
"Kau di sini?"
"Ya. Aku di sini.
"Kenapa kau tidak menghubungi aku?"
Ana kembali meringis, "Aku tidak mau membebanimu, Giselle. Kau sudah terlalu lelah dengan keadaan Dewa seperti itu."
"Bukankah kita ini keluarga?"
"Ya."
"Jika kau menganggap aku keluargamu, seharusnya kau menghubungi aku."
"Oke-oke.... aku minta maaf, Giselle."
Ana memcekeram tanganku. Ia kembali mengalami kontraksi. Aku membiarkannya menggenggam tanganku erat-erat. Ayahnya kembali ke posisi semula. Itu artinya aku lah yang menggantikan posisi Richard.
Ana kembali tenang. Ia mengambil nafas lalu mengembuskannya. Begitu seterusnya mengikuti perintah dokter.
"An," aku memulai pembicaraan lagi untuk membuatnya sedikit tenang, "kenapa Richard pingsan?"
"Dia memang selalu seperti itu. Dulu dia juga pingsan saat aku melahirkan Rachel."
"Oh,"
"Aarghtttt!!" Ana menjerit keras.
Proses persalinan dimulai. Dokter memberi aba-aba kepada Ana untuk mengejan. Ana sepenuhnya tahu bagaimana ia harus bekerja sama dengan sang dokter. Ana menarik napas dan mengeluarkannya. Sesekali mengambil napas dan mengejan kali. Begitu seterusnya sampai suara tangisan bayi meredakan ketegangan di dalam kamar.
"Kau hebat, An!" bisikku di telinganya. Ana mengangguk samar.
Bayi laki-laki dengan berat 4 kg dan panjang 55cm menggeliat pelan dalam gendongan kakeknya. Aku melihatnya beberapa kali. Suster mengurus Ana dengan baik. Mengganti pakaiannya dan memberi Ana makanan dan minuman. Richard sudah sadar dari pingsannya.
"Kau payah, Rich!" ejekku begitu Richard masuk ke kamarnya.
"Aku tidak tega melihat Ana kesakitan. Entahlah, aku takut, kasihan, jika aku boleh memilih, aku lebih memilih berada di posisinya dari pada melihatnya seperti itu."
"Kau tidak akan pernah berada di posisi Ana karena kau laki-laki."
"Aku tahu."
Richard mengambil bayi itu dari gendongan kakeknya. Kemudian ia berjalan menghampiri istrinya yang sudah tidak sepucat tadi, "Kau hebat, Sayang." Richard mencium bibir Ana instens.
Aku kembali ke manssion Dewa setelah Ana tertidur. Richard menyusul istrinya ke ranjang. Semua orang terlihat kelelahan karena proses persalinan yang Ana lalui memang memakan waktu agak lama.
Dua orang mengikutiku dari belakang. Langit terlihat cerah hari ini. Ombak-ombak kecil sesekali menghampiri bibir pantai. Nyiur melambai terbawa embusan angin. Ah, andai sore ini aku bisa melewati senja bersama Dewa, mungkin duniaku tidak akan terasa segelap ini.
Usia kandunganku menginjak dua bulan. Sesekali aku merasakan perutku berkedut. Sepertinya anakku memang aktif bergerak di dalam sana. Dewa, andai kau tahu anakmu ini sudah mulai bergerak, mungkin kau tidak akan terlalu lama berada di alam sana.
Pintu otomatis terbuka lebar begitu aku menekan bel. Damian masih di dalam bersama Dewa. Tubuhku membeku sebelum aku berhasil melewati pintu, tepatnya saat aku masih berada di bawan bingkai pintu, kakiku sulit di gerakkan.
Di ranjanng yang telah di tempati pembesar RRTech selama enam minggu lamanya, duduk lah seorang pria dengan wajah kuyu. Tubuhnya kering kurus tidak lagi berotot. Jangankan otot-o***g yang kencang dan menggiurkan untuk di pandang, daging saja pria itu tidak punya.
Berkali-kali kupejamkan mataku dan berharap apa yang kulihat saat ini adalah mimpi. Berkali-kali pula kucubit lenganku sendiri. Tetapi aku masih merasakan sakit. Aku sepenuhnya sadar. Sepenuhnya tahu pria yang duduk dengan bersandar dua bantal di punggungnya itu adalah Dewa. Dewa Herlambang, tunanganku.
Aku berlari menghampirinya. Dia justru menatapku penuh kecurigaan. Aku tidak peduli dengan tatapan itu dan justru memeluknya erat. Puas memeluknya, aku mencium seluruh bagian wajahnya, rahangnya yang kurus, matanya, hidunganya hingga rambutnya. Tanganku tak kuasa menyentuh jemarinya yang kini hanya menyisakan tulang belulang. Dia benar-benar sangat kurus.
"Dewa!" ucapku di antara isak tangis.
Dewa diam. Entah sedang berpikir atau sedang mengujiku. Aku masih setia memeluk tubuh kecilnya. Aku merindukan Dewaku.
"Aku merindukanmu." kataku serak.
Aku ingin sekali berterima kasih pada semesta yang telah memberi kami kesempatan untuk kembali bersama namun urung kulakukan karena sepertinya semesta belum tela menyatukan kami.
"Siapa kau?" tiba-tiba melepas paksa tubuhku.
Aku menyerngit bingung. Ada apa ini? Apa-apaan? Apa aku salah dengar?
"Jangan coba-coba menyentuhku, Nona!"
Aku menoleh pada Damian. Dokter itu justru menggelengkan kepalanya.
"Ada apa dengannya, Dam?"
"Sepertinya Dewa amnesia."
"Aku yakin kepalanya tidak membentur apa pun. Bagaimana dia bisa amnesia?"
Damian menjelaskan tentang penyebab-penyebab amnesia. Beberapa faktor memang disebabkan oleh benturan keras di kepala. Ada yang bukan karena benturan, dan beberapa faktor-faktor lain.
Aku memegang tangan Dewa lalu berkata, "Aku Gadis. Tunanganmu, calon istrimu, sebentar lagi kita akan menikah."
Dewa justru tertawa seolah apa yang kukatakan hanyalah bualan belaka. "Jangan mengada-ada, Nona. Aku belum bertunangan atau pun merencanakan pernikahan dengan siapa pun!"
Aku meneguk salivaku kasar, mencoba meyakinkan padanya siapa diriku, "Dewa, kita telah melewati banyak hal dan kau lupa siapa aku?"
Tunggu! Amnesia. Tentu Dewa akan melupakanku.
"Baiklah, aku akan membantumu mengingatku. Kita bertemu di.."
"Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuanmu untuk mengingat siapa kau dan apa hubunganku denganmu." Dewa melirikku sekilas sebelum membuang kembali wajahnya, "Sekarang pergilah!"
"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum kau mengingatku!"
"Kumohon, pergilah! Aku ingin istirahat!"
"Tidak!" kekeuhku.
"Gadis, kita keluar dari sini."
"Tidak, Dam! Aku tidak akan pergi dari sini!"
"Dewa butuh istirahat."
"Biarlah dia beristirahat di sini. Aku akan tetap di kamar ini dan tidak akan mengganggunya. Kalau kau ingin pergi, pergilah!"