Tak Bisa Menolak Karena Sang Ayah

1028 Kata
Di saat yang bersamaan, Fred, ayah Kaia, datang dan memasuki pintu ruang tamu. Pria paruh baya itu melihat Scott. “Siapa dia, Kaia?” tanya Fred tersenyum ramah. Scott melihat ke arah Fred, dan dia langsung memanfaatkan kesempatan itu. Scott langsung menjabat tangan Fred. “Aku Scott. Aku adalah asisten Tuan Zefferson Romanov—CEO perusahaan tempat Kaia bekerja. Dia secara khusus menyuruhku kemari untuk membawa Kaia kembali kerja di perusahaan. Tapi, sayangnya Kaia menolak.” Scott terlihat mendramatisir hal itu. “Hei, apa yang kau—“ “Kaia, kau berhenti bekerja? Mengapa kau tak bilang pada daddy?” Potong Fred dengan alis terangkat. Pasalnya Kaia tak bilang padanya bahwa dia telah berhenti bekerja. Dia banya bilang jika dia mengambil cuti tahunan saja. “Begini, Dad. Aku hanya ingin mencari suasana pekerjaan yang baru. Dan aku …” “Sekarang, kembalilah ke perusahaan. Tuan Romanov memintamu datang dan kau malah menolaknya. Apa kau sudah tak waras? Meninggalkan pekerjaan dengan gaji besar dan mengorbankannya untuk hal yang belum jelas?” potong Fred lagi, tanpa memberinya kesempatan menjelaskan. “Tapi, Dad—“ “Kaia! Sekarang kemasi barang-barangmu. Kesempatan ini tak datang dua kali. Bisa-bisanya kau menolak tawaran CEO-mu!” ucap Fred tegas. Scott tersenyum tipis, namun dia segera mengalihkan pandangannya ketika Kaia menatap tajam ke arahnya. “Kaia! Kau tak mendengar kata-kataku?” Fred sedikit membentak karena Kaia tak menggubrisnya. “Baiklah, Dad. Aku akan pergi besok.” “Besok? Sekarang! Kau dijemput langsung dan itu artinya kau sangat berharga bagi perusahaan. Hargai dirimu sendiri.” Kaia menghela napasnya dan berbalik ke kamarnya untuk menyiapkan kopernya. Scott kemudian menjabat tangan Fred lagi. “Terima kasih, Tuan. Kau benar, Kaia adalah pegawai yang handal dan tak ada yang bisa menggantikan posisinya. Kami sedikit kesusahan dengan hal itu. Terima kasih sudah membantu kami.” Fred menepuk bahu Scott. “Justru akulah yang berterima kasih padamu. Jika saja kau tak datang, aku pasti tak tahu tentang hal ini. Dia pikir mendapat pekerjaan bagus dan mapan adalah hal yang mudah? Tentu saja tidak, kan?” Scott mengangguk setuju dan tersenyum lebar karena misinya berhasil. * * Kaia duduk di tepi tempat tidurnya, matanya menatap koper kosong yang terbuka di depannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menekan rasa kesal yang mendidih di dalam dadanya. Namun, tangan-tangannya yang sibuk meraih pakaian dan melipatnya ke dalam koper menunjukkan betapa terpaksa dan marahnya dia. "Kenapa harus aku? Apakah dia tak menemukan penggantiku? Cih!" gumam Kaia lirih, bibirnya bergetar menahan emosi. Baru kali ini kesabaran Kaia diuji dan emosinya meninggi karena masalahnya dengan Zeff. Kamar kecil yang selama ini menjadi tempat perlindungannya seakan ikut menertawakannya. Baru beberapa minggu dia tinggal jauh dari kota itu, dari segala hal yang ingin dia lupakan, dari segala kepahitan yang selama ini menghantuinya. Namun, sekarang, ayahnya memaksanya untuk kembali karena kedatangan Scott yang benar-benar di luar prediksinya. Kaia menahan desahan kasar yang ingin lolos dari bibirnya. Tentu saja dia tahu. Ayahnya terkadang tak membiarkannya punya pilihan. Hidupnya sering dikendalikan—seperti boneka di tangan dalang. Dan kali ini, dia tak punya kuasa untuk menolak perintah itu lagi. Kaia terlalu menyayangi ayahnya karena ayahnya telah banyak berkorban untuknya sejak dia kecil. Kembali ke kota itu berarti kembali ke dunia yang dia benci. Dunia yang penuh emosi dan kesepakatan tak biasa. Dunia yang dikuasai oleh satu nama yaitu Zefferson Romanov. Pikirannya melayang pada sosok pria itu. Pria yang tak pernah benar-benar dia pahami. Zeff bukan hanya seorang CEO yang berkuasa dan tak bisa ditebak, tapi juga pria yang mampu membuat dunianya jungkir balik dalam satu kedipan mata. Di hadapan semua orang, Zeff adalah pemimpin perusahaan yang kuat dan tak kenal kompromi. Tapi di balik pintu tertutup, Zeff adalah sesuatu yang lebih rumit—sesuatu yang membuat Kaia ingin lari sejauh mungkin, namun juga menariknya kembali seperti magnet. Mengingat semua itu, tangannya berhenti melipat pakaian. Sebuah gaun tipis berwarna hitam jatuh ke pangkuannya, membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia mengingat momen terakhirnya di mansion Zeff. Malam yang terlalu kelam, terlalu melelahkan, hingga dia memutuskan pergi tanpa pamit. "Kenapa aku harus kembali padamu lagi?" bisiknya pahit. Namun, tak ada gunanya melawan. Ayahnya sudah memutuskan. Dan jika ada satu hal yang Kaia tahu, itu adalah bahwa melawan sang ayah hanya akan membuat segalanya lebih buruk. * * Mobil yang ditumpangi Kaia bergerak cepat, meninggalkan kota kecil di belakangnya. Kaia duduk di dekat jendela, menatap hamparan sabana hijau dan rumah-rumah kecil yang perlahan berganti menjadi pemandangan yang lebih padat dan asing. Tangannya menggenggam botol air mineral yang terasa dingin. Ia membenci perjalanan ini—kembali ke kota yang penuh kenangan buruk, kembali ke kehidupan yang tidak pernah dia inginkan. Baginya, kota itu bagaikan sangkar emas yang tampak mewah dari luar, tapi dingin dan menyesakkan di dalamnya. Ponselnya bergetar di saku jaketnya, membuatnya tersentak. Dengan malas, dia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama yang tertera di layar, Zeff. Kaia mendengus sinis. Tentu saja Zeff sudah tahu. Lelaki itu selalu tahu segalanya. Dibiarkannya ponsel itu bergetar hingga akhirnya berhenti. Scott menoleh ke belakang bangkunya. “Kaia, Tuan Zeff meneleponmu. Angkatlah.” Kaia mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak melempar ponselnya ke lantai. “Aku sedang tak ingin bicara,” sahut Kaia malas, dan tak takut dengan reaksi Zeff yang mungkin akan marah. * * Setelah berjam-jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di kota tujuan. Ketika sudah tiba di kotanya, Kaia tampak heran karena arah mobil justru menjauhi jalan ke apartemennya. “Scott, kita mau ke mana? Seharusnya kita belok kiri tadi. Ini arah yang salah,” sela Kaia. “Tidak, ini sudah benar. Kau akan langsung ke mansion Tuan Zeff. Kau akan tinggal di sana mulai sekarang. Kau sudah membawa barang-barangmu, bukan? Jadi itu lebih mudah untuk langsung pindah.” Kaia tentu saja terkejut. “Itu tak ada dalam kesepakatan.” “Sekarang ada. Tuan Zeff membuat draft perjanjian baru kerja sama kalian. Agar tak menimbulkan masalah lagi ke depannya,” jawab Scott, sembari tersenyum tipis. “Apa? Tunggu, ini …” “Kaia, terima saja tawaran ini jika kau tak ingin ada masalah yang lebih besar lagi nanti, oke?” ucap Scott yang membuat Kaia diam terpaku. “Dia benar-benar pemaksa,” gerutu Kaia dengan melipat tangannya di depan dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN