Zeff menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap keluar jendela besar di ruang kerjanya.
Senyuman tipis menghiasi bibirnya saat ponselnya bergetar. Ia segera membaca pesan singkat yang baru saja diterima dari Scott.
[Kencan mereka gagal total. Paul sudah menyerah, dan tak akan berani menemui Kaia lagi]
Zeff merasa dadanya menghangat oleh rasa puas yang hampir meluap.
Ia menggenggam ponsel itu lebih erat, memandangi pesan tersebut seolah-olah itu adalah piala atas kemenangan kecilnya.
"Bagus," gumamnya sambil meneguk segelas anggur merah di meja kerjanya. "Tidak ada yang boleh mendekati Kaia kecuali aku."
Zeff melihat wajah Paul di ponselnya yang baru saja dikirimkan oleh Scott.
Baginya, pria itu hanya dianggapnya sebagai ancaman kecil tetapi cukup mengganggu.
Paul mungkin telah berusaha memenangkan hati Kaia, tetapi sekarang dia telah tersingkir—berkat intervensinya yang cermat melalui koneksinya yang kuat dan luas.
Zeff selalu memastikan bahwa dia memegang kendali penuh atas situasi, terutama ketika menyangkut Kaia.
Kaia adalah sosok yang istimewa di matanya. Wanita itu memiliki pesona yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Di balik penampilan sederhananya, Zeff melihat daya tarik yang kuat.
Ketenangannya, kelembutannya, sekaligus kepintarannya—membuat Zeff tak ingin kehilangan Kaia yang telah menjadi obatnya.
Ia tersenyum puas membayangkan bagaimana dia akan memastikan setiap pria yang mencoba mendekati Kaia mengalami nasib yang sama seperti Paul.
Zeff memiliki cara untuk mengetahui segala sesuatu tentang Kaia—dari siapa yang dia temui hingga ke mana dia pergi.
Ia memanfaatkan jaringan koneksinya yang luas untuk memantau pergerakan wanita itu tanpa membuatnya curiga.
Dalam pikirannya, ini bukanlah tindakan mengontrol, ini adalah bentuk perlindungan agar Kaia tak pergi dari sisinya.
*
*
Kaia, di sisi lain, sama sekali tidak menyadari bayang-bayang yang terus mengawasinya.
Setelah kegagalan kencannya dengan Paul, dia mencoba melanjutkan hidup seperti biasa.
Pesan terakhir Paul yang tiba-tiba memutuskan tak ingin bertemu dengannya lagi, sedikit membuatnya kecewa, tetapi Kaia memilih untuk tidak terlalu larut dalam kekecewaan itu.
Namun, Kaia merasa ada sesuatu yang aneh. Setiap kali dia melakukan kencan buta, entah bagaimana selalu ada hambatan.
Kaia mulai merasa frustasi. “Apa aku terlalu sulit didekati? Atau aku sangat tak menarik?” tanyanya pada dirinya sendiri, saat dia duduk sendirian di kamar.
Ia tidak tahu bahwa setiap langkahnya telah diawasi dan dimanipulasi oleh Zeff.
*
*
Di malam lain, Zeff kembali menerima laporan dari Scott. Kali ini, Scott mengabarkan tentang rencana Kaia untuk menghadiri pesta pernikahan seorang teman.
Pesta itu akan dihadiri oleh banyak orang, termasuk beberapa pria lajang yang mungkin saja akan mendekati Kaia.
Zeff mengernyit mendengar kabar itu.
"Tidak ada yang akan mendekatinya," kata Zeff dengan tegas. Ia segera menyusun rencana.
*
*
Ketika acara pesta tiba, Kaia mengenakan gaun sederhana namun elegan. Pesta itu diadakan di halaman sebuah resort mewah di sore hari.
Dan di sana, Kaia bertemu banyak teman lamanya, termasuk teman-teman pria dari sang mempelai pria.
Namun, setiap kali ada pria yang mencoba berbicara dengannya, selalu ada sesuatu yang terjadi.
Entah seseorang menyela pembicaraan mereka, atau pria itu tiba-tiba dipanggil pergi oleh temannya.
Kaia mulai merasa bahwa keberadaannya di pesta itu hampir tidak diperhatikan.
*
*
Sementara itu, Zeff duduk di ruang kerjanya, memantau laporan dari Scott.
Ia merasa puas melihat bagaimana semuanya berjalan sesuai rencana. "Kau mungkin merasa sedikit kesepian sekarang, Kaia," pikirnya. "Tapi itu lebih baik daripada membiarkan orang yang salah masuk ke hidupmu.”
*
*
Matahari sudah terbenam ketika Kaia sampai di apartemennya.
Langit senja yang keemasan telah berubah menjadi gelap, dihiasi kerlip lampu kota yang bersinar dari jendela apartemen-apartemen di sekitarnya.
Langkah Kaia terasa berat setelah hari yang melelahkan di pesta tadi.
Setibanya di lantai apartemennya, dia mencari kunci di dalam tasnya. Namun, sebelum dia sempat memasukkan kunci ke lubang pintu, sebuah suara memanggilnya.
“Permisi, kau tinggal di sini?”
Kaia menoleh, sedikit terkejut. Di sebelah pintunya berdiri seorang pria dengan senyuman lebar di wajahnya.
Ia tampak santai dengan kaus polos dan celana jeans. Rambutnya hitam, sedikit berantakan, tetapi justru memberi kesan santai dan approachable.
“Iya, aku tinggal di sini. Ada apa?” jawab Kaia dengan nada hati-hati.
Pria itu mengangkat sebuah kotak kecil berisi kue yang tampak menggoda. “Ah, bagus. Aku baru saja pindah ke unit sebelah. Aku pikir ini akan jadi cara yang baik untuk berkenalan dengan tetangga baru.”
Kaia tertegun sejenak sebelum tersenyum kecil. “Oh, jadi kau tetangga baru di sini? Selamat datang, kalau begitu.”
“Terima kasih. Namaku Brad,” katanya, mengulurkan tangan.
Kaia menerima uluran tangan itu. “Kaia.”
“Aku tahu ini agak mendadak,” lanjut Brad sambil menggaruk belakang kepalanya, “tapi aku tidak tahu cara lain untuk memperkenalkan diri. Jadi, aku beli kue ini di toko kue terkenal di bawah. Mereka bilang ini spesial.”
Kaia menahan senyumnya. Ada sesuatu tentang Brad yang terasa berbeda dari orang-orang lain yang pernah cia temui—pria ini tampak humoris dan humble, tanpa kesan mencoba terlalu keras untuk meninggalkan kesan baik.
“Kue untuk perkenalan? Itu ide yang bagus,” kata Kaia sambil menerima kotak kue yang diulurkan Brad. “Terima kasih. Aku jadi merasa seperti tetangga yang buruk karena tidak pernah melakukan hal serupa waktu aku pertama pindah ke sini.”
Brad tertawa, nada suaranya hangat dan ringan. “Ah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sekarang sudah terbalas. Aku yang duluan memperkenalkan diri.”
*
*
Setelah beberapa menit mengobrol ringan, Kaia merasa suasana menjadi lebih santai.
Brad tampaknya tidak hanya humoris, tetapi juga ramah dan pandai membawa percakapan.
Ia bercerita tentang dirinya—seorang fotografer freelance yang baru saja pindah ke kota ini untuk mengejar proyek besar bersama salah satu perusahaan desain interior.
“Fotografer? Wah, kedengarannya menarik,” kata Kaia. “Apa yang biasanya kau foto?”
“Segala macam, sebenarnya,” jawab Brad sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. “Dari pemandangan hingga potret manusia. Kadang-kadang, aku juga dapat proyek untuk memotret makanan.”
Kaia tertawa pelan. “Jadi, itu sebabnya kau tahu toko kue terkenal tadi?”
Brad mengangkat bahu, pura-pura berpikir keras. “Mungkin. Tapi sejujurnya, aku suka makanan manis. Aku langsung mencarinya begitu tiba di kota ini.”
Kaia merasa tawa kecilnya lebih sering muncul malam ini dibandingkan sepanjang hari tadi. “Bagus, berarti kalau aku butuh rekomendasi tempat makan enak, aku tahu harus bertanya pada siapa.”
“Tentu saja! Itu termasuk dalam layanan tetangga baru,” jawab Brad dengan gaya bercanda, tetapi tetap membuat Kaia merasa nyaman.
*
*
Setelah beberapa saat, Kaia akhirnya membuka pintu apartemennya. Ia menoleh pada Brad. “Terima kasih sekali lagi untuk kuenya. Aku akan mencobanya malam ini.”
Brad mengangguk, senyumnya masih menghiasi wajahnya. “Senang bertemu denganmu, Kaia. Kalau butuh apa-apa, aku di sebelah.”
“Pasti. Selamat malam, Brad.”
“Selamat malam.”
Kaia menutup pintu apartemennya, tetapi senyumnya belum memudar.
Ia meletakkan kotak kue itu di meja dapur dan membuka isinya. Di dalamnya ada empat potong kue berwarna-warni yang tampak sangat menggoda.
Sambil memandang kue itu, Kaia berpikir tentang Brad.
Ia bukan tipe pria yang mencoba terlalu keras, dan kepribadiannya yang ringan justru terasa seperti pelipur lara di tengah kesibukan dan tekanan yang Kaia alami.