Hari-hari berikutnya, Kaia mulai menyadari bahwa apartemennya kini terasa lebih hidup sejak kehadiran Brad.
Terkadang mereka bertemu di lorong saat Kaia hendak berangkat ke mansion Zeff, dan Brad selalu menyapanya dengan senyuman hangat serta komentar lucu yang membuat hari Kaia terasa lebih ringan.
“Jadi, bagaimana dengan kuenya?” tanya Brad suatu pagi saat mereka bertemu di lift.
Kaia tergelak. “Sangat enak. Aku harus mengakui, kau tahu cara meninggalkan kesan pertama yang baik.”
Brad mengangguk dengan gaya sok serius. “Aku selalu percaya bahwa makanan manis bisa memperbaiki segalanya. Kalau ada masalah besar, tinggal beri orang kue.”
“Strategi yang menarik,” jawab Kaia sambil tertawa kecil.
Brad menatapnya dengan pandangan ringan tetapi tulus. “Jadi, kapan-kapan kalau kau ada waktu, aku bisa tunjukkan tempat-tempat makan enak lain di kota ini. Anggap saja sebagai tur kuliner.”
Kaia sedikit terkejut, tetapi tidak menolak ide itu. “Kedengarannya menyenangkan. Aku akan pikir-pikir dulu.”
Tampaknya Brad tertarik pada Kaia, dan mencari alasan untuk mengajaknya kencan dengan cara yang santai dan tak terkesan memaksa.
Meskipun Kaia tidak langsung menyetujui ajakan Brad, dia merasa tertarik dengan gagasan itu.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap pria itu—apakah hanya perasaan nyaman sebagai tetangga baru, atau ada sesuatu yang lebih dalam.
Namun, dia memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Setelah beberapa pengalaman pahit sebelumnya, Kaia belajar untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Brad mungkin hanya menjadi teman yang menyenangkan, dan itu sudah cukup baginya saat ini.
*
*
Dan apakah Zeff tahu tentang kedekatan mereka? Jawabnya, tidak, karena selama ini Kaia dan Brad hanya berinteraksi di dalam apartemen.
Dan itu tentu saja tak diketahui oleh orang suruhan Zeff yang mengawasinya di luar.
*
*
Hari berganti hari, dan interaksi kecil antara Kaia dan Brad semakin sering terjadi.
Mulai dari percakapan ringan di lorong hingga berbagi cerita tentang pekerjaan mereka.
Kaia mulai merasa bahwa kehadiran Brad membawa energi positif dalam hidupnya.
Suatu sore, Kaia menerima pesan dari Brad.
“Hei, aku baru mencoba resep baru tadi. Aku bikin brownies. Kalau kau mau, aku bisa kirimkan ke unitmu.”
Kaia membaca pesan itu dengan senyum kecil. Ia membalas, “Kedengarannya enak. Aku pasti mau. Terima kasih, Brad.”
Beberapa menit kemudian, Brad mengetuk pintu apartemennya dengan piring berisi brownies yang baru saja selesai dipanggang.
Kaia mencicipinya dengan antusias. “Wow, ini enak! Aku tak tahu kalau kau juga bisa masak.”
Brad tertawa. “Aku harus bisa. Hidup sendirian mengajarkanku banyak hal. Kalau kau butuh tips masak, aku juga bisa bantu.”
Kaia tertawa kecil. “Mungkin aku akan memanfaatkan tawaran itu suatu hari nanti.”
*
*
Seiring waktu, Kaia mulai merasa bahwa apartemennya yang dulu terasa sepi kini menjadi tempat yang lebih hangat meskipun di jarang ada di apartemen.
Kehadiran Brad memberikan warna baru dalam hidupnya. Ia tidak tahu ke mana hubungan mereka akan berkembang, tetapi untuk saat ini, dia merasa nyaman membiarkan semuanya mengalir apa adanya.
*
*
Perubahan suasana hati Kaia beberapa hari terakhir disadari oleh Zeff. Kaia lebih banyak terseyum dan itu membuat Zeff curiga.
“Kaia, kau belum menerima tawaranku untuk tinggal di sini?” tanya Zeff malam itu ketika mereka tengah berbaring bersama.
“Kurasa tak perlu, Zeff. Aku tak nyaman jika harus tinggal di sini,” jawab Kaia tersenyum.
Zeff menatap Kaia, yang terlihat begitu cantik malam itu.
“Oh ya, Zeff. Bolehkah aku izin terlambat besok?”
Zeff mengernyitkan keningnya. “Kau mau ke mana?”
“Hmm … aku … ada ayahku datang bersama bibiku. Kami akan pergi makan malam sebentar. Lalu aku akan secepatnya kemari setelah selesai,” jawab Kaia ragu.
Zeff tak langsung menjawab dan mencerna sejenak. Namun, tak lama kemudian dia mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan melebihi dari jam 10 malam.”
Kaia tersenyum lebar. “Terima kasih.”
Kaia sengaja tak mengatakan yang sebenarnya pada Zeff jika dia akan pergi dengan Brad, karena Zeff pasti tak akan menginzikannya datang terlambat.
Jadi, dia menggunakan nama ayahnya untuk membuat alasan yang lebih masuk akal.
*
*
Kaia berdiri di depan cermin apartemennya, mematut diri. Gaun biru sederhana dengan potongan di bahu terlihat pas di tubuhnya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegugupannya.
Makan malam ini, yang dia setujui setelah beberapa kali Brad mengajaknya, terasa seperti keputusan besar.
Bukan karena dia punya perasaan khusus kepada Brad, tetapi karena ini adalah langkah kecil baginya untuk membuka diri lagi setelah segala kekacauan emosional yang dia alami.
Brad adalah pria yang menyenangkan, dan Kaia tidak bisa menyangkal bahwa dia menikmati waktu bersamanya.
Brad selalu tahu cara membuatnya tertawa, dan senyum pria itu begitu hangat, seperti sinar matahari yang menyelinap masuk di pagi hari.
Pukul tujuh tepat, Brad mengetuk pintu apartemen Kaia. Ia mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana jeans.
Penampilannya sederhana tetapi memikat. Ketika Kaia membuka pintu, Brad menyunggingkan senyumnya.
“Kau terlihat cantik malam ini,” katanya ketika melihat Kaia.
Kaia tersenyum kecil. “Terima kasih. Kau juga terlihat tampan.”
*
*
Brad membukakan pintu mobil untuknya, dan mereka menuju restoran yang telah dia pesan sebelumnya.
Restoran itu tidak terlalu mewah, tetapi suasananya hangat dan nyaman, dengan lilin kecil di setiap meja dan alunan musik jazz yang lembut di latar belakang.
*
*
Setelah memesan makanan, mereka mulai berbincang. Awalnya, percakapan mereka ringan—tentang pekerjaan, hobi, dan hal-hal sederhana lainnya. Brad, seperti biasa, tahu cara mencairkan suasana dengan candaan-candaan kecilnya.
“Aku pernah mencoba memasak lasagna sendiri, dan aku pikir aku sudah melakukan semuanya dengan benar,” cerita Brad dengan ekspresi lucu. “Tapi ternyata aku lupa menghidupkan oven.”
Kaia tertawa lepas, membayangkan Brad yang sibuk di dapur hanya untuk menyadari kesalahan konyolnya.
“Jadi, apa yang kau lakukan setelah menyadarinya?” tanya Kaia sambil menahan tawa.
“Aku memesan pizza, tentu saja,” jawab Brad, mengangkat bahu dengan gaya dramatis. “Lebih cepat dan pasti enak.”
Percakapan mereka terus mengalir dengan lancar. Brad adalah pendengar yang baik, dan Kaia merasa nyaman berbagi cerita dengannya.
Meski baru beberapa kali bertemu, ada sesuatu tentang Brad yang membuatnya merasa aman, seolah dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dinilai dan dihakimi.
Waktu berlalu tanpa terasa. Makanan utama mereka telah lama habis, tetapi Kaia dan Brad masih asyik berbincang, menikmati kehadiran satu sama lain.
Namun, ketika Kaia melirik jam di ponselnya, matanya membelalak. Pukul setengah sebelas malam.
Ia langsung teringat sesuatu yang selama ini berusaha dia singkirkan dari pikirannya—Zeff.
Kaia meneguk air mineral di gelasnya dan segera merapikan rambutnya. “Brad, terima kasih untuk malam ini. Aku benar-benar bersenang-senang,” katanya dengan senyum yang tampak sedikit tergesa.
Brad mengerutkan alis, bingung dengan perubahan mendadak Kaia. “Hei, sudah mau pergi? Kita masih bisa pesan dessert kalau kau mau.”
Kaia menggeleng, lalu berdiri dan mengambil tasnya. “Maaf, aku benar-benar harus pergi. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”
Brad menatapnya, masih dengan ekspresi bingung. “Ke mana kau akan pergi? Aku bisa mengantarmu.”
Kaia tersenyum kecil tetapi tidak menjawab. “Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri. Terima kasih lagi untuk malam ini, Brad.”
Sebelum Brad sempat mengatakan apa pun, Kaia sudah melangkah keluar dari restoran.