MASA SEKARANG …. (Lanjutan dari Bab 3)
Pagi itu, Kaia terbangun dengan tubuh lelah dan hati yang berat.
Pikirannya masih kacau setelah kejadian malam sebelumnya di mansion Zeff.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela apartemennya yang tertutup tirai.
Matahari sudah tinggi, tapi dia tidak berniat untuk beranjak dari tempat tidur.
Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir sisa-sisa keletihan. Tubuhnya masih terasa nyeri, seolah-olah malam yang mereka habiskan bersama meninggalkan jejak tak kasat mata yang tak bisa dia hilangkan begitu saja.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah kata-kata Zeff setelahnya.
_"Seharusnya malam ini tidak terjadi."_
Kata-kata itu menggema di pikirannya seperti palu yang menghantam tembok rapuh.
Kaia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang bergelora.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya Zeff inginkan darinya. Pria itu selalu penuh teka-teki—terlalu banyak amarah, terlalu sedikit penjelasan.
Ia tidak bisa pergi bekerja hari ini. Tidak dengan semua kekacauan yang masih berputar di kepalanya.
Kaia meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat pada manajernya, memberi tahu bahwa dia tidak bisa masuk kerja.
*
*
Bayangan kejadian malam itu kembali melintas di benaknya. Zeff terlihat begitu marah saat Kaia tiba terlambat ke mansionnya.
Tatapan pria itu penuh kekecewaan dan kemarahan yang tertahan.
"Ya, benar … seharusnya ini tak terjadi,” bisik Kaia pada dirinya sendiri.
Kaia menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan kenangan itu.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Segelas air dingin mungkin bisa membantunya, tapi tidak ada yang bisa mendinginkan pikirannya yang terbakar oleh kebingungan dan emosi.
Apa yang sebenarnya diinginkan Zeff darinya?
Ia tahu pria itu marah karena merasa dibohongi, tapi mengapa dia semarah itu jika Kaia makan malam dengan Brad dan bukan dengan ayahnya? Bukankah mereka tidak memiliki hubungan yang mengikat?
Kaia menyandarkan tubuhnya pada meja dapur, merasakan hawa dingin permukaan marmer di punggungnya.
Ia mencoba memahami perasaan Zeff, tapi semua itu terasa seperti teka-teki tanpa jawaban.
Zeff hanyalah seorang bos baginya, seorang yang seharusnya tak memiliki hubungan rumit ini dengannya.
Kaia menyadari kesalahannya karena berbohong. Ia tidak seharusnya mengatakan bahwa dia pergi bersama ayah dan bibinya.
Tapi kebohongan itu dia pilih untuk menghindari drama yang kini justru menjadi kenyataan.
*
*
Kaia berjalan kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Ponselnya bergetar di meja, tapi dia tidak ingin melihat siapa yang menelepon atau mengirim pesan.
Ia terlalu lelah untuk berurusan dengan siapa pun.
Pikirannya melayang pada Zeff lagi. Pria itu begitu kompleks, begitu sulit dipahami.
Terkadang dia hangat dan perhatian, tapi lebih sering dia menjadi sosok yang dingin dan penuh amarah.
Kaia tahu dia seharusnya menjaga jarak dari Zeff, tapi hatinya berkata lain. Ada sesuatu tentang pria itu yang menariknya, bahkan ketika dia tahu itu hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit.
*
*
Kaia meraih ponselnya dan menatap layar yang terang. Ia tahu dia harus membuat keputusan.
Apakah dia akan terus berada di dekat Zeff, menerima semua kebingungan dan rasa sakit yang datang bersamanya?
Atau haruskah dia menjauh, melindungi dirinya sendiri dari pria yang jelas-jelas tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan?
Namun, sebelum dia bisa memutuskan, ponselnya berdering lagi. Kali ini, nama Zeff muncul di layar.
Kaia terdiam, jari-jarinya ragu untuk menyentuh tombol jawab. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menjawab.
Ia tidak siap untuk berbicara dengannya, tidak sekarang. Tak lama kemudian, Zeff mengiriminya pesan.
Lalu Kaia membacanya.
[Maaf, aku tahu ini sangat menyakitimu dan aku sangat b******k. Aku benar-benar minta maaf, Kaia. Kau tak perlu kemari lagi. Aku takut akan lebih menyakitimu. Mungkin, aku akan mulai mencoba dengan orang lain untuk menemaniku tidur. Sekali lagi, maafkan aku …]
Melihat tulisan itu, Kaia menangis. Dia merasa Zeff mengusirnya begitu saja tanpa ada penjelasan lagi.
Kaia tak membalas pesan itu dan melempar ponselnya ke dinding. Kaia begitu sakit hati hingga dadanya terasa sakit.
*
*
Hari itu, Kaia memutuskan untuk tetap berada di rumah. Ia menghabiskan waktu dengan memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya setelah peristiwa itu terjadi.
Kaia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa dia harus segera mengambil keputusan.
“Aku akan pergi dari sini. Aku terlalu malu untuk datang ke perusahaannya. Aku tak bisa melihat Zeff lagi. Aku sangat malu padanya,” gumamnya berbisik.
*
*
Keesokan paginya, lorong apartemen terasa lengang. Kaia menyeret kopernya yang besar dan berat dengan langkah pelan.
Hatinya terasa kosong, seperti lorong yang kini sunyi. Ia memutuskan pergi ke kota ayahnya, sebuah tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk pekerjaannya dan jauh dari Zeff.
Keputusan itu bukan hal yang mudah karena dia harus meninggalkan pekerjaanya dan otomatis berhenti bekerja, tapi Kaia tahu dia membutuhkan waktu untuk menjauh dari segala kekacauan yang melingkupinya.
Namun, saat hampir sampai di ujung lorong, suara roda koper yang menyeret lantai bergema dari arah yang sama dengannya.
Kaia menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya dia melihat Brad muncul dengan koper besar serupa miliknya.
Brad juga menghentikan langkahnya, menatap Kaia dengan bingung. "Kau mau pergi?" tanyanya, menurunkan kacamata hitam yang sebelumnya bertengger di hidungnya.
Kaia mengangguk ragu. "Ya. Ayahku memanggilku untuk pulang," jawabnya sambil berusaha menghindari tatapan pria itu.
Brad tertawa kecil, meskipun ada nada heran dalam suaranya. "Aku juga akan pergi. Sangat kebetulan, kan?"
Kaia mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Kemana kau akan pergi?"
"Ke luar negeri. Perusahaan besar mengontrakku dengan bayaran lebih tinggi. Aku rasa ini kesempatan yang tidak bisa kulewatkan," kata Brad, terdengar santai meski ada sedikit kegetiran dalam suaranya. “Kuharap kita tetap berkomunikasi meskipun berjauhan.”
Kaia terdiam, lalu menatap kopernya sendiri. Ironis.
"Selamat untukmu," ujar Kaia akhirnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa kosong. "Kau pasti akan sukses di sana."
Brad mengangguk, lalu melihat Kaia dengan tatapan penuh perhatian. "Aku senang bisa mengenalmu, Kaia. Semoga kita bisa bertemu lagi meskipun itu mungkin akan sulit.”
Kaia menatapnya sejenak, bingung harus menjawab apa. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk lagi. "Ya,” jawabnya singkat.
Brad menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi dia hanya tersenyum kecil dan menghela napas. "Kalau begitu, jaga dirimu, Kaia. Semoga kau tiba dengan selamat di sana.”
Kaia membalas senyumnya, meskipun hatinya terasa berat. "Kau juga. Semoga kau bahagia di sana."
Lalu mereka masuk lift bersama, dengan senyum yang berbeda. Brad senyumnya tampak sumringah, sedangkan Kaia terlihat tersenyum penuh kegetiran.
*
*