Merasa Memiliki

1089 Kata
Zeff turun keluar dari kamar dan menuju ke ruang makan setelah mandi dan bersiap. Di meja makan, dia mendapati sarapan yang sudah tertata rapi. Ada secangkir air madu hangat, oatmeal yang ditambahi dengan irisan buah pisang, kiwi, dan strawberry, serta salad sayur yang sempurna. Ini jelas bukan hasil kerja pegawainya. “Kaia. Pasti dia yang menyiapkannya,” gumamnya pelan, menyadari bahwa perempuan itu telah meninggalkan jejak kecil sebelum pergi. “Bibi, apakah Kaia yang menyiapkan ini?” tanya Zeff pada sang pelayan yang baru saja melintas. Pelayan itu berhenti melangkah dan menoleh pasa Zeff. “Ya, Tuan. Kata Nona Kaia, makanan itu baik untuk mengatasi masalah tidur anda.” Zeff mengangguk dan kemudian tersenyum tipis. Ia duduk di kursi’ya, menghirup aroma madu yang harum sebelum menyeruputnya perlahan. Sarapan itu terasa lebih nikmat dari biasanya, meskipun suasana di sekitarnya hening. Di tengah sarapannya, Zeff membuka ponsel. Tidak ada pesan dari Kaia, seperti yang sudah dia duga. Kaia tak pernah mengirim pesan padanya sekalipun, karena dia selalu menghubungi Scott jika bertanya sesuatu tentang Zeff. Tapi ada satu pesan suara yang masuk, berasal dari asisten, Scott. “Tuan Zeff, apakah anda akan datang dalam perencanaan proyek di Eropa? Semua detail sudah ada di file Anda jika anda mau datang,” bunyi suara Scott dari pesan suara itu. Zeff mendengus kecil lalu dia membalas pesan itu dengan mengirim pesan suara juga pada Scott. “Tidak, aku tak akan datang. Aku sedang ingin fokus dengan terapiku bersama Kaia. Kau pilih salah satu wakil kita untuk pergi ke sana,” * * Setelah sarapan, Zeff memutuskan untuk segera pergi ke perusahaannya, kembali fokus pada pekerjaannya. Setibanya di kantor, dia membuka laptop di ruang kerjanya dan mulai memeriksa dokumen tentang Kaia yang telah dikirim oleh anak buahnya. “Kaia Luna Venture … kau hanya wanita biasa, tapi yang kau lakukan sangat luar biasa padaku,” gumam Zeff sambil membaca berkas tentang Kaia. Hingga matanya tertuju pada sebuah kalimat bahwa Kaia sedang menjalani kencan buta dengan seorang pria yang merupakan anak dari teman ayahnya. Zeff mengernyitkan keningnya, tanda dia tak suka dengan hal itu. “Kencan buta? Itu akan mengganggu pekerjaannya denganku. Tidak, ini tak boleh dibiarkan.” Lalu Zeff menelepon Scott dan menyuruhnya masuk ke ruangannya. Tak lama kemudian, Scott pun masuk ke dalam ruangan kerja Zeff. “Ya, Tuan?” “Gagalkan kencan buta yang dilakukan oleh Kaia,” ucap Zeff tegas. “Kencan buta?” “Ya, Kaia sedang melakukan kencan buta atas suruhan ayahnya. Aku ingin kau menggagalkannya apa pun caranya. Aku tak mau hal itu mempengaruhi pekerjaannya denganku.” “Tapi Tuan … bukankah itu hal pribadi Kaia yang tak bisa kita intervensi? Kita tak bisa memaksanya untuk—“ “Kita tak akan memaksanya, tapi kita memutuskannya langsung tanpa dia tahu. Gagalkan kencan buta itu segera. Kau tahu kan, kadang berkencan akan membuat seseorang tak disiplin dan melupakan tugasnya. Apalagi pekerjaan Kaia dilakukan di malam hari,” potong Zeff dengan cepat, tak ingin diprotes lagi. “Baiklah, Tuan.” Lalu Scott berbalik pergi dan sebenarnya bingung dengan permintaan sang Bos yang begitu random. * * * Kaia menatap pantulan dirinya di cermin kamar, memeriksa riasan yang baru saja dia aplikasikan. Bibirnya berlapis lipstik nude lembut, senada dengan gaun krem yang membalut tubuhnya. Rambut hitamnya yang terurai sempurna memberikan kesan elegan namun sederhana. Ia menarik napas dalam, berusaha menghalau kegelisahan yang menyeruak di dadanya. “Ini hanya kencan, bukan hal besar. Lakukan seperti kemarin,” gumamnya, meyakinkan diri sendiri. Namun, dia tahu ini bukan hanya sekadar kencan biasa. Kencan ini diatur oleh ayah dan bibinya, dua orang yang jarang sepakat dalam banyak hal, tapi kali ini bersatu padu memaksanya bertemu seorang pria yang katanya “sempurna.” Kemarin, saat pertemuan pertama, Kaia mengira dia hanya akan menghadapi pria membosankan seperti sebelumnya. Namun, sosok pria itu ternyata jauh dari yang dia bayangkan. Mikelle. Nama itu terngiang di kepalanya sejak kemarin. Mikelle adalah tipe pria yang tidak terlalu mencolok, tapi memiliki daya tarik yang sulit diabaikan. Matanya hangat, dan caranya berbicara penuh kesabaran. Dan yang paling membuat Kaia terkesan adalah bagaimana dia mendengarkan setiap kata yang Kaia ucapkan, seolah-olah itu hal terpenting di dunia. Mikelle pun tak terlalu mengatur gaya penampilan Kaia yang terkesan kuno. Namun, sore itu Kaia berpenampilan di luar dari biasanya. Dia ingin membuat Mikelle lebih terkesan lagi padanya. Kini, dia berdiri di ambang pintu kamar, mencoba memutuskan sepatu mana yang akan dia kenakan. Hak tinggi hitam, klasik dan anggun, atau flat shoes yang nyaman tapi terlalu kasual? “Aku harus terlihat anggun, tapi tetap nyaman,” bisiknya, memilih sepatu hak rendah sebagai jalan tengah. Jam dinding menunjukkan pukul 18.00. Waktunya semakin dekat. Ia tidak ingin terlambat. Namun, yang membuatnya lebih waspada adalah jadwal berikutnya malam ini yaitu kunjungan ke mansion Zeff, bos besar yang tidak mentoleransi keterlambatan. * * Kaia tiba di restoran yang telah mereka sepakati. Tempat ini berada di sudut kota, suasananya tenang dengan alunan musik jazz yang lembut. Mata Kaia menyapu ruangan, mencari Mikelle di antara pengunjung yang lalu-lalang. Tak butuh waktu lama hingga dia melihat pria itu duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja biru gelap yang kontras dengan kulitnya yang cerah. “Kaia,” sapanya sambil berdiri, menyambut dengan senyum yang membuat hatinya berdebar. “Hai,” jawab Kaia, mencoba terlihat santai meski jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Mikelle menarikkan kursi untuknya, sebuah gestur sederhana yang membuat Kaia semakin yakin bahwa pria ini berbeda dari yang lain. Mereka mulai mengobrol, membahas hal-hal ringan, dari hobi hingga tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. “Tadi aku hampir berpikir kau tidak akan datang,” Mikelle berkata tiba-tiba, menatap Kaia dengan tatapan yang penuh arti. Kaia tertawa kecil. “Aku hampir tidak datang,” dia mengakui, “tapi aku merasa ... aku harus memberikan kesempatan ini.” Mikelle mengangguk pelan, seolah memahami lebih dari apa yang Kaia katakan. Obrolan mereka semakin dalam, membuat waktu terasa melesat begitu cepat. Kaia merasa seperti mengenal Mikelle lebih lama dari kenyataan. Pria ini penuh dengan cerita menarik, dan dia tahu bagaimana membuat percakapan tetap hidup. Hingga tiba-tiba seorang wanita datang ke meja mereka dan melempar minuman pada Mikelle. “Dasar b******k!! Jadi kau berselingkuh dariku dengan wanita ini?” teriak wanita itu dan membuat keduanya terkejut. “Siapa kau?” Mikelle berdiri dengan mata menyalang marah. Lalu wanita itu menamparnya. Kaia yang merasa langsung tahu ke mana arah persoalan ini, langsung beranjak berdiri dan pergi dari sana. “Kaia! Tunggu! Ini hanya salah paham! Aku tak mengenal wanita ini!” teriak Mikelle, namun Kaia tetap pergi dengan kecewa karena kencannya tak sesuai harapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN