Zeff membuka matanya perlahan, membiarkan udara pagi yang dingin dan lembut mengusap wajahnya, masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Rasanya sudah lama sekali sejak dia merasa segar seperti ini. Tidurnya malam itu benar-benar nyenyak, sebuah kemewahan yang jarang dia dapatkan dalam beberapa minggu terakhir.
Ia menarik napas panjang, menikmati perasaan ringan yang memenuhi dadanya.
Namun, yang membuatnya tersenyum pagi ini bukan hanya rasa segar yang baru dia rasakan, melainkan pemandangan di depannya.
Di sisi ranjang, Kaia masih tertidur pulas. Wajahnya yang damai dan napasnya yang teratur membuat Zeff terdiam. Ia tidak ingin mengganggu ketenangan itu.
Zeff terbangun di pagi buta dan bangun sebelum Kaia membuka matanya.
*
*
Zeff mendekat sedikit namun gerakannya begitu pelan, cukup untuk melihat wajah Kaia lebih jelas.
Rambutnya yang tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat cantik.
Bibirnya yang tipis sedikit terbuka, seperti sedang bermimpi sesuatu yang menyenangkan.
Di antara semua wanita yang pernah dia kenal, Kaia begitu berbeda. Dia sederhana, tidak memerlukan banyak hal untuk terlihat memikat.
Bisa dibilang sangat sederhana dan tak ingin menunjukkan pesonanya sama sekali.
Dia bahkan cenderung menutupi kelebihan yang dimilikinya dan berusaha menjalani hidupnya dengan lurus.
Zeff tidak mengerti apa yang membuatnya begitu terikat pada Kaia. Ia hanya ingin menikmati saat-saat ini—saat di mana dia bisa merasa tenang di dekat seseorang.
Sejenak, dia merasakan kehangatan menjalar di dadanya. Perasaan itu bercampur dengan rasa takut yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Bagaimana jika Kaia pergi lagi? Bagaimana jika wanita ini memutuskan untuk meninggalkannya lagi? Bagaimana jika Kaia menikah dengan orang lain sementara dia belum bisa lepas dari ketergantungannya pada Kaia.
Hal itu bisa saja terjadi, karena Zeff tak tahu kapan dia akan sembuh. Bagaimana jika selamanya dia akan bergantung pada Kaia?
Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan semacam itu:
Zeff menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sendiri.
Ia bukan tipe pria yang mudah bergantung pada siapa pun. Sebagai seorang pria sukses yang terbiasa hidup mandiri, dia selalu merasa bahwa dirinya bisa menghadapi segala sesuatu sendirian.
Tapi sejak kecelakaan itu, semuanya berubah, dan Kaia masuk ke dalam hidupnya untuk membantunya.
Wanita itu sederhana, tidak pernah menuntut apa pun darinya selain yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Namun, kehadirannya membawa kenyamanan yang sulit dijelaskan.
‘Kenapa kau bisa membuatku seperti ini, Kaia?’ batin Zeff pelan, meski tahu bahwa Kaia tidak akan mendengarnya.
Zeff mengulurkan tangannya, hampir menyentuh pipi Kaia yang lembut, tapi dia menariknya kembali.
Ia tidak ingin membangunkan wanita itu. Ia hanya ingin menikmati momen ini lebih lama.
Wajah Kaia terlihat begitu damai, seolah-olah semua masalah di dunia ini tidak ada.
Zeff merasa iri. Ia ingin merasakan kedamaian seperti itu setiap hari. Namun, dia juga tahu bahwa semua ini bisa hilang dalam sekejap.
“Jangan pergi lagi,” bisiknya pelan, meski Kaia tetap terlelap.
Saat menatap Kaia, pikiran Zeff melayang ke masa itu. Ia teringat bagaimana dirinya merenggut kesucian Kaia.
Ia juga teringat saat-saat di mana Kaia pergi, meninggalkan dirinya karena kesalahan besar dari dirinya.
Rasa kehilangan itu membuatnya sadar betapa pentingnya Kaia dalam hidupnya.
Dan sekarang, ketika wanita itu ada di depannya lagi, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memperbaiki segalanya.
*
*
Zeff tak beranjak dari tempat tidurnya dan masih betah memandangi wajah polos nan cantik itu.
Di satu sisi, dia merasa bersyukur karena Kaia ada di sini. Tapi di sisi lain, dia juga merasa takut—takut bahwa semuanya hanya sementara.
‘Kalau aku bisa, aku akan membuatmu tetap di sini selamanya,’ pikir Zeff dalam hati.
Saat matahari mulai menampakkan sinarnya dan cukup tinggi, Zeff menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu.
Ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan kehilangan Kaia.
Dia akan memikirkan rencana lain untuk mengikat Kaia, meskipun itu merupakan tindakan yang egois dan tak memikirkan perasaan Kaia.
*
*
Tak lama, Kaia mulai membuka matanya perlahan. Dia melihat Zeff sudah memandanginya dan entah sudah berapa lama pria itu melihatnya seperti itu.
“Selamat pagi,” sapa Zeff lembut.
Kaia menatapnya dengan mata yang masih setengah tertutup, tak ada senyum di wajahnya. Namun dadanya berdebar. “Selamat pagi, Zeff.”
Lalu Kaia beranjak bangun, namun Zeff menahan tangannya. “Kau harus menandatangani dokumen kontrak yang baru. Mulai saat ini, kau akan bekerja di sampingku, seperti Scott. Bukan di perusahaan cabang lagi.”
Kaia melihat Zeff dengan pandangan tajam. “Kau puas dengan apa yang kau lakukan padaku, Zeff?”
“Asal kau ada di sampingku, aku akan melakukan apa pun. Aku tak peduli hal lain.”
“Meskipun itu menyakitiku?” tanya Kaia.
“Ya, tapi aku tak akan pernah menyakitimu lagi, Kaia. Aku janji.”
Bukan, bukan itu yang ingin didengan Kaia. Jeff bukan menyakiti fisiknya, namun hatinya.
“Kau benar-benar egois.”
“Ya, aku egois. Tapi aku akan memberikan apa pun yang kau mau. Aku bisa memberikan semuanya, Kaia. Kau tak akan kekurangan apa pun. Kau bisa hidup mewah dan segalanya akan kupenuhi.”
‘Bukan itu yang kuinginkan, Zeff. Mengapa kau sama sekali tak menanyakan tentang hatiku?’ batin Kaia.
“Kau akan tinggal di sini mulai saat ini dan tak boleh ke mana pun selain bersamaku. Kau tak boleh menjalin hubungan dengan pria lain selama bersamaku. Aku tak ingin fokusmu terpecah. Dan kau akan mendapatkan gaji yang lebih besar dari sebelumnya.” Zeff menyebutkan tentang poin penting dari perjanjian baru itu.
Kaia menghela napasnya. “Terserah kau saja.”
Lalu Kaia melepaskan tangan Zeff dan berjalan ke arah pintu. Namun, lagi-lagi suara Zeff membuat langkahnya terhenti.
“Dan ini kamarmu. Kita satu kamar,” ucap pria itu.
Kaia berbalik dan menatap Zeff heran. “Kita hanya teman tidur malam saja dan bukan pasangan suami istri.”
“Jadi, kau ingin kita menikah? Jika itu membuatmu bisa tinggal di sini, aku akan menikahimu.”
Ucapan Zeff membuat Kaia membelalakkan matanya. Semudah itu Zeff mengucapkan sebuah kata sakral hanya karena ingin keinginannya terpenuhi.
Kaia hanya diam terpaku. Bingung, karena tak tahu harus mengatakan apa.
“Kopermu sudah ada di walk in closet kamar ini.” Zeff memecah keheningan di antara mereka.
Kaia masih diam, dan akhirnya berjalan ke arah walk in closet. Zeff megawasi gerak-geriknya dari ranjang, dan Kaia mulai merasa tak nyaman dengan hal itu.
Kaia mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam walk in closet dengan d**a berdebar.
Lalu dia menghela napasnya dan berdiri diam sejenak sebelum membuka kopernya. “Apa-apaan ini? Apa yang harus kulakukan? Dia benar-benar mulai gila sekarang.”