Kaia mulai terbiasa dengan rutinitas itu. Meski dia tahu hubungan mereka tidak memiliki label yang jelas, dia tidak bisa mengabaikan kenyamanan yang mulai dirasakannya.
Semakin sering Kaia menghabiskan malam dan pagi bersama Zeff, semakin dia mengenal pria itu lebih dalam.
Zeff, yang selama ini terlihat tegas dan terkadang dingin di depan orang lain, memiliki sisi lembut yang hanya dia tunjukkan ketika mereka berdua.
Suatu pagi, Kaia sedang duduk di meja makan, memandangi pemandangan halaman belakang dari jendela besar mansion Zeff.
Matahari pagi menembus kaca, menciptakan semburat emas yang indah di seluruh ruangan. Zeff datang dari dapur, membawa dua cangkir kopi yang tadi dibuatkan oleh pelayan.
“Kau suka pemandangan itu?” tanya Zeff sambil meletakkan cangkir di depan Kaia.
Kaia mengangguk. “Suka sekali. Pemandangan ini … seperti mengingatkanku bahwa dunia ini masih penuh dengan keindahan, meski kadang hidup terasa rumit.”
Zeff duduk di depannya, menatapnya dengan mata yang serius tetapi lembut. “Itulah salah satu alasan aku memilih mansion ini. Kadang, melihat pemandangan seperti ini membantu mengingatkanku untuk berhenti sejenak dari semua tekanan.”
Kaia tersenyum, merasa sedikit terhubung dengan sisi lain Zeff yang tidak banyak orang tahu.
“Aku penasaran,” ujar Kaia, mengaduk kopinya. “Kenapa kau memilih untuk tinggal sendirian di tempat sebesar ini? Bukankah kadang terasa sepi?”
Zeff mengangkat bahu, menatap keluar jendela. “Awalnya, aku merasa nyaman dengan kesendirian. Tapi belakangan … aku mulai berpikir, mungkin aku terlalu lama terbiasa sendiri. Itu sebabnya aku memintamu tinggal lebih lama.”
Kaia tertegun mendengar pengakuan itu. Kata-kata Zeff terasa jujur, dan itu membuat hatinya berdebar.
Meski kedekatan mereka semakin dalam, Kaia tahu bahwa hubungan mereka masih abu-abu.
Ia tidak ingin terlalu berharap, tetapi sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh.
Apalagi ada sosok seorang pria bernama Paul yang kini tengah mencoba menjajah hatinya—pria yang dikenalkan oleh ayahnya melalui kencan buta lagi.
*
*
Hari itu, Kaia melangkah keluar dari apartemen dengan perasaan ringan. Hari Minggu ini terasa berbeda karena dia akan bertemu Paul untuk ketiga kalinya.
Paul adalah pria yang baru dikenalnya sekitar seminggu yang lalu—putra dari teman ayahnya yang lain.
Beberapa kali, Kaia telah menjalani kencan buta dan dia merasa lelah sebenarnya. Hanya saja, dengan Paul—dia merasa sedikit cocok.
Sikapnya yang hangat, ramah, dan penuh perhatian membuat Kaia sedikit merasa nyaman, meskipun dia belum sepenuhnya menerima kehadirannya.
Tapi Kaia akan mencoba, setidaknya untuk membuat ayahnya bahagia.
Tidak banyak pria seperti itu dalam hidupnya—pria yang benar-benar memandangnya sebagai individu, bukan sekadar anak dari ayahnya yang terkenal keras dan penuh kendali.
Kaia berhenti sejenak di depan gerbang rumah, melihat ke arah taman kecil di seberang jalan yang dipenuhi keluarga dan anak-anak bermain.
“Seperti apa rasanya memiliki sebuah keluarga sendiri?” gumamnya, sambil membayangkan kemungkinan masa depan yang tenang bersama pasangannya nanti.
Namun yang terpikir di otak Kaia adalah Zeff—pria yang setiap malam tidur bersamanya dan membuka mata di pagi hari bersamanya juga.
Kaia menarik napas dalam-dalam dan melangkah pergi. "Tidak, seharusnya aku tak memikirkan dia," gumamnya berbisik.
Taman itu tampak lebih ramai dari biasanya. Kaia mengenakan gaun musim semi sederhana berwarna krem dengan motif bunga kecil.
Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang, mencari sosok Paul di antara kerumunan orang.
Paul bilang akan menemuinya di bangku kayu dekat air mancur, tempat yang tenang dan cukup jauh dari keramaian anak-anak bermain.
Namun, saat Kaia tiba di sana, bangku itu kosong.
Ia duduk dan menunggu dengan sabar, memandang burung-burung yang terbang rendah di atas air mancur.
Lima belas menit berlalu. Kaia meraih ponselnya, mencoba menghubungi Paul. Tidak ada jawaban karena ponsel Paul tak aktif.
Ia mengirim pesan singkat, tetapi tak ada balasan juga.
"Mungkin dia terlambat," gumam Kaia, berusaha untuk tetap berpikiran positif.
Satu jam berlalu. Matahari mulai terik, dan taman semakin ramai. Kaia mulai gelisah, tapi dia mencoba menenangkan dirinya.
Ia mencoba menelepon Paul lagi, tetapi ponselnya tetap tidak aktif. Rasa cemas mulai menyusup di hatinya. "Ada apa ini? Kenapa dia tidak bisa dihubungi?" pikirnya.
Waktu terus berlalu. Dua jam kemudian, Kaia masih duduk di bangku itu.
Ia merasa ditinggalkan, dibiarkan menunggu tanpa penjelasan.
Tatapannya kosong, pikirannya dipenuhi oleh spekulasi yang tidak jelas. Apakah Paul lupa? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?
Ketika angin sore mulai berhembus, Kaia akhirnya berdiri dari bangku itu.
Dengan langkah perlahan, dia meninggalkan taman, membawa perasaan kecewa dan kebingungan yang tidak mampu ia jelaskan.
Sesampainya di apartemen, Kaia langsung menuju kamarnya, menutup pintu, dan duduk di tepi ranjang.
Matanya tertuju pada layar ponselnya yang tetap diam—tidak ada panggilan masuk, tidak ada balasan dari Paul.
"Apa aku salah menilai dia?" tanya Kaia pada dirinya sendiri.
Bayangan Paul sebagai pria baik yang selalu hangat perlahan memudar, digantikan oleh keraguan.
Lalu Kaia mengirim pesan pada ayahnya dan memberitahu bahwa Paul tak datang di kencan ketiga mereka.
Kaia tak mau memikirkan lagi hal ini dan dia berharap ayahnya berhenti mengiriminya pria untuk kencan buta.
*
*
Beberapa jam yang lalu …
Paul melangkah keluar dari apartemennya dengan perasaan ringan.
Hari ini, dia dan Kaia telah sepakat untuk pergi bersama ke taman kota.
Ini adalah pertemuan ketiga mereka, dan setiap momen yang dia habiskan bersama Kaia membuat hatinya semakin yakin bahwa dia telah menemukan seseorang yang istimewa.
Kaia adalah wanita yang berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui sebelumnya—cerdas, lembut, tak banyak tingkah dan penuh pesona di balik penampilannya yang sederhana.
Paul merasa bahwa hubungan ini memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang serius.
Namun, langkah Paul tiba-tiba terhenti saat seorang pria asing muncul dari balik bayangan gedung di depan apartemennya.
Pria itu tinggi, berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang membuat Paul waspada.
“Paul, jauhi Kaia,” kata pria itu dengan suara rendah tapi tegas.
Paul mengernyit. "Maaf, aku tidak mengenalmu. Dan apa urusanmu dengan hubungan kami?”
Pria itu melangkah lebih dekat, menghentikan Paul yang hendak berjalan pergi. "Tak perlu banyak bertanya atau kau akan kehilangan pekerjaanmu jika tak menuruti perintahku.”
Paul terdiam, merasa jantungnya mulai berdebar. Ia menatap pria itu dengan curiga. "Apa maksudmu mengancamku seperti itu? Aku sama sekali tak takut"
Pria itu menyeringai tipis. "Aku tahu kau akan pergi bertemu Kaia hari ini. Tapi kau tidak akan menemui dia. Kau akan mengakhiri semuanya, Paul. Kalau tidak, aku pastikan kau kehilangan pekerjaanmu. Dan lebih buruk lagi, reputasimu akan hancur."
“Sudah kubilang, aku tak takut dengan omong kosongmu itu!!” bentak Paul.
Pria berwajah preman itu menghela napas panjang, seperti sedang berbicara dengan anak kecil yang sulit diajak bekerja sama. "Paul," katanya dengan nada yang hampir simpatik, "aku punya sesuatu yang akan membuatmu berpikir ulang."
Dari dalam jaketnya, pria itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar dan menyerahkannya kepada Paul.
Paul membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada dokumen-dokumen fotokopi, e-mail yang dicetak, dan beberapa bukti transfer bank yang mencurigakan.
Ia membaca satu per satu, matanya melebar saat mengenali apa yang ada di hadapannya.
"Ini..." gumam Paul, suaranya nyaris berbisik. "Ini ... bagaimana kau bisa tahu ..."
Pria itu mengangguk. "Benar. Aku tahu kau dan atasanmu pernah menyelewengkan dana perusahaan. Bukan jumlah besar, memang, tapi cukup untuk menghancurkan kariermu. Kalau kau tidak memutuskan hubungan dengan Kaia, aku akan memastikan CEO perusahaanmu tahu semuanya. Dan kau tahu, reputasi seperti itu tidak akan pernah hilang, bahkan jika kau mencari pekerjaan baru."
Paul merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Kasus itu sudah lama berlalu, dan dia mengira semuanya sudah aman.
Ia hanya mengikuti perintah atasannya waktu itu, tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan kembali menghantuinya.
Tapi sekarang, pria asing ini menggenggam kendali penuh atas masa depannya.
Paul berusaha melawan rasa takut yang menjalari tubuhnya. "Apa hubungan Anda dengan Kaia? Kenapa Anda melakukan ini?"
Pria itu menyeringai, tapi tidak memberikan jawaban langsung. "Itu bukan urusanmu. Yang perlu kau tahu adalah bahwa kau harus menjauh dari Kaia. Mulai hari ini. Kalau tidak, dokumen-dokumen ini akan sampai ke meja CEO sebelum kau sempat kembali ke kantor besok."
Paul mengepalkan tangannya, ingin sekali melawan, tapi dia tahu bahwa pria ini memegang kartu yang lebih kuat.
Ia tidak bisa mempertaruhkan pekerjaannya, apalagi kariernya yang sedang naik daun. M