Kembali Dengan Sebuah Maaf

1016 Kata
Kaia berdiri di depan pintu besar mansion Zeff, sebuah bangunan megah yang berdiri angkuh di tengah malam. Angin dingin menyapu lembut wajahnya, seolah memperingatkan bahwa apa yang ada di dalam akan membawa lebih banyak badai dalam hidupnya. Kedua tangannya gemetar, bukan karena suhu udara, tetapi karena jantungnya yang berdegup tak beraturan. Ia mencoba mengontrol napasnya, namun setiap langkahnya mendekatkan dia pada kenangan yang berputar-putar di pikirannya seperti gulungan film tua. Malam itu kembali menguasai benaknya. Malam di mana dia merasa terperangkap, sekaligus terhanyut. Malam pertama ketika dia dihadapkan pada sisi kelam Zeff yang mengambil kesuciannya, namun ironisnya--dia mengizinkannya dan bahkan tenggelam dalam gairah. Kaia memejamkan mata, mengingat saat Zeff dengan tegas mengatakan bahwa dia menyesal telah melakukan hal itu padanya. Itu dimulai dengan paksaan, tetapi berakhir dengan cara yang membuat darahnya berdesir. Ia membenci dirinya sendiri karena tak mampu melawan pesona pria itu. Lebih dari sekali, dia berjanji akan menjaga jarak dari Zeff, namun di penghujung malam, ketika pria itu membutuhkannya, dia selalu kembali. Malam itu adalah malam yang mengubah segalanya, termasuk hubungan profesionalisme mereka. * * Kini, Kaia kembali lagi. Tepat di tempat yang dia tinggalkan beberapa bulan lalu, sebelum dia memberanikan diri untuk pergi dan mencoba menjalani hidup tanpa Zeff. Namun kehidupan tanpa pria itu ternyata jauh lebih kosong daripada yang dia bayangkan, dan dia berusaha tak mengakuinya. Pintu besar di hadapannya terbuka, dan pelayan rumah berdiri dengan sopan, membungkuk. “Selamat datang kembali, Nona Kaia.” Kaia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Ia melangkah masuk ke dalam mansion yang selalu membuatnya merasa seperti berjalan memasuki jebakan. Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit masih memancarkan sinar mewah, dan aroma ruangan yang bercampur antara kayu mahoni dan parfum khas Zeff segera menyambutnya. “Dia ada di kamarnya,” pelayan itu berkata sambil membungkuk lagi. Kaia hanya mengangguk. Ia tahu Zeff menunggunya. Ia tahu bahwa pria itu tidak akan pernah mengizinkannya benar-benar pergi tanpa kembali. Dan kini dia di sini, kembali seperti boneka yang tidak bisa melarikan diri dari pemiliknya. * * Kaia melangkah ke kamar pribadi Zeff, dan di sana pria itu berdiri membelakanginya, menghadap jendela besar yang menghadap ke taman. Punggungnya tegap, dan meski Zeff hanya mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya digulung hingga siku, dia terlihat seperti seseorang yang memegang kendali atas segalanya. “Kau akhirnya datang,” suara Zeff terdengar datar, tetapi ada nada lega yang tak bisa disembunyikan. Kaia menelan ludah, mencoba menguatkan dirinya. “Aku tidak punya pilihan,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar. Zeff berbalik, matanya tajam seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. “Tidak punya pilihan, atau kau sebenarnya memang menginginkannya?” Kaia tercekat. Kata-kata Zeff menembus pertahanannya. "Aku selalu tak punya pilihan. Sangat menyedihkan, bukan?" “Aku minta maaf karena harus memaksamu,” lanjut Zeff, melangkah mendekatinya. “Tapi aku tahu kau tak akan bisa menjauh dariku lagi, karena aku membutuhkanmu. Aku tidak bisa tidur tanpa kau di sisiku.” Zeff mendekat lebih jauh. Jarak di antara mereka kini hampir tidak ada. Mata pria itu mengunci pandangannya, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangan meskipun hatinya berteriak untuk melarikan diri. “Kenapa harus aku?” Kaia akhirnya bertanya, suaranya hampir tidak terdengar. "Sudahkah kau mencoba dengan yang lainnya?" Zeff tersenyum tipis, tetapi itu adalah senyuman yang sarat dengan beban. “Karena hanya kau yang bisa membuatku tenang, Kaia. Tak ada yang bisa melakukan itu selain kau. Hanya kau yang bisa mengusir bayangan gelap dari pikiranku setiap malam. Aku sudah mencoba segalanya, tetapi hanya kehadiranmu yang menjadi jawabannya.” Ia tahu bahwa setiap kata Zeff adalah kebenaran. Ia tahu bahwa dia tidak hanya menjadi alat bagi pria itu, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih penting. "Aku janji, tak akan merendahkanmu lagi. Maafkan aku atas kelakuanku waktu itu. Kau bisa meminta ganti rugi yang besar padaku, asal kau tetap di sisiku setiap malam." Bukan itu yang ingin didengar Kaia, namun dia tak bisa memaksakan perasaan Zeff. Yang dirasakan Zeff padanya bukanlah rasa suka, melainkan kebutuhan untuk mengobati insomnia-nya. Dan Zeff takut jika Kaia pergi darinya jika Kaia bersama pria lain. Kaia kemudian mengangguk saja, meskipun ada rasa kecewa di dalam hatinya. * * Malam itu, Kaia kembali berada di kamar Zeff, tepat seperti malam-malam sebelumnya. Pria itu berbaring di tempat tidur, matanya memejam, tetapi napasnya belum menunjukkan tanda-tanda relaksasi. Kaia duduk di kursi di ranjang tempat tidur, mempersiapkan dirinya untuk kembali tidur dengan Zeff lagi. Ia tahu perannya—hanya berada di sana, memastikan Zeff tidak merasa sendirian. Tetapi malam ini berbeda. Ada ketegangan di udara yang tidak bisa diabaikan. “Kaia,” Zeff memanggilnya dengan suara pelan. Kaia menoleh, tetapi tidak mengatakan apa-apa. “Tidurlah di sini,” Zeff menunjuk sisi tempat tidur di sampingnya. Kaia ragu-ragu, tetapi akhirnya menaikkan kakinya dan mendekat. Ia memutas tubuhnya namun masih ragu. Dan sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, Zeff menarik tangannya. Sentuhan itu lembut tetapi tegas, seperti magnet yang tidak bisa ia lawan. “Aku tahu kau masih marah padaku karena semua ini,” kata Zeff, suaranya penuh penyesalan. “Tapi aku tidak bisa melepaskanmu, Kaia. Aku tidak akan pernah bisa. Aku membutuhkanmu." Kaia menatap mata Zeff, dan dalam kegelapan itu, dia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan. Mungkin sebenarnya ada sedikit cinta untuk Kaia, meskipun pria itu terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Kaia menyerah pada pria yang telah menjadi belenggu sekaligus penyelamatnya. Zeff menggenggam tangan Kaia dan mata mereka saling menatap lekat. Namun, tak seperti biasanya, Kaia memilih memejamkan matanya terlebih dulu, karena dia takut terperosok kembali ke dalam pusaran gairah di antara mereka berdua. Kaia tahu bahwa kehidupannya bersama Zeff tidak akan pernah sederhana. Ia tahu bahwa hubungan mereka akan selalu penuh dengan komplikasi dan dilema. Tetapi untuk saat ini, dia memilih untuk tetap tinggal. Pasti suatu saat nanti, Zeff akan sembuh dan dia akhirnya bisa pergi dari sana. Karena meskipun dia tidak bisa sepenuhnya memahami perasaannya terhadap Zeff, satu hal yang dia tahu pasti bahwa Zeff tidak bisa hidup tanpa dirinya saat ini. Dan mungkin, dia bisa mengendalikan Zeff dari hal ini, meskipun mungkin itu terkesan jahat. Tapi, Kaia hanya tak mau dirinya dipandangan enteng oleh Zeff. * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN