Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi Kaia hampir tidak merasakannya.
Ia melangkah cepat menuju jalan utama untuk memanggil taksi. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama, yaitu Zeff.
Meskipun dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan pria itu, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikannya.
Zeff adalah bagian dari hidupnya—dalam cara yang rumit dan tak jelas.
Ia tahu bahwa Zeff tidak akan membiarkannya jika dia terlambat karena tak suka pada orang yang tak disiplin.
Taksi tiba setelah beberapa menit. Kaia memberi alamat Mansion Zeff kepada sopir, dan kendaraan itu melaju membelah malam.
Selama perjalanan, Kaia mencoba menenangkan pikirannya. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Zeff ketika dia tiba di mansionnya begitu larut malam.
Apakah Zeff akan marah? Atau justru bertanya mengapa dia begitu terlambat?
Kaia menarik napas dalam-dalam. Ia harus siap menghadapi apa pun.
Jalanan di depan ramai karena ini sedang weekend dan cukup banyak kendaraan berlalu lalang.
Sesekali mobil itu berhenti karena ada kemacetan di jalan. Kaia menggigit bibirnya dengan perasaan gelisah, sembari melihat arlojinya.
*
*
*
*
Malam itu, Zeff duduk di ruang kerja pribadinya, menikmati keheningan setelah hari yang panjang.
Sebuah gelas wine merah tergeletak di meja kayu mahogani, separuh penuh.
Namun, ketenangan itu pecah ketika salah satu anak buahnya mengirimnya pesan di ponselnya.
Anak buahnya menyerahkan foto-foto dan laporan rinci tentang keberadaan Kaia malam ini.
Zeff membuka foto-foto itu. Foto pertama langsung membuat dadanya mengencang.
Di sana, Kaia, wanita yang selama ini dia kagumi—meskipun dia tidak mau mengakuinya—tampak bersama seorang pria.
Mereka sedang duduk di sebuah restoran, mengobrol dan tertawa.
Kaia tersenyum begitu lebar, senyuman yang jarang dia lihat ketika bersamanya. Namun kali ini, senyuman itu bukan untuknya.
Zeff menahan napas, membaca laporan singkat yang menyebutkan bahwa pria itu adalah tetangga Kaia di apartemennya. Fakta itu membuat darahnya mendidih.
"Jadi dia membohongiku," gumam Zeff, suaranya dingin. "Dia bilang pergi dengan ayah dan bibinya, tapi ternyata bersama seorang pria."
Dia masih melihat foto-foto itu. Zeff melihat salah satu foto itu, menatapnya dalam-dalam.
Pria asing itu tampak begitu santai di dekat Kaia, seolah-olah mereka sudah saling mengenal begitu lama.
Wajahnya penuh percaya diri, dan senyuman di bibirnya tampak mengganggu Zeff lebih dari apapun.
Zeff tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya—perasaan antara cemburu, marah, dan kecewa.
"Kaia harus menjelaskan ini," ucap Zeff akhirnya, suaranya rendah tapi tegas.
Ia ingin menelepon Kaia saat itu juga, tapi ia berhenti di tengah jalan. Tidak, ini bukan waktunya. Ia tidak ingin terdengar seperti pria yang kehilangan kendali.
Zeff menggenggam ponselnya erat-erat seolah ingin meremukkannya.
Ia berdiri dan mulai mondar-mandir, langkah-langkahnya berat dan penuh emosi.
Gelas wine yang tadi hanya menjadi pelengkap kini berubah menjadi pelarian.
Ia mengambil gelas itu dan meneguk isinya dengan cepat, namun rasa wine yang biasanya menenangkannya tidak mampu meredakan gejolak amarah di dalam dadanya.
Bayangan wajah Kaia terus menghantui pikirannya—senyuman lebar yang terlihat begitu tulus, sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari wanita itu, meskipun mereka menghabiskan begitu banyak waktu bersama.
Zeff mengepalkan tangannya, merasakan gelas di tangannya hampir pecah karena tekanan.
"Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang pria ini lebih awal? Apa mereka sudah bersama selama ini? Apakah itu yang membuatnya begitu berbeda akhir-akhir ini?” gumamnya marah.
Ia merasa dikhianati, meskipun dia tahu, secara logis, dia tidak punya hak untuk merasa seperti itu.
Kaia bukan miliknya secara status. Tidak ada ikatan yang mengharuskan wanita itu setia kepadanya.
Namun, logika itu tidak mampu mengatasi emosi yang menguasai dirinya.
*
*
Zeff berjalan menuju jendela besar di kamar tidurnya, menatap keluar ke malam yang gelap.
Kota di bawahnya terlihat begitu tenang, kontras dengan badai yang sedang bergejolak di dalam dirinya.
Ia ingin mengganggu malam itu, ingin menghancurkan suasana makan malam mereka.
Namun, apa yang bisa dia lakukan? Ia tidak bisa langsung datang ke tempat itu dan menyeret Kaia keluar.
Itu akan menghancurkan reputasinya sebagai pria yang selalu tampak tenang dan penuh kendali.
Namun, dia juga tidak bisa diam saja. Bayangan Kaia bersama pria itu terus menusuknya seperti duri.
Zeff menatap gelas wine-nya yang kini kosong. Ia berjalan ke meja kecil di sudut kamar, menuang lagi wine merah ke gelasnya, dan meminumnya dalam satu tegukan.
"Kaia ..." gumamnya, frustrasi. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?"
*
*
Malam semakin larut, tapi Zeff tetap terjaga. Pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan Kaia dan pria itu.
Ia merasa seperti kalah, sesuatu yang tidak pernah dia alami sebelumnya.
Zeff adalah pria yang selalu memiliki kendali atas segala hal dalam hidupnya—bisnis, hubungan, bahkan emosinya sendiri. Namun, kehadiran Kaia telah mengubah semuanya.
Zeff duduk kembali di kursi dekat jendela, menatap gelas wine di tangannya.
Ia tahu bahwa ini bukan hanya soal kebohongan Kaia. Ini tentang perasaan yang selama ini ia tekan—perasaan yang akhirnya tidak bisa dia abaikan lagi.
*
*
Kemudian, Zeff menelepon anak buahnya. “Di mana Kaia sekarang?”
“Dia sudah pergi beberapa menit yang lalu, Tuan. Dan pria itu, masih ada di restoran. Apakah aku perlu menyelidiki siapa dia?”
“Ya, selidiki dia dan buat dia angkat kaki dari apartemen itu. Aku ingin Kaia terbebas darinya.” Zeff mulai memberi perintah.
Lalu sambungan telepon itu diputus dan Zeff semakin frustasi. Dia tak ingin Kaia kehilangan fokus akan dirinya.
Dia ingin Kaia menjadikan dirinya fokusnya yang paling utama dan pertama. Tak boleh ada yang lain.
Zeff kembali meneguk wine-nya dan tak peduli jika dirinya mabuk.
*
*
Tak lama kemudian, anak buah Zeff meneleponnya kembali. Zeff segera mengangkatnya.
“Katakan, siapa dia?” tanya Zeff tak sabar.
“Namanya Brad Rogers. Dia seorang fotografer lepas. Dia pernah berurusan dengan polisi karena kecanduan obat. Namun, sudah satu tahun ini dia sembuh dan pindah kemari, meninggalkan kota lamanya, memulai hidup baru. Karirnya lumayan bagus dan—“
“Stop! Buat dia pergi ke negara lain. Apa pun caranya. Cari koneksi kita dan hubungkan dengan pekerjaannya agar dia pindah ke negara lain. Dia pecandu dan berani-beraninya mendekati Kaia-ku?”
“Baik, Tuan.”
Setelah sambungan teleponnya terputus, Zeff pun kembali menenggak wine-nya.
Dia tak sabar untuk bertemu Kaia dan mendengar apa alasannya hingga terlambat datang.