Malam kedua

900 Kata
Ketika Kaia akan keluar dari ruangannya, Zeff memanggil Kaia lagi. “Kaia, tunggu!” Kaia berhenti dan berbalik lagi. Dia kemudian menghampiri Zeff lagi. “Ya, ada apa?” “Duduklah dulu. Aku ingin bicara sebentar.” Setelah Gaia duduk kembali di kursi, Zeff menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Kaia dengan ekspresi penuh arti. "Aku harap kau benar-benar paham apa yang kau setujui tadi," katanya. Kaia mengangguk. “Aku paham. Tugasku adalah memastikan kau tidur nyenyak." Zeff tersenyum tipis, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya tulus. "Tidak banyak orang yang bersedia melakukan pekerjaan ini, Kaia. Kau cukup unik. Mengapa kau mau pekerjaan ini? Hanya karena uang?” “Anggap saja begitu,” jawab Kaia dengan senyum tipis. “Malam ini, kau tak boleh terlambat,” kata Zeff tanpa ragu. "Aku akan mengirimkan sopir untuk menjemputmu. Pastikan kau siap. Aku hanya tak ingin kau terlambat datang. Jadi semua fasilitas akan kusediakan.” Kaia mengangguk, “Baiklah, apakah ada yang perlu dibicarakan lagi?” Ia merasa tidak perlu tinggal lebih lama di sana karena dia sudah mengerti aturannya. “Tidak ada, pergilah.” "Kalau begitu, aku permisi." Zeff hanya mengangguk, matanya tetap mengikuti Kaia saat wanita itu berjalan keluar dari ruangan. * * Kaia kembali ke tempat kerjanya setelah meninggalkan kantor Zeff. Ia melepaskan kacamatanya, meletakkannya di meja, lalu merenung sejenak. Ia tahu, pekerjaan ini tidak seperti pekerjaan biasa. Tetapi, sia merasa yakin bahwa dia bisa melakukannya dalam jangka waktu yang lama. “Aku pasti bisa melakukannya,” gumam Kaia lalu menghela napasnya. Kemudian Kaia mulai melanjutkan pekerjaanya. * * Malam itu, tepat pukul delapan, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan apartemennya. Sopir yang mengenakan setelan formal membukakan pintu untuknya. “Silahkan masuk, Nona,” ujar sopir itu singkat. “Terima kasih,” sahutnya sambil tersenyum. Kaia masuk ke dalam mobil, mengatur napasnya untuk tetap tenang. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Zeff, dia memikirkan bagaimana dia akan menghadapi malam keduanya. Tidak ada ketakutan dalam dirinya, tetapi dia sadar bahwa ini sebuah tantangan paling berani yang pernah dia lakukan selama dia hidup. * * Setibanya di kediaman Zeff, Kaia disambut oleh asisten rumah tangga yang membawanya ke kamar utama. Kamar itu besar dan mewah, dengan tempat tidur king-size di tengahnya. Zeff sudah berada di sana, duduk di sofa sambil membaca sebuah buku. Ketika Kaia masuk, Zeff menutup bukunya dan berdiri. “Kau datang tepat waktu," katanya. Kaia mengangguk, berdiri di tengah ruangan tanpa merasa canggung. "Aku tidak akan membuat ini rumit," ujar Zeff. "Yang aku butuhkan hanya kehadiranmu. Tidak lebih, tidak kurang. Aku ingin mencoba tidur tanpa obat lagi di malam kedua ini dan seterusnya. Dan kau lah yang bisa membantuku.” Kaia mengangguk lagi. “Aku mengerti. Aku akan melakukan yang terbaik dan tahu batasanku.” Malam itu, Kaia melakukan seperti yang dia lakukan semalam. Namun, kali ini Zeff menatapnya lebih lama dan mendalam. Hal itu membuat Kaia sedikit canggung, tapi dia berusaha tetap tenang. Zeff, yang awalnya tegang, perlahan mulai rileks. Suara Kaia yang tenang, ditambah kehadirannya yang menenangkan, membuat pria itu merasa nyaman. Tidak lama kemudian, Zeff tertidur—untuk kedua kalinya tanpa bantuan obat. Kaia tersenyum tipis, lalu merapikan selimut Zeff. Ia tahu, malam ini hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka bersama. Dan di balik semua ini, tanpa mereka sadari, sebuah ikatan mulai terbentuk—sesuatu yang jauh melampaui kontrak di atas kertas. * * Pagi itu, sinar matahari yang lembut kembali menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Zeff, membangunkannya dengan perlahan. Udara segar pagi hari terasa menenangkan, menghilangkan sisa-sisa kelelahan dari malam sebelumnya. Zeff membuka matanya, menatap langit-langit kamar mewahnya yang penuh dengan desain klasik nan elegan. Ia merentangkan tubuhnya, merasakan ketenangan yang jarang dia alami setahun belakangan ini. Namun, ketika dia menoleh ke sisi ranjang, tidak ada siapa-siapa. Kaia sudah pergi. Seperti kemarin. “Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia bisa membuatku tidur begitu nyenyaknya,” gumamnya berbisik. Zeff menarik napas panjang, mencoba meredam perasaan yang tiba-tiba muncul di dadanya. Ia senang Kaia begitu profesional dalam pekerjaannya. Kaia memang selalu seperti ini—datang, menyelesaikan pekerjaannya, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak atau janji apa pun. Itu memang bagian dari kesepakatan mereka. Dan Zeff pun tampak kagum dengan sikap Kaia yang sopan dan menjaga jarak. Tetapi, mengapa ada sedikit kekosongan ketika Kaia meninggalkannya sendirian di ranjangnya. Kepala Zeff menggeleng. “Tak seharusnya aku memikirkan itu. Aku hanya ingin sembuh, itu saja,” gumam Zeff. * * * Seminggu berlalu tanpa terasa. Zeff merasa sudah sangat membaik. Kehadiran Kaia di sisinya di saat tidur, merupakan obat dari segala kegelisahannya selama ini. Di mata Zeff, Kaia adalah seseorang yang sangat profesional. Ia tahu betul apa yang menjadi tugasnya, dan dia melakukannya dengan sempurna. Begitu urusannya selesai, dia tidak pernah membiarkan dirinya terlibat lebih jauh. Bagi Kaia, pekerjaan hanyalah pekerjaan. Tidak ada ruang untuk hubungan pribadi atau emosi yang bisa mengaburkan batas. Kaia sangat memahami prinsip itu sejak awal. Ketika mereka memulai kerja sama ini, Zeff sudah menjelaskan semuanya dengan tegas segala aturannya. Tidak ada ikatan, tidak ada hubungan lebih dari sekadar kerja sama profesional. Namun, entah sejak kapan, Zeff mulai merasa bahwa dia menginginkan lebih. Kaia, dengan kepribadian hangat dan ketenangan luar biasanya, selalu bisa mengatur segala hal dengan sempurna. Dia menjadi semacam kekuatan tak terlihat yang membuat dunia Zeff mulai berjalan baik, bahkan ketika segala sesuatu di sekitarnya terasa kacau. Kaia mulai menjadi bagian penting dalam hidupnya dan itu membuat Zeff mulai menyelidiki latar belakang Kaia dan apa pun tentang Kaia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN