Dua minggu berlalu seperti arus sungai yang mengalir tenang namun pasti.
Hubungan antara Kaia dan Zeff perlahan berubah dari hubungan profesional menjadi sesuatu yang lebih personal.
Kaia, yang awalnya mengira bahwa menemani Zeff hanya akan menjadi bagian kecil dari hidupnya, mulai menyadari bahwa pria itu kini memiliki tempat yang lebih besar di hatinya.
Namun dia tetap menjaga jarak dan bersikap sopan seperti biasanya. Dia tak mau merusak pekerjaan yang memberinya uang cukup banyak itu.
Malam-malam mereka semakin sering dihabiskan bersama. Tidak hanya sekadar berbagi ranjang, tetapi juga percakapan yang mendalam.
Zeff, yang selama ini dikenal Kaia sebagai pria cool dan serius, mulai menunjukkan sisi yang lebih hangat.
Suatu malam, setelah jamuan makan malam dengan klien penting, Zeff dan Kaia kembali ke apartemen penthouse mansion di pusat kota.
Ya, Zeff mengajak Kaia ikut dalam jamuan makan malam bisnis malam itu karena dia merasa tenang jika berada di dekat Kaia. Bahkan Scott tersingkirka n perannya sejak ada Kaia.
Namun Scott tak marah karena dia mulai melihat sisi Bosnya yang kembali semangat menjani hidup.
Kaia mengenakan gaun hitam sederhana yang dibelikan oleh Zeff dari sebuah butik branded terkenal—karena udangan itu begitu tak terduga hingga sempat membuat Kaia terkejut dan canggung.
“Lepas saja sepatu itu,” ujar Zeff, memperhatikan langkah Kaia yang sedikit terhuyung karena hak tinggi.
Kaia menuruti saran Zeff, melepaskan sepatu hak tingginya, lalu melangkah pelan menuju sofa ruang tengah.
Ia menghempaskan tubuhnya dengan napas lega. “Hari ini benar-benar melelahkan,” gumamnya.
Zeff, yang sudah membuka dasi dan menggulung lengan kemejanya, berjalan mendekat sambil membawa dua gelas wine. “Lelah? Tapi kau masih bertahan sampai akhir. Itu hal yang tidak mudah.”
Kaia menerima gelas itu, tersenyum kecil. “Mungkin karena aku tahu kau ada di sana. Setidaknya, itu membuatku merasa tidak sendirian.”
Zeff menatapnya, matanya sedikit melembut. “Dan aku juga tidak ingin sendirian. Itu sebabnya aku meminta kau menemaniku malam ini.”
Kaia tersenyum dan meneguk wine itu bersama Zeff. Lalu Zeff mendekat dan membuka kacamata Kaia.
“Apakah minusmu besar?” tanya Zeff.
“Tidak terlalu. Aku ingin operasi hanya saja belum ada waktu karena pekerjaan yang padat.”
“Bulan depan, ambillah cuti. Aku akan mengizinkamu libur kerja, hanya saja kau tetap ada di sini menemaniku. Aku akan menjagamu setelah kau operasi,” ucap Zeff.
Kaia terpaku, tak menyangka Zeff akan menawarkan hal ini padanya. Apalagi Zeff ingin menjaganya. “Tapi … aku …”
“Tak perlu canggung padaku, Kaia. Kita berteman, bukan?”
Kaia mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, aku akan memikirkannya dulu.”
Zeff hanya mengangguk dan mereka kembali mengobrol santai.
*
*
*
Pagi-pagi berikutnya, alih-alih membiarkan Kaia pergi seperti biasanya, Zeff memintanya untuk tetap tinggal hingga sarapan.
“Kaia,” ucap Zeff pelan saat gadis itu bersiap mengenakan sepatunya. “Bisakah kau tinggal lebih lama? Temani aku sarapan.”
Kaia menoleh, sedikit terkejut. Biasanya, Zeff masih tertidur lelap di saat dirinya akan pulang, namun pagi itu Zeff tampak bangun lebih awal, mengikuti jadwal Kaia.
“Sarapan? Tapi aku harus ke kantor cabang pagi ini setelah membuatkan sarapanmu.”
Zeff beranjak dari ranjang dan menatap Kaia dengan lembut. “Aku bisa memberikan dispensasi. Kau datang saja setelah pukul sepuluh. Aku akan beri tahu manajermu nanti.”
Kaia mengangkat alis, mencoba menebak maksud di balik permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba ingin aku sarapan denganmu?”
Zeff mengangkat bahu, tampak santai. “Karena aku ingin. Apa itu alasan yang cukup?”
Kaia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi hanya kali ini.”
Namun, "kali ini" langsung dibantah oleh Zeff. “Seterusnya, kau harus menemaniku makan pagi.”
Kaia tampak berpikir sejenak lalu mengangguk. “Baiklah.”
“Dan kau bisa berangkat ke kantor dari sini. Jadi bawalah beberapa pakaian dan barangmu kemari,” imbuh Zeff.
Kaia termangu, tak menyangka Zeff akan memintanya sejauh itu. “Itu artinya aku akan tinggal di sini, Zeff?”
Zeff mengangguk.
“Tapi … aku tak bisa. Karena sesekali aku harus menemui seseorang.”
Zeff mulai merubah ekspresi wajahnya. “Seseorang?”
“Ya, aku … sedang dekat dengan seorang pria. Ayahku … dia sedang me—”
“Tak perlu kau lanjutkan, aku tak ingin mencampuri urusan pribadimu. Maaf jika aku memaksamu tadi. Tapi, tak masalah, kau tetap bisa tinggal sesuai waktu yang kau inginkan,” potong Zeff.
“Aku tetap akan datang tepat waktu, Zeff. Terima kasih atas kepercayaanmu,” Kaia tersenyum dan bergegas keluar dari kamar, untuk membuatkan sarapan Zeff sekaligus menemaninya sarapan.
*
*
Setelah Kaia keluar dan pintu tertutup, beberapa menit kemudian Zeff kemudian menelepon Scott dengan wajah yang begitu angker.
“Halo, Scott. Kenapa kau tak memberiku info bahwa Kaia melakukan kencan buta lagi?” kesal Zeff.
“M-maaf, Tuan Zeff?” Scott terdengar terkejut dengan suara Zeff yang marah dan menelepon di waktu yang terlalu pagi.
“Maaf? Bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa kau harus melaporkan apapun tentang Kaia? Dan dia sekarang sedang dekat dengan seorang pria lagi. Pisahkan mereka apa pun caranya! Dan cegah hal ini terulang lagi! Aku tak mau Kaia menjalin hubungan dengan pria mana pun selama masih bekerja denganku! Mengerti?”
“Ba-baik, Tuan.”
Lalu Zeff langsung menutup sambungan teleponnya dengan wajah yang masih penuh amarah.
“Tak ada yang boleh menggangu Kaia selama dia bersamaku!” geramnya sambil memegang erat ponselnya.
*