Kaia berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, menahan amarah yang mulai membara di dadanya.
Udara malam yang dingin mengusap wajahnya, namun tak mampu meredakan kekecewaan yang menguasai dirinya.
Mikelle—pria yang dipilih ayahnya untuk menjadi calon pasangan ideal—ternyata jauh dari harapan.
Di dalam taksi, Kaia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya.
Namun, semakin dia mengingat sikap Mikelle, semakin dia merasa dipermalukan.
Bagaimana mungkin ayahnya memilih pria seperti itu untuknya?
Ia meraih ponselnya, menggulirkan kontak hingga menemukan nama sang ayah.
Tangannya sempat ragu untuk menekan tombol panggil, tapi akhirnya ia melakukannya.
“Dad?” Kaia memulai, suaranya sedikit gemetar.
“Kaia, sudah selesai? Bagaimana pertemuan kalian?” suara ayahnya terdengar penuh antusiasme di ujung telepon.
Kaia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Pertemuan itu bencana, Dad. Mikelle sudah punya kekasih dan wanita itu menuduhku berselingkuh dengannya. Itu memalukan, Dad.”
Ada jeda panjang di telepon sebelum suara ayahnya terdengar lagi. “Apa maksudmu? Mikelle... punya kekasih?”
“Ya, Dad,” Kaia menjawab tegas.
Ayahnya terdengar menghela napas berat di ujung sana. “Aku tidak tahu harus berkata apa ... Mikelle adalah pilihan bibimu. Dia terlihat baik di atas kertas.”
“Baik di atas kertas tidak cukup, Dad. Aku tidak akan menikahi seseorang hanya karena dia sukses atau punya hubungan keluarga yang baik,” tegas Kaia.
Ayahnya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kaia, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi kalau kau merasa dia tidak layak, aku tidak akan memaksamu. Aku akan mencarikan lagi kandidat lainnya.”
Mendengar itu, Kaia mendengus kesal. Namun, dia tak bisa menginterupsi keinginan ayahnya.
*
*
Sesampainya di Apartemen, Kaia melepas sepatu dan menjatuhkan diri ke sofa.
Ia menatap langit-langit, mencoba memproses kejadian tadi. Ia telah berharap bahwa kencan ini akan berbeda, bahwa Mikelle akan menjadi seseorang yang setidaknya pantas untuk dicoba.
Namun, kenyataan selalu memiliki cara untuk menghancurkan harapan.
Kaia mengambil segelas air dari dapur, lalu duduk di meja makan. Pikirannya mulai merenung.
Apakah semua pria seperti itu? Hanya peduli pada diri mereka sendiri, tanpa memedulikan perasaan orang lain?
Ia teringat hubungannya di masa lalu. Semua berakhir dengan kegagalan, dan dia sering menyalahkan dirinya sendiri.
*
*
Tepat pukul setengah delapan malam, Kaia melangkah keluar dari apartemennya dengan mantel tebal melingkupi tubuhnya.
Udara malam yang dingin menusuk, namun pikirannya masih terfokus pada kejadian di restoran tadi.
Sopir pribadi Zeff sudah menunggunya di depan halaman apartemen.
Kaia duduk di kursi belakang mobil mewah itu, memandangi pemandangan kota yang berlalu dengan cepat di balik kaca.
Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Kekecewaan terhadap Mikelle masih membayangi, meskipun dia berusaha keras mengenyahkannya.
"Semua akan baik-baik saja," gumamnya pada diri sendiri.
Ia mengalihkan pikirannya pada tugas malam ini. Zeff, bosnya yang memiliki segala hal—harta, kekuasaan, dan pengaruh—tengah menunggunya di mansion megahnya di pinggir kota.
Kaia memiliki peran yang begitu istimewa bagi Zeff. Ia adalah satu-satunya orang yang mampu membuat pria itu tidur nyenyak, sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapa pun atau apa pun.
*
*
Mobil berhenti di depan gerbang besar mansion Zeff. Pilar-pilar tinggi berdiri megah di tengah taman yang diterangi lampu kuning lembut.
Sopir membukakan pintu untuk Kaia, dan dia melangkah keluar dengan hati yang sedikit lebih tenang.
Ketika dia memasuki mansion, seorang pelayan membimbingnya menuju kamar utama Zeff seperti biasa.
Ruangan itu luas dan dihiasi dengan nuansa gelap yang maskulin, mulai dari dinding kayu hingga lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya hangat.
Zeff sudah berada di ranjang king-size-nya, bersandar pada tumpukan bantal dengan buku di tangan.
Ia tak mengenakan baju piyama satin hitam yang biasa dikenakannya. Pria itu hanya memakai celana hitam pendek dan tak memakai baju.
Kaia menelan ludahnya melihat pemandangan perut sixpack serta tubuh sempurna Zeff.
Rambutnya sedikit berantakan, namun tetap memancarkan pesona yang tak bisa diabaikan.
"Kaia," ucap Zeff seraya menutup bukunya. Wajahnya tampak sedikit lebih rileks dibandingkan biasanya.
Kaia tersenyum kecil, meskipun hatinya masih sedikit gelisah. "Malam, Tuan Zeff.”
“Kau tahu aku tidak suka dipanggil begitu," kata Zeff sambil menepuk sisi ranjangnya, mengisyaratkan agar Kaia mendekat. “Ini sudah seminggu lebih dan kau masih saja tak terbiasa.”
Kaia duduk di sisi tempat tidur, melepas mantelnya, dan meletakkannya di kursi terdekat. "Maaf. Bagaimana harimu?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembahasan itu.
Zeff menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Jauh lebih baik setelah sarapan tadi pagi. Terima kasih telah membuatkannya, Kaia. Aku merasa punya lebih banyak energi sepanjang hari."
Kaia merasa wajahnya memanas. Ia hanya membuatkan sarapan sederhana—namun ternyata itu cukup berarti bagi Zeff.
*
*
Kaia tahu apa yang harus dia lakukan. Ini bukan pertama kalinya dia menemani Zeff seperti ini.
Tapi tetap saja masih ada rasa canggung setiap kali dia akan naik ke ranjang Zeff.
Ia berjalan menuju sisi lain ranjang, melepaskan sepatunya, dan naik ke atas tempat tidur. Seperti biasa, Kaia selalu sudah siap memakai piyama sebelum datang.
Zeff mematikan lampu utama, meninggalkan hanya lampu meja di sudut ruangan.
Kaia berbaring di sampingnya, menjaga jarak yang sopan.
"Kau tahu," kata Zeff tiba-tiba, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tidak pernah berpikir bahwa insomnia bisa diatasi dengan cara sesederhana ini. Aku jadi berpikir, apakah aku bisa melakukan ini dengan orang lain, selain kau.”
Kaia menoleh padanya, menatap wajah Zeff yang terlihat lebih tenang di bawah cahaya redup. "Mungkin saja. Kau bisa mencobanya lain kali. Mungkin sebenarnya kau hanya butuh kehadiran seseorang untuk membuatmu merasa aman. Jadi, itu tak harus aku saja."
Zeff mengangguk kecil, lalu memejamkan matanya. "Ya, mungkin nanti. Kehadiranmu membuat semua kekhawatiranku lenyap, Kaia. Terima kasih."
Kaia tidak tahu harus menjawab apa. Hubungan mereka memang tidak biasa.
Zeff, pria yang dikenal dingin dan perfeksionis di dunia bisnis, menunjukkan sisi lembutnya hanya pada Kaia.
Sementara itu, Kaia merasa terjebak di antara peran profesionalnya dan perasaannya yang takut tiba-tiba berkembang pada pria itu.
Kaia berusaha menjaga pikirannya tetap jernih. Ia tahu batasan yang seharusnya tidak dia langgar.
Namun, berada sedekat ini dengan Zeff—mendengar napasnya yang perlahan mulai tenang, melihat garis wajahnya yang tampak damai—membuatnya sulit untuk tidak merasa terhubung secara emosional.
Waktu berlalu, dan suara napas Zeff semakin dalam. Kaia tahu Zeff akhirnya tertidur.
Ia tersenyum kecil, merasa lega bahwa dia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Namun, di dalam hatinya, dia bertanya-tanya sampai kapan dia bisa menjalani pekerjaan aneh seperti ini.
*
*