Pagi itu, ruang makan Zeff terasa sunyi, hanya diisi oleh suara alat makan yang beradu dengan piring.
Kaia duduk di seberang Zeff, menundukkan kepala sambil menggerakkan garpunya dengan perlahan.
Pancake di piringnya hampir tidak tersentuh, meskipun biasanya dia makan dengan lahap.
Zeff memperhatikan Kaia di sela-sela suapan makanannya. Wajah wanita itu tampak kosong, dan sorot matanya menghindari tatapan pria yang duduk di depannya.
Ada jarak yang terasa begitu nyata di antara mereka, dan itu membuat Zeff tidak nyaman.
"Kaia," ujar Zeff akhirnya, memecah keheningan yang memanjang.
Kaia mengangkat pandangannya sekilas, namun tidak mengatakan apa-apa.
Bibirnya terkatup rapat, seolah menahan sesuatu yang sulit dia ungkapkan.
"Kau tidak suka sarapannya?" tanya Zeff lagi, meskipun dia tahu bukan itu masalahnya.
Kaia menggeleng ringan. "Tidak, semuanya baik-baik saja."
Jawaban itu terasa hambar, tanpa emosi. Zeff mendesah pelan, lalu melanjutkan sarapannya tanpa berkata-kata lagi.
Ia tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati Kaia, tetapi dia tidak tahu cara untuk mengatasinya, karena dia sadar bahwa dialah penyebab semua kegelisahan hati Kaia.
*
Setelah sarapan selesai, Zeff berdiri dari kursinya dan memandang Kaia. Wanita itu masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang sudah dingin.
"Ikut aku ke ruang kerja," kata Zeff dengan nada tegas.
Kaia menoleh perlahan, lalu mengangguk tanpa sepatah kata pun. Ia mengikuti Zeff dengan langkah pelan, menyusuri koridor rumah mewah itu menuju ruang kerja yang selama ini jarang ia masuki.
Ketika mereka tiba, Zeff membuka pintu dan mempersilakan Kaia masuk lebih dulu.
Ruangan itu besar, dikelilingi oleh rak buku yang penuh dengan koleksi literatur, sementara meja kayu besar di tengah ruangan memberikan kesan otoritas yang kuat.
"Silakan duduk," ujar Zeff sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
Kaia menurut, duduk dengan tenang tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Zeff mengambil sebuah map dari laci mejanya dan meletakkannya di depan Kaia.
"Ini kontrak baru," kata Zeff, sambil mendorong map itu ke arah Kaia. "Baca baik-baik sebelum kau tanda tangan."
Kaia membuka map itu dengan tangan gemetar. Namun, dia hanya melirik sekilas sebelum menutupnya kembali.
"Aku tidak perlu membacanya," ucap Kaia dengan suara datar. "Aku sudah tahu apa isinya."
Zeff mengerutkan kening. "Kaia, ini penting. Kau harus tahu semua detailnya."
"Apa yang perlu aku tahu?" balas Kaia, menatap Zeff dengan mata yang penuh kelelahan. "Kontrak ini pasti berisi aturan-aturan yang membuatku tidak bisa pergi ke mana pun tanpa izinmu, kan? Dan aku harus selalu ada di sisimu sampai kau sembuh dari insomnia.”
Zeff terdiam sejenak, merasa terganggu oleh nada tajam dalam suara Kaia. Ia tidak menyangka wanita itu akan begitu langsung menebak isi kontrak.
"Kontrak ini untuk melindungi kita berdua," ujar Zeff akhirnya, suaranya lebih pelan. "Dan jangka waktunya hanya satu tahun. Setelah itu, secara otomatis akan diperpanjang jika aku masih membutuhkanmu.”
Kaia mengangguk kecil, lalu mengambil pena dari meja. Ia menandatangani kontrak itu tanpa ragu, hanya melihat sekilas bagian yang menyebutkan durasi satu tahun.
"Selesai," katanya sambil mendorong map itu kembali ke arah Zeff.
*
Zeff mengambil map itu dan memperhatikannya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam laci.
Ia menatap Kaia dengan raut wajah yang sulit dibaca.
"Kenapa kau tidak protes?" tanya Zeff tiba-tiba. "Kau bahkan tidak mencoba membaca kontraknya dengan teliti."
Kaia tersenyum pahit. "Apa gunanya? Aku tahu aku tidak punya pilihan. Kalau aku tidak menandatanganinya, kau tetap akan memaksaku untuk menandatangani kontrak ini, ya kan?”
Zeff tertegun mendengar pernyataan itu. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam sikap Kaia, sesuatu yang membuatnya merasa bersalah.
"Kaia, aku tidak bermaksud memaksamu," katanya dengan nada lebih lembut. "Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik. Dan aku juga tak merugikanmu. Aku membayarmu dengan pantas. Maafkan aku jika malam itu membuatmu begitu hancur. Aku tahu itulah kesalahan besarku padamu. Dan itu tak bisa diubah lagi. Tapi sungguh, aku menyesalinya seumur hidupku."
Kaia hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Setelah beberapa saat, Kaia berdiri dari kursinya. "Kalau sudah selesai, aku akan kembali ke kamarku. Bukankah aku akan mulai bekerja mulai hari ini menjadi asistenmu?” katanya singkat.
"Kaia, tunggu," panggil Zeff, suaranya terdengar memohon.
Kaia berhenti di ambang pintu, tetapi tidak menoleh. "Apa lagi yang kau inginkan, Zeff?"
Zeff berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Kaia. "Aku hanya ingin kay tahu bahwa aku melakukan ini bukan karena aku ingin mengendalikanmu. Aku melakukan ini karena aku butuh kau."
Kaia memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku tahu itu dan tak perlu mengulangi perkataan ini berulang-ulang. Aku sudah menandatangani kontraknya, Zeff," ucap Kaia, suaranya bergetar. "Jadi tolong, jangan membuatku merasa lebih terjebak daripada yang sudah kurasakan."
“Kaia, jika kau hamil karena malam itu, aku akan menikahimu. Aku pasti akan bertanggung jawab.”
Ucapan Zeff membuat Kaia tertegun. Dia meneguk ludahnya. Dia bahkan tak pernah memikirkan hal itu.
Ya, dia baru menyadari bahwa dia bisa saja hamil dan itu membuatnya panik. Kaia memundurkan langkahnya dan berbalik cepat tanpa menanggapi perkataan Zeff.
Zeff berdiri di sana, menatap pintu yang bahkan tak ditutup oleh Kaia. Hatinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang hilang.
Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Selama ini, Zeff berpikir bahwa dia bisa mengendalikan segalanya—dari bisnisnya hingga kehidupannya.
Tetapi dengan Kaia, semua itu terasa tidak berarti. Wanita itu membuatnya merasa rapuh, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
"Kaia," bisik Zeff pada dirinya sendiri. "Apa yang harus aku lakukan agar kau tidak merasa seperti ini dan kembali seperti waktu itu?"
Namun, tidak ada jawaban. Hanya ada keheningan yang menyelimuti ruangan itu, meninggalkan Zeff dengan perasaan bersalah yang terus menghantui.
*
*
Kaia masuk ke kamarnya dan langsung berjalan mondar mandir. Dia menggigit kuku jari tangannya dengan wajah panik.
“Bagaimana jika aku hamil? Mengapa aku tak memikirkan hal ini? Bagaimana reaksi daddy jika aku hamil?” Kaia menggigit bibirnya yang gemetar.
“Tidak, itu tak mungkin. Kami hanya melakukannya sekali saja. Ya, aku berharap itu tak akan terjadi,” gumamnya menenangkan dirinya sendiri.
Lalu Kaia duduk di tepi ranjang dan memegang kepalanya. Pikirannya mulai penuh dengan kemungkinan-kemungkinan atas hal yang tak diinginkannya.
“Itu tak akan terjadi. Aku tak akan hamil secepat itu.”