Tak Ada Yang Bisa Menggantikannya

1035 Kata
Zeff sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memandangi layar laptopnya tanpa benar-benar membaca laporan yang ditampilkan di sana. Hatinya terasa berat, pikirannya tak pernah lepas dari Kaia sejak malam itu. Lalu, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Scott, tangan kanan Zeff yang setia, masuk dengan langkah tegas dan ekspresi serius. "Ada yang perlu Anda ketahui, Tuan," kata Scott dengan nada hati-hati. Zeff memandangnya tanpa ekspresi. "Apa itu?" "Kaia mengajukan pengunduran diri kemarin," jawab Scott pelan, seolah takut reaksinya akan membuat ruangan itu meledak. Zeff terdiam, matanya sedikit melebar. Namun, wajahnya tetap datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. Tapi di dalam, hatinya seperti dihantam oleh palu godam. ‘Kaia berhenti?’ batinnya. Ia meneguk napas panjang, lalu berkata dengan suara dingin, "Sudah diterima pengunduran dirinya?" "Belum, Tuan. Manajernya mengirimkan semua dokumen Kaia pada saya. Apakah kita harus menerima pengunduran dirinya?” tanya Scott. Zeff mengepalkan tangan di bawah meja. Ia tahu dia yang salah. Ia yang menyebabkan ini semua. Tapi Kaia benar-benar pergi, dan rasanya seperti dia kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar seorang teman yang menemaninya tidur. “Terima saja,” ucap Zeff akhirnya. “Tambahkan pesangon yang besar padanya. Sepuluh kali lipat.” Ia juga menyuruh Scott mengurus semuanya, memastikan bahwa Kaia akan menerima gaji yang lebih dari cukup untuk beberapa tahun ke depan. “Baik, Tuan.” Setelah Scott pergi, Zeff menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap kosong ke langit-langit. * * Waktu berlalu hingga dua minggu terlewati dengan berat, dan Zeff merasa dirinya semakin tenggelam dalam kesepian. Insomnianya kembali menjadi mimpi buruk yang tidak berujung. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, tapi pikirannya selalu kembali kepada Kaia. Akhirnya, Scott—yang paham betul dengan masalah bosnya—mengusulkan solusi. "Anda butuh pengganti, Tuan. Saya bisa mengatur kandidat baru untuk posisi Kaia." Zeff mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu Scott benar. Ia tidak bisa terus seperti ini. Maka dimulailah pencarian itu. Wanita-wanita terbaik dari berbagai latar belakang dipilih dan diseleksi dengan ketat. Namun, satu per satu, mereka gagal memenuhi harapan Zeff. * Malam pertama, seorang wanita bernama Felicia datang ke mansion Zeff. Ia cantik, anggun, dan penuh percaya diri. Tapi saat Zeff melihatnya masuk ke ruang tamu, dia tahu bahwa ini tidak akan berhasil. Percakapan mereka kaku, dingin, dan penuh basa-basi yang tidak perlu. Bahkan sebelum Felicia menyelesaikan minumannya, Zeff sudah berdiri dan memintanya pulang. * Malam berikutnya, wanita lain datang. Kali ini, seorang profesional dengan latar belakang yang mengesankan. Tapi Zeff bahkan tidak membiarkannya duduk sebelum meminta Scott untuk mengantarnya keluar. Dan begitulah seterusnya hingga ada sepuluh wanita yang tak lolos untuk menggantikan posisi Kaia. Scott, yang sejak awal tidak banyak bicara, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, apa yang sebenarnya Anda cari?" Zeff memandang Scott dengan tajam, tapi tatapan itu dengan cepat melunak. Ia menghela napas berat, lalu berkata, "Aku sendiri tidak tahu. Tapi aku tahu apa yang aku tidak rasakan." Scott mengangguk, meskipun jelas dia tidak sepenuhnya memahami maksud bosnya. * Setiap malam yang berlalu, Zeff semakin menyadari sesuatu yang menyakitkan, tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan Kaia. Tidak ada yang bisa membuatnya merasa nyaman, tenang, dan cukup aman untuk tidur. Ia teringat bagaimana Kaia pernah duduk di sofa ruang tengahnya, membaca buku sambil meminum teh. Bagaimana suara tawa kecilnya terdengar ketika mereka membicarakan hal-hal sepele. Bagaimana tatapan matanya yang penuh perhatian bisa membuat Zeff lupa sejenak dari semua tekanan hidupnya. Kini, semua itu tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah bayangan, dan itu membuatnya semakin gila. Suatu malam, setelah menolak kandidat lain yang dikirim Scott, Zeff duduk di ruang tengahnya, menatap gelas wine yang ada di tangannya. Pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Kaia, dan ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? * * Zeff bangkit dari kursinya, meletakkan gelas wine di meja, dan berjalan menuju jendela besar di ruang tengahnya. Ia memandang keluar. Di dalam hatinya, dia tahu satu hal, Kaia bukan hanya seseorang yang bekerja untuknya. Ia adalah bagian dari hidupnya, bagian yang tidak pernah dia sadari betapa berharganya sampai semuanya terlambat. Tapi apakah Kaia akan mau kembali? Apakah ia punya keberanian untuk memintanya kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tanpa jawaban yang pasti. Tapi satu hal yang jelas, Zeff tidak akan pernah menemukan pengganti Kaia. Dan jika dia ingin memperbaiki segalanya, dia harus mulai dari dirinya sendiri. Karena bagi Zeff, Kaia adalah satu-satunya hal yang membuat semua ini berarti. * * Keesokan paginya, Zeff pun memanggil Scott. “Cari tahu di mana Kaia berada sekarang. Dan bawa dia kembali ke sini.” Scott tampak bingung, namun dia mengerti mengapa Zeff menginginkan Kaia kembali. Hanya Kaia lah yang bisa membuat Zeff tidur dengan tenang, dan tak uring-uringan lagi. Karena sejak Kaia pergi, sang bos tak bisa tidur dengan tenang lagi dan sering marah-marah di perusahaan meskipun hanya karena masalah sepele. “Baik, Tuan.” * * * * “Kaia, ada tamu untukmu,” ucap Elen, sang bibi. Kaia yang sedang ada di depan laptopnya, menoleh ke arah sang bibi. “Siapa, Bi? Calon kencan butaku lagi?” Elen tertawa pelan dan menggeleng. “Seorang pria bernama Scott. Apakah dia teman priamu yang baru?” Senyum Kaia tetiba memudar ketika mendengar nama Scott, karena itu artinya apa yang akan dibicarakannya pasti tentang Zeff. “Dia sendirian?” tanya Kaia. “Ya.” Elen mengangguk. Lalu Kaia beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah ruang tamu. Kaia melihat Scott duduk tenang di kursi sofa. “Scott? Ada apa?” tanya Kaia tanpa duduk dan masih berdiri di samping meja. Scott tersenyum pada Kaia. “Hai, Kaia. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Ini tentang Tuan Zeff. Dia ingin kau kembali bekerja.” “Tidak, aku tak akan kembali.” Kaia menggelengkan kepala dan suaranya begitu tegas. “Jika kau menolak, kau akan terdepak dari perusahaan di mana kau bekerja saat ini, dan tak akan mendapat rekomendasi baik hingga membuatmu tak bisa diterima di perusahaan mana pun. Kau tak punya pilihan.” Scott menjelaskan dan menyampaikan ucapan sang bos. “Zeff yang menyuruhmu mengatakan ini? Mengacamku seperti ini?” geram Kaia. “Aku tak punya pilihan, Kaia. Dia benar-benar membutuhkanmu. Please, kembalilah.” Scott memohon. Kaia diam, tak langsung menjawab. Kaia ragu, karena rasa sakitnya belum sembuh sampai saat ini karena perlakuan Zeff padanyagg.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN